Thursday, May 31, 2018

Bandar Poker Terpercaya - Gadis Seksi Cantik Yang Lihai Dalam Ngeseks

Bandar Poker Terpercaya - Gadis Seksi Cantik Yang Lihai Dalam Ngeseks - Aku, Shandy, adalah seorang supir dari boss pemilik berbagai perusahaan real estate di Jakarta. Malam itu, Pak Alvin boss ku, mengizinkan aku membawa kendaraannya pulang karena hujan yang cukup deras dari sore dan hari sudah semakin larut. Ditambah aku memang orang kepercayaan Pak Alvin.
Bandar Poker Online - Selesai ku antarkan Pak Alvin yang setengah mabuk karena bersenang-senang di klub malam, ku pacu kendaraan dengan kecepatan sedang menuju tol dari arah Pondok Indah. Waktu sudah menunjukan pukul 02:30 pagi, jalan begitu sepi karena malam dan hujan yang tak kunjung berhenti.
“Besok Jakarta pasti banjir nih, hujan seharian gini…” gumamku dalam hati.
Sekitar 100 meter setelah melewati Pondok Indah Plaza, aku melihat sebuah sedan menepi dengan kap mesin yang terbuka. Aku pun tanpa pikir panjang segera berhenti di belakang mobil tersebut, berniat untuk membantu. “Mana mungkin ada orang jahat pura-pura minta tolong jam segini ditengah hujan deras, dengan mobil yang lebih mahal dari mobil yang ku bawa malah…” Pikirku dalam hati.
Segera ku ambil payung di bagian belakang mobil, dan menghampiri si pemilik mobil yang sedang berdiri sambil memegangi payung di depan kap mobil tersebut.
“Kenapa mobilnya, pak? Ada yang bisa saya bantu?” Tanyaku ramah sambil mengerenyitkan dahi, cahaya yang redup dan hujan yang cukup deras, membuatku kesulitan melihat si pemilik mobil yang sedikit tertutup payung.
“Ini, Mas. Mogok, gak tau kenapa…” Jawabnya pelan. Aku pun kaget karena ternyata ia seorang perempuan, dari suaranya terdengar belum terlalu tua. Mungkin sekitar 30 tahunan.
“Oh, maaf mbak gak liat, kirain cowok, hehehe…” Balasku untuk memecah kekakuan. “Coba sebentar saya liat, kebetulan saya ngerti mesin kok…”
Wanita tersebut memersilahkan aku untuk menangani mobilnya. Aku pun sibuk memerhatikan dan mencari tahu masalah sampai mobil tersebut tidak mau menyala.
“Kenapa tidak telepon asuransi atau tukang derek aja, mbak?” Kataku sambil tetap berfokus pada mesin mobilnya.
“Maunya sih gitu, tapi handphone saya mati semua, Mas. Batrenya abis…” Jawabnya memelas. Suaranya sudah parau, sepertinya ia baru saja menangis.
“Kalau saya cek sih, gak ada masalah apa-apa, mbak. Saya bingung juga kalau liatnya ditempat gelap dan hujan deras gini…” Jelasku singkat. “Saya pinjamkan handphone untuk menelpon asuransi atau tukang derek saja ya, mbak. Bagaimana?” Tawarku padanya. Ia hanya mengangguk pelan.
“Makasih ya, Mas…” Ujarnya saat ku berlalu menuju mobil untuk mengambil handphone ku.
“Ini Mbak…” Kataku sambil menyerahkan handphone bututku yang bahkan tidak memiliki kamera tersebut.
Wanita tersebut meraih ponselku dan mengambil sepucuk kartu nama dari dompetnya. Aku sedikit menjauhkan diri saat ia sedang menelpon setelah aku tutup kembali kap mesinnya.
Tidak lama kemudian, “Ini mass… Terima kasih banyak ya. Aku sudah menelpon tukang derek supaya mobilku bisa diangkut ke bengkel…”
“Iya, mbak sama-sama. Mbak mau pulang kemana emangnya?”
“Ke Pondok Labu, Mas…” Jawabnya singkat. Awalnya aku ingin menawarkan diri untuk mengantarnya pulang, tapi langsung ku urungkan niat tersebut karena yakin ia akan menolak, mungkin ia takut akan ku perkosa.
“Saya temani disini ya mbak sampai tukang dereknya datang. Daripada sendirian, kalau ada orang jahat, bisa repot…” Tawarku.
“Gak usah repot-repot, mas. Sudah dipinjamkan handphone saja sudah cukup kok.”
“Gapapa kok, mbak. Saya juga bawa mobil, tau lah rasanya gimana kayak mbak gini.” Balasku tenang. “Ini, ini KTP saya, kalau-kalau mbak takut saya berbuat jahat, paling gak mbak tau identitas saya…” Ujarku sambil menyodorkan KTP dari dalam dompetku.
Ia pun tersenyum, “Tidak perlu, mas. Saya tau kok mas orang baik dan tidak ada niat jahat.”
“Ya sudah kalau begitu saya temani ya.”
Wanita tersebut pun mengangguk.
“Mbak lebih baik duduk di dalam mobil, daripada kebasahan kena hujan gini…” Saranku padanya. “Saya temani disini saja.”
“Ya enggak dong, mas. Masa saya di mobil, mas di luar.”
“Kalau begitu, tunggu di mobil saya saja mbak. Biar saya hidupkan mesinnya, jadi ada AC dan lampunya. Bagaimana?”
Ia pun menyetujui ideku.
Kami berdua pun masuk ke dalam mobil. Ia duduk di kursi depan, dan aku duduk disampingnya di kursi pengemudi. Setelah lampu dalam mobil ku hidupkan, barulah ku bisa melihat dengan jelas wanita cantik yang sedang duduk disebelahku ini.
Tubuhnya cukup proporsional, dengan rambut hitam panjang sepunggung, celana jeans hitam ketat dan kaos putih yang ditutupi jaket coklat terlihat serasi dengan wajah manisnya. Hidung mancung, kulit putih dan bibir tipisnya menambah kecantikannya, apalagi saat ia sedang tersenyum.
“Mbak siapa namanya?” Tanyaku.
“Gisella, mas. Kalau mas?”
“Aku Shandy, mbak…”
“Gak usah pake mbak, Gisell aja mas..”
“Jangan pakai mas juga kalau gitu, Shandy saja…”
Ia pun tertawa kecil mendengar jawabanku.
“Kamu seperti habis menangis, kenapa sell?” Tanyaku.
Gisell terdiam sambil memandangi kaca depan mobil.
“Maaf kalau aku lancang, hanya bertanya…” Tambahku khawatir ia tersinggung dengan pertanyaanku barusan.
“Enggak kok, Shan. Aku capek aja, lagi banyak masalah, pas mau pulang eh mobil malah mogok. Bikin perasaan makin gak karuan…” Jelasnya.
“Banyak bersabar kalau gitu, mungkin emang lagi banyak cobaannya. Siapa tau besok malah banyak rejekinya.” Hiburku seadanya. Gisell pun sedikit tersenyum.
Obrolan pun mengalir, tanpa diminta Gisell pun menceritakan masalah yang sedang dihadapinya. Orang tuanya sedang dalam proses bercerai, pacarnya pergi meninggalkannya karena ia terlalu sibuk bekerja dan mengurus masalah ke dua orang tuanya. Gisell sendiri seorang karyawan di perusahaan tambang yang kantornya terletak di bilangan Pondok Indah. Lulusan universitas jurusan hukum.
Tidak terasa, hampir satu jam kami ngobrol kesana kemari, sampai akhirnya mobil derek datang. Gisell pun segera mengisi formulir yang diberikan, lalu masuk kembali ke dalam mobilku.
“Terima kasih banyak ya Shan sudah membantu…” Ucapnya begitu masuk ke dalam mobilku.
“Iya sama-sama, Sell. Aku antar ke rumah ya, gimana?”
“Kamu emang pulang kemana? Jangan deh, takut ngerepotin…”
“Enggak kok, kebetulan rumah ku di Cinere. Jadi searah kan sama rumahmu?”
“Oh ya? Iya deh kalau gitu, sekali lagi makasih ya. Udah ditolongin pinjem handphone, sekarang ditolongin sampe dianterin…”
“Udah, tenang aja…” Balasku.
Hari sudah semakin pagi, hujan sudah selesai berganti kabut tipis yang menutupi jalan. Tidak sampai setengah jam perjalanan, kami sudah mendekati tujuan.
“Rumah kamu dimana, Sell?” Tanyaku.
Gisell pun menunjukan arah ke rumahnya. Aku dengan teliti menyetir, selain karena mata yang sudah letih juga rasa kantuk yang semakin datang.
Tidak terlalu sulit mencari rumahnya karena terletak di pinggir jalan. Rumah besar yang mewah tersebut terlihat gelap tanpa cahaya sama sekali di dalamnya.
“Sepi banget, kamu tinggal sendiri?”
“Iya, sudah lama aku tinggal sendiri di sini. Orang tuaku tinggal di rumah yang di Kelapa Gading. Itu pun gak tau masih serumah atau udah pisah…” Jawabnya sedikit kesal.
Aku pun tidak berani untuk banyak bertanya.
Setelah pintu gerbang yang bisa dibuka otomatis dengan remote dari dalam tas Gisell terbuka, mobilku pun ku masukan lalu parkir di depan pintu masuk rumahnya.
Rumah bergaya minimalis, dua lantai dengan cat berwarna putih terlihat suram tanpa penghuni, kebun kecil di depannya pun kurang terawat karena banyak tanaman yang mati dan layu.
“Akhirnya sampai…” Ucapku sambil menarik rem mobilku.
“Iya nih. Shan, udah hampir pagi. Kamu gak mau tidur dulu aja di rumahku? Besok pagi baru pulang. Daripada kenapa-kenapa di jalan karena ngantuk…” Tanya Gisell.
“Enggak apa apa kok, udah biasa banget nyetir jam segini, namanya juga supir hehehe…” jawabku santai. Padahal dalam hati ingin sekali aku numpang tidur di rumahnya. Sayangnya aku merasa tidak enak hati untuk menerima tawarannya.
Namun berbeda dengan Gisell, ia memaksa diriku untuk menginap. “Anggap aja aku bayar utang budi karena kamu sudah membantu aku….” Begitu kata-katanya untuk membujukku.
Aku pun luluh dan menerima tawarannya.
Gisell memersilahkan aku masuk ke dalam rumahnya. Aku merasa canggung masuk ke rumah wanita muda cantik yang baru ku kenal beberapa jam yang lalu di pinggir jalan. Namun Gisell terlihat santai dengan kehadiranku.
Gisell pun menawarkan beberapa pakaian dan celana pendek untuk ku gunakan tidur, beberapa milik Ayahnya yang ukurannya tidak jauh berbeda denganku. Gisell juga mengantarkanku ke kamar tamu yang bisa kugunakan untuk beristirahat sampai matahari terbit beberapa jam lagi.
Segera saja ku baringkan tubuhku yang aktif dari pagi kemarin. Pukul 4 pagi, ku lihat di jam dinding yang ada di atas jendela kamar. Ku coba memejamkan mataku.
Belum sempat terlelap, pintuku diketuk pelan.
Aku pun bangkit dari kasur, menuju pintu dan membukanya. Gisell berdiri di depan kamarku, mengenakan piyama tipis dengan rambut yang terikat.
“Aku gak bisa tidur…” Ucapnya manja.
“Yah, terus gimana? Mau aku temenin dulu?” Tanyaku setengah mengantuk. Gisell mengangguk sambil berjalan masuk ke dalam kamarku tanpa ku minta. Ya memang ini rumahnya, namun aku semakin canggung harus bagaimana bila ia masuk ke kamarku tanpa diminta.
Gisell pun duduk di pinggir kasurku sambil melihatku yang berjalan mendekat. Ia pun memberikan isyarat dengan lambaian tangan agar aku mendekat.
“Kenapa Sell?” Tanyaku yang masih berdiri di hadapannya.
“Aku mau kasih sesuatu…” Dengan cepat Gisell menarik turun celanaku. Aku kaget bukan kepalang.
Tangan Gisell langsung meraih penisku, dan memasukannya ke dalam mulut.
Rasa kantuk ku pun hilang, ingin ku tolak perlakuan Gisell namun aku terlanjur menikmatinya. Aku hanya bisa merintih keenakan saat lidah Gisell menyapu batang penisku dan memaksa penisku untuk berdiri tegak.
“Ahhh Selll, kamu ini ahhhh…” Rintihku sambil meremas rambutnya. Hisapan Gisell di penisku semakin kuat.
Lahap sekali Gisell menikmati penisku. Tidak ada sedikitpun bagian yang terlewat dari hisapan dan jilatan lidahnya. Memberikan sensasi kenikmatan tersendiri bagiku yang sudah lama tidak menyentuh wanita ini.
Setelah beberapa menit, Gisell melepaskan penisku dan berdiri menghadapku. Tanpa basa basi segera ku lumat bibir tipisnya yang sudah menggodaku dari awal bertemu. Lidah kami saling berpagutan, dera nafas Gisell semakin berat saat tanganku menelusup masuk ke dalam pakaiannya, berusaha mencari dan meremas payudaranya yang lembut dan kenyal.
“Uhhh, Shandy….” Desisnya saat ku arahkan kecupanku ke lehernya. Ku jilati tiap senti kulitnya yang putih dan halus tersebut. Tubuhnya bergetar,
keringat mulai keluar meski udara begitu dingin karena hujan dan pendingin ruangan. Tangannya bergantian meremas rambut dan mencengkram punggungku.
Ku dorong tubuh Gisell agar terbaring di kasur. Ku tarik celana panjangnya sehingga terlihat celana dalamnya yang berwarna hitam. Kakinya begitu jenjang dan indah, suka sekali aku menatapnya berlama-lama.
Ku usapkan tanganku dari betis hingga ke pahanya, mengirimkan rasa geli ke seluruh tubuhnya yang semakin menegang. Rintihan-rintihan kecil menghidupkan kamar yang biasanya sepi tersebut.
Perlahan ku tarik celana dalam Gisell, kali ini terpampang jelas vagina cantik dengan bulu kemaluan yang dicukur rapih dibagian atasnya. Bibir vaginanya sudah merekah basah, klitorisnya sedikit menyumbul keluar, tanda ia sudah tidak sabar untuk dinikmati olehku.
Ku dekatkan kepalaku ke arah vaginanya. Dengan kedua jari, ku buka bibir vaginanya dan ku sapu lembut dengan lidahku. Gisell menggelinjang, tangannya menarik seprei, rintihannya berubah menjadi teriakan menahan hasrat yang begitu menggairahkan.
“Arrrgghhhh, Shandyyyyy! Terus Shannnn!”
Aku pun tidak memedulikan teriakannya. Rumahnya yang besar, hujan deras yang kembali turun, sudah pasti tidak akan ada tetangga yang mendengar teriakan nikmat Gisell. Hal itu justru semakin meningkatkan gairahku untuk menyetubuhinya.
Kali ini ku masukan kedua jariku, perlahan ku mainkan lubang kenikmatan Gisell. Tentu saja ia semakin menggelinjang dan menikmati perlakuanku. Gisell pun tidak bisa menahan lagi, ia orgasme dan mengeluarkan cairan kenikmatan dari dalam vaginanya.
“Argghh ohhhhhhh, Shandyyy aku keluarrrrr…..” Teriaknya sambil menarik rambutku.
Ku biarkan cairannya yang berwarna putih bening mengalir keluar dari dalam vaginanya, lalu ku hisap dan ku jilat habis, hanya menyisakan kenikmatan disekujur tubuh Gisell.
Aku pun bangkit dan mendekap tubuhnya yang hangat. Gisel mengulurkan tangannya ke dalam saku piyamanya. Ternyata Gisell menyiapkan kondom untuk pertempurannya denganku. Tidak bisa kulihat jelas kondom berwarna hitam tersebut karena lampu kamar yang mati, hanya diterangi temaram lampu meja berwarna kuning.
“Sini, kupakein dulu…” Pinta Gisell, aku pun menggeser pinggulku agar penisku mendekat ke arahnya. Gisell memasangkan kondom di penisku, lalu ia mengubah posisi diatasku. Digenggamnya lembut penisku yang sudah tegang dari awal hisapan mulutnya tadi, diarahkannya ke lubang vaginanya yang masih merekah merah.
Aku hanya bisa menyaksikan sambil berusaha membuka kancing piyama Gisell satu persatu, lalu ku buka bra berwarna hitam yang menutupi payudaranya. Samar terlihat putingnya berwarna pink yang menegang kencang dan membesar.
Ku remas pelan payudaranya saat penisku merengsek masuk ke dalam vagina Gisell. Terasa hangat, licin dan kuat menghisap penisku. Begitu penisku masuk seluruhnya, Gisell mendiamkannya sesaat agar vaginanya terbiasa. Penisku memang terbilang besar dan panjang, Gisell pun merintih kecil saat mendapatkan itu di dalam vaginanya untuk pertama kali.
Selang beberapa detik, Gisell menggerakan pinggulnya ke depan dan belakang. Tangannya mencengkram perutku, kepalanya mengadah ke atas dengan mulut terbuka lebar seakan udara tak mampu mengisi otaknya yang saat ini sedang diburu nafsu birahi.
“Arrrgghhhh, enak banget sih kontol kamu, Shan. Suka bangetttt….” Desis Gisell ditengah goyangan pinggulnya.
Aku yang sibuk meremas payudaranya hanya bisa tersenyum sambil memilin kecil putingnya.
Gisell pun merubah goyangan pinggulnya, kali ini naik turun dengan frekuensi yang tidak terlalu cepat. Setiap hentakan yang mengantarkan penisku ke ujung vaginanya, menambah volume suara Gisell yang sedang dirundung nafsu.
“Arghhh, arghhhh ssssshhhhhhhh…..” Rintih Gisell.
Aku yang puas meremas payudara Gisell, memindahkan tanganku untuk meremas pantatnya yang kencang. Ku bantu mengangkat pantatnya agar genjotannya semakin cepat. Gisell mengerang kencang saat mencapai puncak kenikmatan yang kedua kalinya.
“Arrrghh, Shandyyyyyyy aku keluarrrr Shanddddd!!!” Crot crot crot. Vagina Gisell terasa menjepit penisku semakin kuat. Gisell ambruk diatas tubuhku. Aku pun mendekapnya dengan penuh kelembutan.
Perlahan aku bangkit masih dengan mendekap Gisell. Ku rubah posisi agar aku yang diatas tanpa mencabut penisku dari dalam vaginanya.
Ku genjot lagi vagina Gisell yang hangat, dengan tanganku yang meremas payudaranya gemas.
“Aarrgggh, Shannn. Kamu kuat banget sihhh….”
“Kamu juga kenapa enak banget sih?” balasku sambil mengusap perut dan pinggangnya. Gisell memalingkan wajahnya ke kanan dan ke kiri.
Hampir lima menit aku berada di posisi tersebut. Gisell mencapai klimaks untuk yang ketiga kalinya. Sedangkan aku? Aku pun bingung kenapa penisku ini begitu kuat menggarap vagina Gisell. Mungkin karena kemolekan tubuhnya yang membuatku bersemangat, atau kondom yang diberikan Gisell mengandung cairan pelumas yang membuatku bisa kuat bertahan selama ini? Aku tidak tahu, dan tidak ingin memikirkannya, saat ini aku hanya ingin membuat Gisell lemas tak berdaya karena nikmat yang aku berikan.
Aku memberikan sedikit waktu untuk Gisell mengumpulkan nafas dan tenaganya setelah orgasmenya yang ketiga tersebut. Ku perhatikan sejenak wanita yang terbaring tanpa busana dibawah tubuhku ini. Entah mimpi apa aku semalam bisa menikmatinya, bahkan aku belum pernah memiliki pacar secantik Gisell. Ia sendiri wanita cantik, pintar dan kaya raya yang selevel dengan putri bossku. Bisa dibilang, ia termasuk wanita yang awalnya aku kira tidak akan pernah bisa aku tiduri.
Aku meminta Gisell untuk berdiri, ku tarik tangannya perlahan, mengarahkannya ke luar kamar. Aku menuju sofa di ruang TV rumahnya. Sofa empuk berbalut kulit coklat dengan ukuran yang cukup besar untuk permainan liar kita berdua.
Aku duduk dan mengisyaratkan Gisell untuk duduk di atasku. Kali ini posisinya memunggungi diriku. Aku begitu menyukai posisi tersebut karena bisa dengan leluasa meremas pantatnya dan menyaksikan bagaimana penisku terlahap vaginanya dengan rakus.
Dengan tenaga yang tersisa, Gisell menggenjot penisku sekali lagi. Tubuhnya terlihat sangat indah saat menyatu dengan tubuhku. Ringkuhan tubuh Gisell saat menahan kenikmatan membuatku gairahku tak kunjung padam.
“Shandyyyy, enak bangetttt. Kamu kok kuat bangettt… Ohhh ssshhhhh gak keluar keluar sshhhhhh dari tadiiii…” Racau Gisell.
Aku pun membiarkan Gisell mempermainkan penisku di dalam vaginanya. Terasa kedutan kencang di dalam vaginanya yang menambah kenikmatan di penisku.
“Urrghhh, Shannnn….” Desis Gisell.
Semakin lama, penisku terasa semakin sesak karena dorongan sperma yang sudah tidak sabar untuk keluar bebas. Ku pegangi pantat Gisell dan ku kendalikan genjotannya agar semakin cepat.

Hisapan kuat vaginanya membuatku tak kuasa menahan lebih lama.
“Aku mau keluar, Selll….” Ucapku berbisik pelan.

Dan benar saja, beberapa detik kemudian penisku memuntahkan sperma berkali-kali. Membuatku lemas tak berdaya saat itu juga.
“Arrggghhh, sellll!!!” Teriakku saat orgasme sambil menarik tubuhnya dan meremas payudaranya. Rupanya Gisell pun orgasme, empat kali ia mencapai puncak, ku yakin sudah tak berdaya lagi tubuhnya.
Gisell pun menjatuhkan dirinya ke sampingku. Ku lihat kondom yang menancap di penisku sedikit menggembung karena banyaknya sperma yang keluar. Dengan perlahan ku tarik kondom agar tidak ada cairan kenikmatanku yang tumpah.
“Kamu gila…” Bisik Gisell. Kepalanya menghadap ke jendela, matanya terpejam, namun kata-kata tersebut tidak bisa ia tahan untuk tidak diutarakan.
“Baru kali ini aku main selama ini, dan seenak ini. Ganti ganti gaya pula. OK banget lah kamu…” Puji Gisell lagi. Aku hanya menoleh sebentar dan tersenyum.
Ku angkat tubuh Gisell yang lemas tak berdaya itu ke kamar ku lagi. Ku baringkan dan ku selimuti, lalu aku ikut berbaring di sampingnya.
Hari sudah terang karena matahari yang terjaga dari tidur lelapnya. Kali ini giliran kami beristirahat sambil menikmati sisa sisa kenikmatan duniawi yang baru saja kami dapatkan bertubi-tubi.
Ku dekap tubuh Gisell, ku kecup lehernya dari belakang. Kami pun terlelap.

Untuk Melihat Video Selengkapnya Klik Dibawah Ini :
Posted By : www.tugupoker.net

Wednesday, May 30, 2018

Bandar Poker Terbaik - Sekali Mendayung Dua Memek Kudapatkan

Bandar Poker Terbaik - Sekali Mendayung Dua Memek Kudapatkan saya menceritakan bagaimana saya diperkenalkan kepada kenikmatan senggama pada waktu saya masih berumur 13 tahun oleh Ayu, seorang wanita tetangga kami yang telah berumur jauh lebih tua. Saya dibesarkan didalam keluarga yang sangat taat dalam agama.
Bandar Poker Terpercaya - Saya sebelumnya belum pernah
terekspos terhadap hubungan laki-laki dan perempuan. Pengetahuan saya mengenai hal-hal persetubuhan hanyalah sebatas apa yang saya baca didalam cerita-cerita porno ketikan yang beredar di sekolah ketika saya duduk di bangku SMP.
Pada masa itu belum banyak kesempatan bagi anak lelaki seperti saya walaupun melihat tubuh wanita bugil sekalipun. Anak-anak lelaki masa ini mungkin susah membayangkan bahwa anak seperti saya cukup melihat gambar-gambar di buku mode-blad punya kakak saya seperti Lana Lobell, dimana terdapat gambar- gambar bintang film seperti Ginger Roberts, Jayne Mansfield, yang memperagakan pakaian dalam, ini saja sudah cukup membuat kita terangsang dan melakukan masturbasi beberapa kali.
Bisalah dibayangkan bagaimana menggebu-gebunya gairah dan nafsu saya ketika diberi kesempatan untuk secara nyata bukan saja hanya bisa melihat tubuh bugil wanita seperti Ayu, tetapi bisa mengalami kenikmatan bersanggama dengan wanita sungguhan, tanpa memperdulikan apakah wanita itu jauh lebih tua.
Dengan hanya memandang tubuh Ayu yang begitu mulus dan putih saja sucah cukup sebetulnya untuk menjadi bahan imajinasi saya untuk bermasturbasi, apalagi dengan secara nyata- nyata bisa merasakan hangatnya dan mulusnya tubuhnya. Apalagi betul-betul melihat kemaluannya yang mulus tanpa jembut.
Bisa mencium dan mengendus bau kemaluannya yang begitu menggairahkan yang kadang- kadang masih berbau sedikit amis kencing perempuan dan yang paling hebat lagi buat saya adalah bisanya saya menjilat dan mengemut kemaluannya dan kelentitnya yang seharusnyalah masih merupakan buah larangan yang penuh rahasia buat saya. Mungkin pengalaman dini inilah yang membuat saya menjadi sangat menikmati apa yang disebut cunnilingus, atau mempermainkan kemaluan wanita dengan mulut.
Sampai sekarangpun saya sangat menikmati mempermainkan kemaluan wanita, mulai dari memandang, lalu mencium aroma khasnya, lalu mempermainkan dan menggigit bibir luarnya (labia majora), lalu melumati bagian dalamnya dengan lidah saya, lalu mengemut clitorisnya sampai si wanita minta-minta ampun kewalahan.
Yang terakhir barulah saya memasukkan batang kemaluan saya kedalam liang sanggamanya yang sudah banjir. Setelah kesempatan saya dan Ayu untuk bermain cinta (saya tidak tahu apakah itu bisa disebut bermain cinta) yang pertama kali itu, maka kami menjadi semakin berani dan Ayu dengan bebasnya akan datang kerumah saya hampir setiap hari, paling sedikit 3 kali seminggu.
Apabila dia datang, dia akan langsung masuk kedalam kamar tidur saya, dan tidak lama kemudian sayapun segera menyusul. Biasanya dia selalu mengenakan daster yang longgar yang bisa ditanggalkan dengan sangat gampang, hanya tarik saja keatas melalui kepalanya, dan biasanya dia duduk dipinggiran tempat tidur saya.
Saya biasanya langsung menerkam payudaranya yang sudah agak kendor tetapi sangat bersih dan mulus. Pentilnya dilingkari bundaran yang kemerah-merahan dan pentilnya sendiri agak besar menurut penilaian saya. Ayu sangat suka apabila saya mengemut pentil susunya yang menjadi tegang dan memerah, dan bisa dipastikan bahwa kemaluannya segera menjadi becek apabila saya sudah mulai ngenyot-ngenyot pentilnya.
Mungkin saking tegangnya saya didalam melakukan sesuatu yang terlarang, pada permulaannya kami mulai bersanggama, saya sangat cepat sekali mencapai klimaks. Untunglah Ayu selalu menyuruh saya untuk menjilat-jilat dan menyedot- nyedot kemaluannya lebih dulu sehingga biasanya dia sudah orgasme duluan sampai dua atau tiga kali sebelum saya memasukkan penis saya kedalam liang peranakannya, dan setelah saya pompa hanya beberapa kali saja maka saya seringkali langsung menyemprotkan mani saya kedalam vaginanya.
Barulah untuk ronde kedua saya bisa menahan lebih lama untuk tidak ejakulasi dan Ayu bisa menyusul dengan orgasmenya sehingga saya bisa merasakan empot-empotan vaginanya yang seakan-akan menyedot penis saya lebih dalam kedalam sorga dunia. Ayu juga sangat doyan mengemut-ngemut penis saya yang masih belum bertumbuh secara maksimum.
Saya tidak disunat dan Ayu sangat sering menggoda saya dengan menertawakan “kulup” saya, dan setelah beberapa minggu Ayu kemudian berhasil menarik seluruh kulit kulup saya sehingga topi baja saya bisa muncul seluruhnya. Saya masih ingat bagaimana dia berusaha menarik-narik atau mengupas kulup saya sampai terasa sakit, lalu dia akan mengobatinya dengan mengemutnya dengan lembut sampai sakitnya hilang.
Setelah itu dia seperti memperolah permainan baru dengan mempermainkan lidahnya disekeliling leher penis saya sampai saya merasa begitu kegelian dan kadang- kadang sampai saya tidak kuat menahannya dan mani saya tumpah dan muncrat ke hidung dan matanya. Kadang-kadang Ayu juga minta “main” walaupun dia sedang mens.
Walaupun dia berusaha mencuci vaginanya lebih dulu, saya tidak pernah mau mencium vaginanya karena saya perhatikan bau-nya tidak menyenangkan. Paling-paling saya hanya memasukkan penis saja kedalam vaginanya yang terasa banjir dan becek karena darah mensnya. Terus terang, saya tidak begitu menikmatinya dan biasanya saya cepat sekali ejakulasi.
Apabila saya mencabut kemaluan saya dari vagina Ayu, saya bisa melihat cairan darah mensnya yang bercampur dengan mani saya. Kadang- kadang saya merasa jijik melihatnya. Satu hari, kami sedang asyik- asyiknya menikmati sanggama, dimana kami berdua sedang telanjang bugil dan Ayu sedang berada didalam posisi diatas menunggangi saya. Dia menaruh tiga buah bantal untuk menopang kepala saya sehingga saya bisa mengisap- isap payudaranya sementara dia menggilas kemaluan saya dengan dengan kemaluannya.
Pinggulnya naik turun dengan irama yang teratur. Kami rileks saja karena sudah begitu seringnya kami bersanggama. Dan pasangan suami isteri yang tadinya menyewa kamar dikamar sebelah, sudah pindah kerumah kontrakan mereka yang baru. Saya sudah ejakulasi sekali dan air mani saya sudah bercampur dengan jus dari kemaluannya yang selalu membanjir.
Lalu tiba-tiba, pada saat dia mengalami klimaks dan dia mengerang- erang sambil menekan saya dengan pinggulnya, anak perempuannya yang bernama Efi ternyata sedang berdiri dipintu kamar tidur saya dan berkata, “Ibu main kancitan, iya..?” (kancitan = ngentot, bahasa Palembang) Saya sangat kaget dan tidak tahu harus berbuat bagaimana tetapi karena sedang dipuncak klimaksnya, Ayu diam saja terlentang diatas tubuh saya.
Saya melirik dan melihat Efi datang mendekat ketempat tidur, matanya tertuju kebagian tubuh kami dimana penis saya sedang bersatu dengan dengan kemaluan ibunya. Lalu dia duduk di pinggiran tempat tidur dengan mata melotot. “Hayo, ibu main kancitan,” katanya lagi. Lalu pelan-pelan Ayu menggulingkan tubuhnya dan berbaring disamping saya tanpa berusaha menutupi kebugilannya. Saya mengambil satu bantal dan menutupi perut dan kemaluan saya .
“Efi, Efi. Kamu ngapain sih disini?” kata Ayu lemas. “Efi pulang sekolah agak pagi dan Efi cari-cari Ibu dirumah, tahunya lagi kancitan sama Bang Johan,” kata Efi tanpa melepaskan matanya dari arah kemaluan saya. Saya merasa sangat malu tetapi juga heran melihat Ayu tenang-tenang saja.
“Efi juga mau kancitan,” kata Efi tiba-tiba. “E-eh, Efi masih kecil..” kata ibunya sambil berusaha duduk dan mulai mengenakan dasternya. “Efi mau kancitan, kalau nggak nanti Efi bilangin Abah.” “Jangan Efi, jangan bilangin Abah.., kata Ayu membujuk. “Efi mau kancitan,” Efi membandel.
“Kalo nggak nanti Efi bilangin Abah..” “Iya udah, diam. Sini, biar Johan ngancitin Efi.” Ayu berkata. Saya hampir tidak percaya akan apa yang saya dengar. Jantung saya berdegup-degup seperti alu menumbuk. Saya sudah sering melihat Efi bermain-main di pekarangan rumahnya dan menurut saya dia hanyalah seorang anak yang masih begitu kecil.
Dari mana dia mengerti tentang “main kancitan” segala? Ayu mengambil bantal yang sedang menutupi kemaluan saya dan tangannya mengelus- ngelus penis saya yang masih basah dan sudah mulai berdiri kembali. “Sini, biar Efi lihat.” Ayu mengupas kulit kulup saya untuk menunjukkan kepala penis saya kepada Efi. Efi datang mendekat dan tangannya ikut meremas- remas penis saya.
Aduh maak, saya berteriak dalam hati. Bagaimana ini kejadiannya? Tetapi saya diam saja karena betul-betul bingung dan tidak tahu harus melakukan apa. Tempat tidur saya cukup besar dan Ayu kemudian menyutuh Efi untuk membuka baju sekolahnya dan telentang di tempat tidur didekat saya.
Saya duduk dikasur dan melihat tubuh Efi yang masih begitu remaja. Payudaranya masih belum berbentuk, hampir rata tetapi sudah agak membenjol. Putingnya masih belum keluar, malahan sepertinya masuk kedalam. Ayu kemudian merosot celana dalam Efi dan saya melihat kemaluan Efi yang sangat mulus, seperti kemaluan ibunya.
Belum ada bibir luar, hanya garis lurus saja, dan diantara garis lurus itu saya melihat itilnya yang seperti mengintip dari sela-sela garis kemaluannya. Efi merapatkan pahanya dan matanya menatap kearah ibunya seperti menunggu apa yang harus dilakukan selanjutnya. Saya mengelus-elus bukit venus Efi yang agak menggembung lalu saya coba merenggangkan pahanya.
Dengan agak enggan, Efi menurut, dan saya berlutut di antara kedua pahanya dan membungkuk untuk mencium selangkangan Efi. “Ibu, Efi malu ah..” kata Efi sambil berusaha menutup kemaluannya dengan kedua tangannya. “Ayo, Efi mau kancitan, ndak?” kata Ayu. Saya mengendus kemaluan Efi dan baunya sangat tajam.
“Uh, mambu pesing.” Saya berkata dengan agak jijik. Saya juga melihat adanya “keju” yang keputih-putihan diantara celah-celah bibir kemaluan Efi. “Tunggu sebentar,” kata Ayu yang lalu pergi keluar kamar tidur. Saya menunggu sambil mempermainkan bibir kemaluan Efi dengan jari-jari saya. Efi mulai membuka pahanya makin lebar. Sebentar kemudian Ayu datang membawa satu baskom air dan satu handuk kecil.

Dia pun mulai mencuci kemaluan Efi dengan handuk kecil itu dan saya perhatikan kemaluan Efi mulai memerah karena digosok-gosok Ayu dengan handuk tadi.
Setelah selesai, saya kembali membongkok untuk mencium kemaluan Efi. Baunya tidak lagi setajam sebelumnya dan sayapun menghirup aroma kemaluan Efi yang hanya berbau amis sedikit saja.

Saya mulai membuka celah-celah kemaluannya dengan menggunakan lidah saya dan Efi-pun merenggangkan pahanya semakin lebar. Saya sekarang bisa melihat bagian dalam kemaluannya dengan sangat jelas. Bagian samping kemaluan Efi kelihatan sangat lembut ketika saya membuka belahan bibirnya dengan jari- jari saya, kelihatanlah bagian dalamnya yang sangat merah.
Saya isap-isap kemaluannya dan terasa agak asin dan ketika saya mempermainkan kelentitnya dengan ujung lidah saya, Efi menggeliat- geliat sambil mengerang, “Ibu, aduuh geli, ibuu.., geli nian ibuu..” Saya kemudian bangkit dan mengarahkan kepala penis saya kearah belahan bibir kemaluan Efi dan tanpa melihat kemana masuknya, saya dorong pelan- pelan.
“Aduh, sakit bu..,” Efi hampir menjerit. “Johan, pelan-pelan masuknya.” Kata Ayu sambil mengelus-elus bukit Efi. Saya coba lagi mendorong, dan Efi menggigit bibirnya kesakitan. “Sakit, ibu.” Ayu bangkit kembali dan berkata,”Johan tunggu sebentar,” lalu dia pergi keluar dari kamar.
Saya tidak tahu kemana Ayu perginya dan sambil menunggu dia kembali sayapun berlutut didepan kemaluan Efi dan sambil memegang batang penis, saya mempermainkan kepalanya di clitoris Efi. Efi memegang kedua tangan saya erat-erat dengan kedua tangannya dan saya mulai lagi mendorong. Saya merasa kepala penis saya sudah mulai masuk tetapi rasanya sangat sempit.
Saya sudah begitu terbiasa dengan lobang kemaluan Ayu yang longgar dan penis saya tidak pernah merasa kesulitan untuk masuk dengan mudah. Tetapi liang vagina Efi yang masih kecil itu terasa sangat ketat. Tiba-tiba Efi mendorong tubuh saya mundur sambil berteriak, “Aduuh..!” Rupanya tanpa saya sadari, saya sudah mendorong lebih dalam lagi dan Efi masih tetap kesakitan.
Sebentar lagi Ayu datang dan dia memegang satu cangkir kecil yang berisi minyak kelapa. Dia mengolesi kepala penis saya dengan minyak itu dan kemudian dia juga melumasi kemaluan Efi. Kemudian dia memegang batang kemaluan saya dan menuntunnya pelan-pelan untuk memasuki liang vagina Efi. Terasa licin memang dan saya-pun bisa masuk sedikit demi sedikit. Efi meremas tangan saya sambil menggigit bibir, apakah karena menahan sakit atau merasakan enak, saya tidak tahu pasti.
Saya melihat Efi menitikkan air mata tetapi saya meneruskan memasukkan batang penis saya pelan-pelan. “Cabut dulu,” kata Ayu tiba- tiba. Saya menarik penis saya keluar dari lobang kemaluan Efi. Saya bisa melihat lobangnya yang kecil dan merah seperti menganga.
Ayu kembali melumasi penis saya dan kemaluan Efi dengan minyak kelapa, lalu menuntun penis saya lagi untuk masuk kedalam lobang Efi yang sedang menunggu. Saya dorong lagi dengan hati-hati, sampai semuanya terbenam didalam Efi. Aduh nikmatnya, karena lobang Efi betul-betul sangat hangat dan ketat, dan saya tidak bisa menahannya lalu saya tekan dalam-dalam dan air manikupun tumpah didalam liang kemaluan Efi.
Efi yang masih kecil. Saya juga sebetulnya masih dibawah umur, tetapi pada saat itu kami berdua sedang merasakan bersanggama dengan disaksikan Ayu, ibunya sendiri. Efi belum tahu bagaimana caranya mengimbangi gerakan bersanggama dengan baik, dan dia diam saja menerima tumpahan air mani saya. Saya juga tidak melihat reaksi dari Efi yang menunjukkan apakah dia menikmatinya atau tidak. Saya merebahkan tubuh saya diatas tubuh Efi yang masih kurus dan kecil itu. Dia diam saja.
Setelah beberapa menit, saya berguling kesamping dan merebahkan diri disamping Efi. Saya merasa sangat terkuras dan lemas. Tetapi rupanya Ayu sudah terangsang lagi setelah melihat saya menyetubuhi anaknya. Diapun menaiki wajah saya dan mendudukinya dan menggilingnya dengan vaginanya yang basah, dan didalam kami di posisi 69 itu diapun mengisap-ngisap penis saya yang sudah mulai lemas sehingga penis saya itu mulai menegang kembali.


Wajah saya begitu dekat dengan anusnya dan saya bisa mencium sedikit bau anus yang baru cebok dan entah kenapa itu membuat saya sangat bergairah. Nafsu kami memang begitu menggebu-gebu, dan saya sedot dan jilat kemaluan Ayu sepuas-puasnya, sementara Efi menonton kami berdua tanpa mengucapkan sepatah katapun. Saya sudah mengenal kebiasaan Ayu dimana dia sering kentut kalau
betul-betul sedang klimaks berat, dan saat itupun Ayu kentut beberapa kali diatas wajah saya. Saya sempat melihat lobang anusnya ber- getar ketika dia kentut, dan sayapun melepaskan semburan air mani saya yang ketiga kalinya hari itu didalam mulut Ayu. “Alangkah lemaknyoo..!” saya berteriak dalam hati. “Ugh, ibu kentut,” kata Efi tetapi Ayu hanya bisa mengeluarkan suara seperti seseorang yang sedang dicekik lehernya.

Hanya sekali itu saja saya pernah menyetubuhi Efi. Ternyata dia masih belum cukup dewasa untuk mengetahui nikmatnya bersanggama. Dia masih anak kecil, dan pikirannya sebetulnya belum sampai kepada hal-hal seperti itu. Tetapi saya dan Ayu terus menikmati indahnya permainan bersanggama sampai dua atau tiga kali seminggu.
Saya masih ingat bagaimana saya selalu merasa sangat lapar setelah setiap kali kami selesai bersanggama. Tadinya saya belum mengerti bahwa tubuh saya menuntut banyak gizi untuk menggantikan tenaga saya yang dikuras untuk melayani Ayu, tetapi saya selalu saya merasa ingin makan telur banyak-banyak.
Saya sangat beruntung karena kami kebetulan memelihara beberapa puluh ekor ayam, dan setiap pagi saya selalu menenggak 4 sampai 6 butir telur mentah. Saya juga memperhatikan dalam tempo setahun itu penis saya menjadi semakin besar dan bulu jembut saya mulai menjadi agak kasar. nonton film dewasa 
Saya tidak tahu apakah penis saya cukup besar dibandingkan suami Ayu ataupun lelaki lain. Yang saya tahu adalah bahwa saya sangat puas, dan kelihatannya Ayu juga cukup puas. Saya tidak merasa seperti seorang yang bejat moral. Saya tidak pernah melacur dan ketika saya masih kawin dengan isteri saya yang orang bule, walaupun perkawinan kami itu berakhir dengan perceraian, saya tidak pernah menyeleweng. prediksi togel jitu 
Tetapi saya akan selalu berterima kasih kepada Ayu (entah dimana dia sekarang) yang telah memberikan saya kenikmatan didalam umur yang sangat dini, dan pelajaran yang sangat berharga didalam bagaimana melayani seorang perempuan, terlepas dari apakah itu salah atau tidak.

Untuk Melihat Video Selengkapnya Klik Dibawah Ini :
Posted By : www.tugupoker.net

Tuesday, May 29, 2018

Agen Ceme Online - Kisah Seks Skandal Dengan Om-Om

Agen Ceme Online - Kisah Seks Skandal Dengan Om - Om - Acara pesta suami sudah selesai , dan hari ini sudah menjadi hari biasa dengan rutinitas bekerja dirumah, sedangkan suamiku berangkat ke kantor, dan aku juga gak tau hubungan dengan dini berlanjut atau tidak soalnya jika ditanya selalu mengelak, suamiku sering pulang larut malam katanya ada pekerjaan kantor yang tidak bisa ditinggal.

Agen Ceme Terbaik Aku pun mulai sering telepon2an ama tony, walau dia memaksa untuk datang ke rumah aku, aku tetap aja nolak biarpun aku udah pernah janji, alasan aku takut ketauan, dia ngajak ML di luar aku juga tetap nolak, karena gak mau ninggalin rumah dan takut kalo mas eko pulang aku gak ada di rumah.
Paling banter kita phone sex sampe berjam2. aku berupaya nolak dengan berbagai cara tapi ditinggal terus menerus bikin gairah aku semakin tinggiapalagi setiap pulang kantor mas eko selalu menolak berhubungan dengan alasan keletihan ntar aja an,
Wekeend aja ya gila seminggu sekali buat pasangan baru nikahmmh bikin aku pusing kejadian yg gak disangka2 pun terjadi suatu pagi, selasa pagi, setelah mas eko ke kantor. entah setelah pesta itu, aku semakin berani aja berpakaian, aku sering banget gak make bra,

Kalo keluar kemana2 karena kompleks rumah kami dekat ama pasar, akumemutuskan untuk ke pasar, hanya make daster, dan itupun tanpa bra setelah pulang dari pasar, aku lucuti daster aku, tinggal make CD doank, sambil masak selesai masak, aku nyantai nonton dvd semiblue
Gak lama kemudian bel berbunyi, kontan aku kaget, aku kecilin volumenya, lantas ke belakang ngambil baju handuk trus ke pintu pas aku buka ternyata om aku ( adik nyokap aku ). om aku ini emang akrab banget ama aku, bisa dibilang aku ponakan paling disayang lahhehehe ( maklum imut ), dia emang sering mampir ke rumah.

Dia sendiri udah berkeluarga anaknya dua, masih kecil2 tapi, dulu sebelum married aku sering banget nginep di rumahnya buat ngurusin anaknya, maklum mereka berdua pada bekerja sebagai PNS, lagian dulu waktu aku masih kecil om aku sering ngurusin aku.
Om aku di dephankam sedang istrinya di depkominfo aku kaget aja liat om aku, maklum keadaan aku lagi sedang ‘in’, eh om darimana ini tadi dari kantor tapi gak ada kerjaan ya om mampir aja kesini sekalian nengokin kamu, gimana udah isi belom ? isi apaan? wong mas eko sibuk melulu.
Sambil melangkah ke ruang dalam ani lagi ngapain nih, baru abis mandi? baru abis masak, mau juga mandi oya om mau makan gak? ani tadi masak udang tuh? udah om tadi baru makan di kantor, minum aja deh aku lantas kebelakang,buatin kopi.
Aku balik k ruang tamu, nyediain kopi, otomatis aku nunduk didepan dia, baju handuk aku talinya rada kendor, so dia bisa ngeliat nenen aku aku mikir ah biasalah dia langsung ngomong dia emang blak2an orangnya dan sangat dekat ama aku weh udah gede aja itu.
Sambil matanya tertuju ke payudara aku, dulu waktu kamu masih kecil om yg ngurusin kencing beraknya, gak nyangka sekarang udah besar idih om bisa aja, yee lagian dulu om udah liat donkh, ani malah blom liat punyanya omhihihi eh, tambah pintar aja sekarang? gimana kabar papa mama?  tuh kan paling pintar alihkan perbincangan, baik2 aja kok om diminum kopinya iya, udah kamu mandi aja sana,

Om mo liat tv bentar gak mau mandiin nih om? tantang aku sambil nyalain tv eh kamu mulai berani ya? kan sekarang udah gede, jadi bisa mandi sendiri alah bilang aja takut ada yg bangun eh nakal kamu
ya, awas om bilangin papa loh udah sana mandi duh lagi malas mandi nih om,

Kan enak kalo bau keringat gini, lagian kalo ada yg bangun, ntar ani yg beresin deh beresin apanya ah om masa perlu penjelasan lagi ( om aku biar kulitnya kecoklat2an/hitam tapi badannya tegap banget kayak tentara ) beresin baju maksud kamu  bikin tenang yang bangun lah om gimana sih emang kamu bisa tenanginnya yaelah om.
Emang ani masih kecil apa siapa yg ngajarin kamu an? Gak ada suami kamu juga kok ngomong2 yg engak2 nah tuh kan pasti udah mulai tegang tuh, lagian ani jarang gituan om, mas eko sibuk melulu trus sedari kuliah,
Ani suka terkagum2 ama bodynya om ingat gak waktu kita berenang dulu, ani suka meluk om dari belakang kan ah kamu bisa aja, sana kamu mandi emang abis mandi mau diapain ani? eh nih anak, biar segar lah masa sih gak tertarik ama ani om?  hush tertarik sih tertarik, tapi ingat kamu kan ponakan saya.
Masa om tega sih ama ponakan kalo ani yang mau gimana? hush ngaco kamu, udah sana mandi aku lantas berdiri, tapi gak ke belakang, aku ke pintu dpan, nutupin pintu trus aku locked, ga balik lagi ke ruang tamu tengah.
Aku liat om aku lagi nonton tv, aku buka aja tali baju handukbluup bajuhanduknya sekarang gak terikat, trus aku jalan ke depan om aku sambil ngambil remote om motornya diparkir disamping kan om aku tampak kaget an kamu ngapain kunci pintu depan om biar aman sambil aku lepasin baju handuk aku di depan om aku trus ngapain kamu buka handuknya lha tadi katanya disuruh mandi gimana sih iya kamu kan bisa lepasin di dalam kamar mandi lha katanya waktu kecil udah ngeliat punya ani kan emang beda ya om sama waktu kecil sambil tangan aku nurunin CD aku aku benar2 polos, jembi yg sedkit bulunya.
Ditambah payudara aku yg masih mengkal, kulit putih aku, udah gitu aku naikin tangan aku buat rapihin rambut aku, otomatis bulu2 halus di ketiak aku pun kelihatan om aku tambah bengong, tak berkedip ngeliat aku aku langsung duduk di sampingnya an kkkkaaamu bennnneran nnihh aku yg udah ‘in’,
Langsung aja tangan aku merayap ke paha om aku om mau kan puasin ani? kita jaga deh rahasianya inget gak waktu kita sering berenang berempat ama diki dan layla ( kedua anaknya yg masih sd kls satu dan tk ),
Waktu tante gak bisa ikut tangan aku langsung remas2 kontolnya udah gitu kita perginya siang jam 2an, kolam renangnya masih sepi banget, trus aku peluk om dari belakang abis tubuhnya sexy abis sih trus waktu di kamar mandi,
Om nyuruh aku mandiin diki dan layla, padahal itu kan kamar mandi cowok, tapi karena sepi dan butuh org buat ngurusin mereka. trus om buka celana renang om sambil menghadap ke tembok, mandi, padahal om tau ada aku disitu, yg jelas saat itu aku kan udah gak kecil lagi, aku udah kuliah semester 7, tapi om seolah cuek aja, iya sih waktu itu aku gak ngeliat kontol om,
Karena om menghadap ke tembok tapi otomatis aku ngeliat pantat om, yang tembem itu, trus hitam mengkilat diterpa air maksud om apaan sambil tangan aku turunin resleting baju pnsnya abis itu, om cuma ngelilit handuk doankh di pinggang trus berbalik ani tau om,
Baju renang ani emang sexy, om bisa leluasa ngeliat buah dada ani kan karena ani tau om konak, waktu pura make-in baju buat dicky, ani ngeliat bagian depannya kok nonjol banget udah gitu om pura2 berdiri di belakang ani sambil ddempetin punya om kan ani ngerasa ada yang keras banget di belahan pantat ani, apalagi ani masih make baju renang, yg cuman celada dalam dan bra gitu trus om suruh dicky tunggu di luar,
Padahal om gesek2in punya om persis di belahan pantat ani, padahal kalo om mau bantuin make baju si layla, harusnya kan kta berhadapan tau gak om ani sampe ngumpet dalam hati, gila pasti besar banget nihudah gitu om julurin tangan alasan buat megang baju si layla padahal om nyenggol toket ani kan, udah gitu om suruh layla tunggu di luar,
Tangan om megang pinggul ani sambil om terus gesek2in kontol om di pantat anipasti om tau ani juga menikmatinya, makanya ani gak mau beranjakani tau kalo saat itu om juga udah habis akal, ani kan dengar suara om udah ngos2an tapi ani sama sekali gak protes kan malah ani bantu om kan, ani sengaja goyang2in pantat coba om pikir dalam kamar mandi cowok,
Cowok hanya make handuk megang pinggul cewek yg hanya make baju renang berduaan sendirian tapi ani tetap gak beranjakuntung kamar mandinya gak ada pintu, gak ada lampu dan kita sedikit terbantu dengan suasana sepi inget gak, waktu om udah gak nahan lagi, kontol om udah tegang banget.
Tapi om gak juga mau nyingkirin handuk, dan om semakin cepat nusuk pantat ani, tangan om sampai meluk perut anikenapa om gak mau nyentuh susu ani?sampai si dicky masuk trus teriak papa lagi ngapainlalu om kagetcepat2 masuk ke kamar kecilingat gak?,
Ani tau om tanggung, makanya pas pulang waktu di mobil, ani sengaja make rok mini tanpa $$CD, biar d mobil om bisa liatin punya ani kanterbukti pas di mobil ani duduk depan, ani narik naik rok ani om ngeliatin aja meqi ani tangan aku udah ngocok2in kontol om aku, yg emang gede, panjang, keras, berurat dan hitam kecoklat2an  sekarang om gak perlu canggung karena ani udah dewasa dan kita sama2 mau kan? iyaaaa nnni tapi kalo kamu hamil gimana? jgn takut om, gak bakal, kan sekarang bukan masa subur, lagian banyak dokter ahli kan.
Om aku mulai horny, bajunya dia lepas tangan aku masih ngocokin kontolnya, abis itu aku jongkok didepan dia, turunin celananya, langsung aku isap kontolnya, dari telur, aku mainin lidah aku di ujung kontolnya kontol om gede banget, tau gak dari dulu ani udah pengen ngerasainnya abis aku kulum kontolnya,
Aku merangkak naik jilatin dadanya, pentil susunya yg hitam aku sedotmmh bau keringat lelaki semakin bikin aku bergairahom aku keliatan kaku banget tapi dia menikmati, gak lama kemudian, tangan dia megang tubuh aku, ditidurin aku di sofa, tangan aku diangkat keatas, dia jilat ketiak aku, tangannya mainin susu akuani gak papa nih om rasain punya anigak papa om,
Ani mauu ommm, ani mau kontol om abis diremas2, dia jilatin susu aku, turun ke pusar, ke perut aku, abis itu dia mainin meqi aku, dari bibirnya sampe kedalam2 nya mmh punya ani wangi emang punya tante gak om ah punya tante banyak bulunya kontol om juga enak  kan kontol om hitam,
Lebih putih suami kamu kan ah mas eko gak ada apa2nya om, punya om 3 kali lipatom masukin donk iya ponakan sayang lantas dia ngangkat pinggul aku dan bluuupp, masukin kontolnya yg udah tegang pelan2 lama2 gerakan makin liarmmmhhhh ommmmsambil aku goyangin pantat aku annii punya kamu enak banget yg benar ahhh om kontol om gede banget ani suka kontol om?
Suka omm om juga suka meqi ani om terus omm om aku lalu menunduk, akhirnya kita berpagutan mulut, sambil terus memompa dan aku pun terus goyang2in pantat aku enak an?  enak ommm om sering2 kesini ya ntar kalo ketauan gimana udah om ygpenting kesini aja dulu ntar kita liat sikonkontol om enakk banggeeett, lagi ommmmmmmoooommmmmmmmm,
Ahirnya aku cengkeram leher om akummmmhh aku rasain orgasme yg dasyhat om aku masih terus memompaannnnniiiii keluar ommmmmm om aku lantas cabut kontolnya, ganti posisi, aku nungging dan dia masukin dari belakangmmmhhh gak lama kemudian om aku muncrat aaannnnniiii oomm tumppaahhh tumpahin om di memek ani,
Genjot trus ommm setelah kontolnya ditarik aku langsung balik badan, mengulum sisa2 spema di kontol om aku dan kita terkulai lemasmakasih om kamu nakal anyee gak lama kemudian om aku bangkit menuju kamar mandi,
Liat pantatnya yg montok hitam mengkilat, aku jadi horny lagi, aku ikutin ke belakang, sampai di kamar mandi aku jongkok di pantatnya, aku jilatin sampe ke dubur2nyaenak aniiikamu masih mau sayangiya omom aku lalu berbalik suruh aku balik badan,
Gentian dia yg jilatin pantat akuegghh ommm ennnaaaaakkkkk gak lama kemudian telpon berdering aku buru2 lari ke ruang tengah( mas eko emang suka nelpoan siang2 ) ngangkat telpon, lagi bicara di telepon eh tau2nya om aku udah nyusul,
Dia jongkok di belakang aku sambil jilatin pantat akummmhhan kamu ngapain? nggak gpp kok, lagi ngantuk nih, ntar sore aja telpon lagi ya mas ooo oke deh bye bye too.klekegghh ommm enak bangetttttttssss
Gak lama kemudian hp om aku bunyi, dia cepat2 ngangkat, ngeliat kontol om aku yg udah pada ngaceng llagi, aku cepat2 jongkok, isapinom aku gak bisa nahandia mendesah di telepon, apalagi aku naiki tubuhnya,
Mainin lidah aku di telinga sebelahnya om aku menahan nafas ( awal dari masalah ) kamu dimana ? nnneennnnggak kok telpon di kantor gak ada gak kok aakku di di rumah anii ngapainn mampir aja koko ya udah klek, aku langsung kulum mulut om akupantat aku pas diatas kntolnyadan blup begitu kontolnya masuk aku goyang2 in sambil berciuman gak lama kemudian. pintu ada yg gedor dan.crot

Untuk Melihat Video Selengkapnya Klik Dibawah Ini :
Posted By : www.tugupoker.net

Monday, May 28, 2018

Agen Ceme Terpercaya - Ngentot Dengan Model Cantik Nan Montok

Agen Ceme Terpercaya - Ngentot Dengan Model Cantik Nan Montok Pagi hari. Aku baru saja bangun tidur. Udara terasa segar setelah Jakarta diguyur hujan deras semalaman. Kukenakan kaos oblong tanpa lengan dan celana pendek ketat yang menampakkan lekuk-lekuk pantatku yang begitu menggiurkan. Aku berjalan ke halaman depan.
Agen Ceme Terbaik - “Aha… Koran baru sudah datang”, kataku dalam hati melihat surat kabar pagi terbitan hari ini tergeletak di dekat pintu pagar. Kuambil surat kabar itu. Langsung aku duduk di kursi di teras sambil membacanya. Sebagai mahasiswa fakultas ekonomi aku sangat menyukai berita-berita tentang perekonomian Indonesia termasuk krisis ekonomi berkepanjangan yang tengah melanda Indonesia. Kubolak-balik halaman-halaman surat kabar. Mataku tertumbuk pada sebuah iklan satu kolom yang cukup mencolok.
“Dicari, gadis berusia 17 sampai 25 tahun. Wajah dan penampilan menarik. Bertubuh ramping. Tinggi minimal 165 cm dengan berat yang sesuai. Dapat bergaya. Berminat untuk menjadi foto model. Peminat diharapkan datang sendiri ke **** (edited) Agency, Jl. Cempaka Putih **** (edited), Jakarta Pusat.”
“Aku bisa diterima apa nggak ya?” Aku bertanya dalam hati. Memang sih, kupikir-pikir aku memenuhi syarat-syarat yang diminta. Usiaku baru menginjak 20 tahun. Tubuhku ramping dengan tinggi 170 cm, seimbang dengan ukuran dadaku yang di atas rata-rata wanita seusiaku. Wajahku cantik. Teman-temanku bilang aku perpaduan antara Desy Ratnasari dan Maudy Kusnadi. Tapi menurutku sih mereka terlalu memujiku berlebih-lebihan.
Ah, coba-coba saja aku melamar. Siapa tahu aku diterima jadi foto model. Kan lumayan buat menambah penghasilan. Aku masuk ke dalam rumah, ke kamarku. “Pakai baju apa ya enaknya?” batinku. Ah ini saja. Kukenakan blus biru muda dan celana panjang jeans belel yang cukup ketat yang baru saja beberapa hari yang silam kubeli di Cihampelas, Bandung.
Mobil Feroza yang kukendarai memasuki jalan yang disebut dalam iklan. Ah, mana ya nomor **** (edited)? Nah ini dia. Rumahnya sih cukup mentereng. Di halamannya terpampang papan nama “**** (edited) Agency Photo Studio & Modelling. Menerima anggota baru.” Wah benar ini tempatnya. Kuparkir mobilku di pinggir jalan. Di sana sudah banyak bertengger mobil-mobil lain. Aku masuk ke dalam. Astaga! Di dalam sudah banyak cewek-cewek cantik. Pasti mereka juga adalah pelamar sepertiku. Sejenak mereka memandangku ketika aku masuk. Mungkin mereka kagum melihat kecantikan wajahku dan kemolekan tubuhku. Kucari tempat duduk yang kosong setelah sebelumnya mendaftarkan diriku di meja pendaftaran.
Gila, hampir semua tempat duduk terisi. Nah, itu dia ada satu yang kosong di sebelah seorang cewek yang cantik sekali, keturunan Indo. Wajahnya mirip Cindy Crawford. Kelihatannya ia sebaya denganku. Tapi astaga, ia memakai baju yang berdada rendah alias “you can see,” dan rok jeans mini yang cukup ketat, sehingga menampakkan pangkal payudaranya yang berukuran cukup besar. Ia nampak memandangku dan tersenyum. Melihatnya aku menjadi minder. Wah, sainganku ini top sekali. Apakah mungkin aku terpilih menjadi foto model di sini? Satu persatu para pelamar dipanggil ke ruang pengetesan, sampai si Indo di sampingku tadi dipanggil juga. Semua pelamar yang sudah dites keluar lewat pintu lain. Akhirnya namaku dipanggil juga.
“Hanny K**** (edited) dipersilakan masuk ke dalam.”
Aku pun masuk ke dalam dan disambut oleh seorang pria bertubuh agak gemuk.
“Kenalkan aku Adolf, direktur sekaligus pemilik agensi ini. Siapa nama kamu tadi? Oh ya, Hanny, nama yang bagus, sebagus orangnya. Sekarang giliran kamu dites. Coba kamu berdiri di sana.”
Aku pun menurut saja dan menuju tempat yang ditunjuk oleh Adolf, di bawah lampu sorot yang cukup terang dan di depan sebuah kamera foto.
“Coba kamu lihat-lihat contoh-contoh foto ini. Pilih lima gaya di antaranya. Aku akan mengetes apakah kamu bisa bergaya. Jangan malu-malu, don’t be shy!” kata Adolf sembari memberiku sebuah album foto. Aku melihat foto-foto di dalamnya. Ah ini sih seperti gaya foto model di majalah-majalah! Mudah amat! Lalu aku memilih lima gaya yang menurutku bagus. Setelah itu, jepret sana, jepret sini, lima gaya sudah aku berpose dan dipotret. Tapi Adolf belum mempersilakan aku keluar ruangan. Dia kelihatannya seperti berpikir sejenak.
“Nah, sekarang, Han. Coba kamu buka kancing-kancing bagian atas blus kamu. Nggak usah malu. Biasa-biasa aja lah!”
Kupikir tak apa-apa lah kali ini. Kubuka beberapa kancing atas blusku sehingga terlihat BH yang kupakai. Mata Adolf sekilas berubah saat melihat pangkal payudaraku yang montok. Lalu aku dipotret lagi dengan pose-pose yang sensual.
“Nah, begitu kan yahud. Sekarang coba buka baju kamu semuanya.”
Wah! Ini sih mulai kelewatan!
“Ayolah, jangan malu-malu!”
Sebenarnya dalam hati aku menolak. Akan tetapi biarlah, karena aku sejak kecil selalu mengidam-idamkan ingin menjadi foto model.
Dengan perlahan-lahan kutanggalkan blus dan celana panjangku. Mata Adolf tanpa berkedip memandangi tubuh mulusku yang hanya ditutupi oleh BH dan celana dalam. Aku sedikit menggigil kedinginan hanya berpakaian dalam di ruangan yang ber-AC ini. Namun Adolf tidak mengindahkannya. Ia malah menyuruhku menanggalkan busana yang masih tersisa di tubuhku. Ah, gila ini! Tapi cueklah, hanya berdua ini! Lalu dengan membelakangi Adolf, kulepas BH-ku. Kusilangkan tanganku di dada menutupi payudaraku.
“Han, masak kamu balik badan begitu. Bagaimana aku bisa mengetesmu.”
Aku membalikkan tubuh menghadap Adolf. Adolf menyuruhku menurunkan tangan yang menutupi payudaraku. Adolf terpana menyaksikan payudaraku yang montok dan berisi dengan puting susunya yang tinggi menantang berwarna kecoklatan segar, tanpa tertutup oleh selembar benang pun. Aku menjadi risih pada pandangan matanya. Adolf menyuruhku melepas celana dalamku. Ia semakin melotot melihat bagian kemaluanku yang ditumbuhi oleh rambut-rambut halus yang masih tipis. Sekilas kulihat kemaluan di balik celana panjangnya menegang.
“Nah, sekarang kamu diam di situ. Akan kuukur tubuhmu, apakah memenuhi syarat”, kata Adolf sambil mengambil meteran untuk menjahit. Pertama kali dia mengukur ukuran vital dadaku. Ia melingkarkan meterannya melalui payudaraku. Dengan sengaja tangan Adolf menyentil puting susuku sebelah kanan sehingga membuatku meringis kesakitan. Tapi aku diam merengut saja.
“Kamu beruntung memiliki payudara yang indah seperti ini”, kata Adolf sambil mencolek belahan payudaraku.
“Nah, sudah selesai sekarang.” Aku merasa lega. Akhirnya selesailah pelecehan seksual yang terpaksa kuterima ini.
“Jadi saya sudah boleh keluar?” tanyaku.
“Eit! Siapa bilang kamu sudah boleh keluar?! Nanti dulu, manis!”
Wah, kacau! Apa gerangan yang ia inginkan lagi?
“Susan!” Adolf memanggil seseorang.
Seorang gadis cantik keluar dari ruangan lain, telanjang bulat. Ya ampun, ternyata ia adalah cewek Indo yang tadi duduk di sampingku di ruang tunggu. Payudaranya yang montok bergantung indah di dadanya, seimbang dengan pinggulnya yang montok pula. Aku bertanya-tanya apa arti dari semua ini.
“Nah, sekarang coba kamu lihat, Hanny. Susan ini adalah satu-satunya pelamar yang berhasil terpilih. Mengapa? Sebab ia cocok dengan profil foto model yang saya inginkan untuk proyek kalender bugil yang akan saya edarkan di luar negeri. Kalo kamu ingin berhasil seperti Susan, kamu harus berani seperti dia, Han”, kata Adolf sambil menunjuk ke arah gadis cantik yang bugil itu. Astaga! Batinku. Aku harus dipotret bugil. Bagaimana pandangan orang-orang terhadapku nanti apabila foto-foto telanjangku sampai dilihat orang-orang banyak?! Tapi kan cuma diedarkan di luar negeri?!
“Baiklah, tapi kali ini aja ya”, aku menyanggupinya. Akhirnya aku dipotret dalam beberapa pose. Pose yang pertama, aku disuruh berbaring tertelentang dengan pose memanjang di atas ranjang, dengan membuka pahaku lebar-lebar, sehingga menampakkan kemaluanku dengan jelas. Pose kedua, aku duduk mengangkang di tepi ranjang sementara Susan menjilati liang kemaluanku. Pose ketiga, aku dalam keadaan berdiri, sedangkan Susan dengan lidahnya yang mahir mempermainkan puting susuku. Pose keempat, aku masih berdiri, sementara Susan berdiri di belakangku dan berbuat seolah-oleh kami berdua sedang bersenggama. Susan berperan sebagai seorang pria yang sedang menghujamkan batang kemaluannya ke dalam liang kewanitaanku, sedangkan tangannya meremas-remas kedua belah payudaraku yang indah. Dan aku diminta memejamkan mataku, seakan-akan aku sedang terbuai oleh kenikmatan yang tiada taranya. Semua itu adalah pose-pose yang membangkitkan nafsu birahi bagi kaum pria namun amat memuakkan bagi diriku.
Tiba-tiba kurasakan kedua belah payudaraku diremas-remas dengan lebih keras, bahkan lebih kasar. Aku meronta-ronta kesakitan. Aku menoleh ke belakang. Astaga! Ternyata yang di belakangku sudah bukan Susan lagi, melainkan Adolf yang sekarang tengah mempermainkan payudaraku dengan seenaknya! Entah Susan sudah ke mana perginya.
“Jangan, Pak! Jangan!” Aku memberontak-berontak sebisa-bisanya. Tapi semua itu tidak ada hasilnya. Tangan Adolf lebih kuat mendekapku kencang-kencang sampai aku hampir tidak bisa bernafas.
“Kamu memang benar-benar cantik, Hanny”, kata Adolf sambil mencium tengkukku sementara tangannya masih terus merambah kedua bukit yang membusung di dadaku.
Tiba-tiba dengan kasar, Adolf mendorongku, sehingga aku jatuh tertelentang di sofa. Melihat tubuh mulusku yang sudah tergeletak pasrah di depannya, nafas Adolf memburu bagai dikejar setan. Matanya melotot seperti mau meloncat keluar melihat keindahan tubuh di depannya. Kututup payudaraku dengan tanganku, tapi Adolf menepiskannya. Betapa belahan payudaraku sangat lembut dan merangsang ketika mulut Adolf mulai menjamahnya. Payudaraku yang putih bersih itu memang menggiurkan. Mulut Adolf dengan buas menjilat dan melumat bagian puncak payudaraku, lalu mengisap puting susuku bergantian, sehingga aku menggelinjang kegelian. Nafasku ikut memburu kala tangan Adolf mulai merayap ke selangkanganku, meraba-raba pahaku dari pangkal sampai lutut. Lalu betisku yang mulus itu.
Aku hampir-hampir tak bisa bernafas lagi ketika mulut Adolf terus mengisap dan menyedot puting susuku. Aku meronta-ronta. Tapi Adolf terus mendesak dan melumat puting susuku yang runcing kemerahan itu. Seumur hidupku, belum pernah aku diperlakukan sedemikian lupa oleh lelaki manapun, dan kini aku harus menyerahkan diriku pada Adolf.
Adolf mencoba mendorong batang kemaluannya masuk ke dalam liang senggamaku yang sempit. Ia sudah tak kuat lagi membendung nafsunya yang memuncak ketika batang kemaluannya bergesekan dengan liang kewanitaanku yang merah terbuka. Batang kemaluan Adolf akhirnya menghujam seluruhnya ke dalam liang kenikmatanku. Aku menjerit ketika liang kewanitaanku diterobos oleh batang kemaluan Adolf yang tegang dan panjang. Betapa perih ketika “kepala meriam” itu terus masuk ke dalam liang kewanitaanku, yang belum pernah sekalipun merasakan jamahan laki-laki.
Aku mencoba memberontak sekuat tenaga lagi. Tapi apa daya, Adolf lebih kuat. Lagipula aku sudah lemas, tenagaku sudah hampir habis. Terpaksa aku hanya dapat menerima dengan pasrah digagahi oleh Adolf. Dan akhirnya, aku merasa tak kuat lagi. Setelah itu aku tak ingat apa-apa lagi. Aku tak sadarkan diri.
Saat aku siuman, aku menyadari diriku masih tergeletak telanjang bulat di sofa dengan cairan-cairan kenikmatan yang ditembakkan dari batang kemaluan Adolf berhamburan di sekujur perut dan dadaku. Sementara kulihat ruangan itu telah kosong. Segera kukenakan pakaianku kembali dan bergegas ke luar ruangan. Kukebut Feroza-ku pulang ke rumah dan bersumpah tak akan pernah kembali lagi ke tempat terkutuk itu!

Untuk Melihat Video Selengkapnya Klik Dibawah Ini :
Posted By : www.tugupoker.net

Sunday, May 27, 2018

Agen Ceme Terbaik - Main Dengan Tante Bahenol Yang Sangat Montok

Agen Ceme Terbaik - Main Dengan Tante Bahenol Yang Sangat Montok Cerita seks ini adalah sebuah pengalaman sekaligus jalan hidupku yang penuh liku. Aku yang saat itu masih smp dan ingin sekolah dijakarta ternyata diijinkan oleh kedua orang tuaku. Akhirnya aku pergi kerumah tanteku yang ada di jakarta. Saat didesa dulu aku tidak pernah tahu tentang apa itu seks dan cerita seks. Tapi saat beranjak dewasa aku mulai tahu tentang banyak hal tentang seks dirumah tanteku yani. Mulai dari majalah porno, video bokep sampai dengan foto-foto cewek bugil semua aku tahu.
Agen Ceme Terpercaya - Memang saat dijakarta menjadi sebuah kenangan manis sekaligus kenakalan masa remajaku. mulai tahu ngentot dan belajar ngentot sama perawan maupun ngentot sama tante girang. Sudah berpuluh-puluh kali aq ngentot sama tante girang dan semua berakhir dengan kontolku yang lemas gemulai. Tapi gapapa deh yang penting aku puas. Eh kok ngalor ngidul ga jelas.
Aku ke Jakarta atas seizin orang tuaku, bahkan merekalah yang mendorongnya. Pada mulanya aku sebenarnya enggan meninggalkan keluargaku, tapi ayahku menginginkan aku untuk melanjutkan sekolah ke STM. Aku lebih suka kerja saja di Purwokerto. Aku menerima usulan ayahku asalkan sekolah di SMA (sekarang SMU) dan tidak di kampung. Dia memberi alamat adik misannya yang telah sukses dan tinggal di bilangan Tebet, Jakarta. Ayahku sangat jarang berhubungan dengan adik misannya itu. Paling hanya beberapa kali melalui surat, karena telepon belum masuk ke desaku. Kabar terakhir yang aku dengar dari ayahku, adik misannya itu, sebut saja Oom Ton, punya usaha sendiri dan sukses, sudah berkeluarga dengan satu anak lelaki umur 4 tahun dan berkecukupan. Rumahnya lumayan besar. Jadi, dengan berbekal alamat, dua pasang pakaian, dan uang sekedarnya, aku berangkat ke Jakarta. Satu-satunya petunjuk yang aku punyai: naik KA pagi dari Purwokerto dan turun di stasiun Manggarai. Tebet tak jauh dari stasiun ini.
Stasiun Manggarai, pukul 15.20 siang aku dicekam kebingungan. Begitu banyak manusia dan kendaraan berlalu lalang, sangat jauh berbeda dengan suasana desaku yang sepi dan hening. Singkat cerita, setelah ?berjuang? hampir 3 jam, tanya ke sana kemari, dua kali naik mikrolet (sekali salah naik), sekali naik ojek yang mahalnya bukan main, sampailah aku pada sebuah rumah besar dengan taman yang asri yang cocok dengan alamat yang kubawa.
Berdebar-debar aku masuki pintu pagar yang sedikit terbuka, ketok pintu dan menunggu. Seorang wanita muda, berkulit bersih, dan .. ya ampun, menurutku cantik sekali (mungkin di desaku tidak ada wanita cantik), berdiri di depanku memandang dengan sedikit curiga. Setelah aku jelaskan asal-usulku, wajahnya berubah cerah. ?Tarto, ya ? Ayo masuk, masuk. Kenalkan, saya Tantemu.? Dengan gugup aku menyambut tangannya yang terjulur. Tangan itu halus sekali. ?Tadinya Oom Ton mau jemput ke Manggarai, tapi ada acara mendadak. Tante engga sangka kamu sudah sebesar ini. Naik apa tadi, nyasar, ya ?? Cecarnya dengan ramah. ?Maaar, bikin minuman!? teriaknya kemudian. Tak berapa lama datang seorang wanita muda meletakkan minuman ke meja dengan penuh hormat. Wanita ini ternyata pembantu, aku kira keponakan atau anggota keluarga lainnya, sebab terlalu ?trendy? gaya pakaiannya untuk seorang pembantu.
Sungguh aku tak menduga sambutan yang begitu ramah. Menurut cerita yang aku dengar, orang Jakarta terkenal individualis, tidak ramah dengan orang asing, antar tetangga tak saling kenal. Tapi wanita tadi, isteri Oomku, Tante Yani namanya (?Panggil saja Tante,? katanya akrab) ramah, cantik lagi. Tentu karena aku sudah dikenalkannya oleh Oom Ton.
Aku diberi kamar sendiri, walaupun agak di belakang tapi masih di rumah utama, dekat dengan ruang keluarga. Kamarku ada AC-nya, memang seluruh ruang yang ada di rumah utama ber-AC. Ini suatu kemewahan bagiku. Dipanku ada kasur yang empuk dan selimut tebal. Walaupun AC-nya cukup dingin, rasanya aku tak memerlukan selimut tebal itu. Mungkin aku cukup menggunakan sprei putih tipis yang di lemari itu untuk selimut. Rumah di desaku cukup dingin karena letaknya di kaki gunung, aku tak pernah pakai selimut, tidur di dipan kayu hanya beralas tikar. Aku diberi ?kewenangan? untuk mengatur kamarku sendiri.
Aku masih merasa canggung berada di rumah mewah ini. Petang itu aku tak tahu apa yang musti kukerjakan. Selesai beres-beres kamar, aku hanya bengong saja di kamar. ?Too, sini, jangan ngumpet aja di kamar,? Tante memanggilku. Aku ke ruang keluarga. Tante sedang duduk di sofa nonton TV. ?Sudah lapar, To ?? ?Belum Tante.? Sore tadi aku makan kue-kue yang disediakan Si Mar. ?Kita nunggu Oom Ton ya, nanti kita makan malam bersama-sama.? Oom Ton pulang kantor sekitar jam 19 lewat. ?Selamat malam, Oom,? sapaku. ?Eh, Ini Tarto ? Udah gede kamu.? ?Iya Oom.? ?Gimana kabarnya Mas Kardi dan Yu Siti,? Oom menanyakan ayah dan ibuku. ?Baik-baik saja Oom.? Di meja makan Oom banyak bercerita tentang rencana sekolahku di Jakarta. Aku akan didaftarkan ke SMA Negeri yang dekat rumah. Aku juga diminta untuk menjaga rumah sebab Oom kadang-kadang harus ke Bandung atau Surabaya mengurusi bisnisnya. ?Iya, saya kadang-kadang takut juga engga ada laki-laki di rumah,? timpal Tante. ?Berapa umurmu sekarang, To ?? ?Dua bulan lagi saya 16 tahun, Oom.? ?Badanmu engga sesuai umurmu.?
Hari-hari baruku dimulai. Aku diterima di SMA Negeri 26 Tebet, tak jauh dari rumah Oom dan Tanteku. Ke sekolah cukup berjalan kaki. Aku memang belum sepenuhnya dapat melepas kecanggunganku. Bayangkan, orang udik yang kuper tamatan ST (setingkat SLTP) sekarang sekolah di SMA metropolitan. Kawan sekolah yang biasanya lelaki melulu, kini banyak teman wanita, dan beberapa diantaranya cantik-cantik. Cantik ? Ya, sejak aku di Jakarta ini jadi tahu mana wanita yang dianggap cantik, tentunya menurut ukuranku. Dan tanteku, Tante Yani, isteri Oom Ton menurutku paling cantik, dibandingkan dengan kawan-kawan sekolahku, dibanding dengan tante sebelah kiri rumah, atau gadis (mahasiswi ?) tiga rumah ke kanan. Cepat-cepat kuusir bayangan wajah tanteku yang tiba-tiba muncul. Tak baik membayangkan wajah tante sendiri. Pada umumnya teman-teman sekolahku baik, walaupun kadang-kadang mereka memanggilku ?Jawa?, atau meledek cara bicaraku yang mereka sebut ?medok?. Tak apalah, tapi saya minta mereka panggil saja Tarto. Alasanku, kalau memanggil ?Jawa?, toh orang Jawa di sekolah itu bukan hanya aku. Mereka akhirnya mau menerima usulanku. Terus terang aku di kelas menjadi cepat populer, bukan karena aku pandai bergaul. Dibandingkan teman satu kelas tubuhku paling tinggi dan paling besar. Bukan sombong, aku juga termasuk murid yang pintar. Aku memang serius kalau belajar, kegemaranku membaca menunjang pengetahuanku.
Kegemaranku membaca inilah yang mendorongku bongkar-bongkar isi rak buku di kamarku di suatu siang pulang sekolah. Rak buku ini milik Oom Ton. Nah, di antara tumpukan buku, aku menemukan selembar majalah bergambar, namanya Popular.
Rupanya penemuan majalah inilah merupakan titik awalku belajar mandiri tentang wanita. Tidak sendiri sebetulnya, sebab ada ?guru? yang diam-diam membimbingku. Kelak di kemudian hari aku baru tahu tentang ?guru? itu.
Majalah itu banyak memuat gambar-gambar wanita yang bagus, maksudnya bagus kualitas fotonya dan modelnya. Dengan berdebar-debar satu-persatu kutelusuri halaman demi halaman. Ini memang majalah hiburan khusus pria. Semua model yang nampang di majalah itu pakaiannya terbuka dan seronok. Ada yang pakai rok demikian pendeknya sehingga hampir seluruh pahanya terlihat, dan mulus. Ada yang pakai blus rendah dan membungkuk memperlihatkan bagian belahan buah dada. Dan, ini yang membuat jantungku keras berdegup : memakai T-shirt yang basah karena disiram, sementara dalamnya tidak ada apa-apa lagi. Samar-samar bentuk sepasang buah kembar kelihatan. Oh, begini tho bentuk tubuh wanita. Dasarnya aku sangat jarang ketemu wanita. Kalau ketemu-pun wanita desa atau embok-embok, dan yang aku lihat hanya bagian wajah. Bagaimana aku tidak deg-deg-an baru pertama kali melihat gambar tubuh wanita, walaupun hanya gambar paha dan sebagian atas dada.
Sejak ketemu majalah Popular itu aku jadi lain jika memandang wanita teman kelasku. Tidak hanya wajahnya yang kulihat, tapi kaki, paha dan dadanya ?kuteliti?. Si Rika yang selama ini aku nilai wajahnya lumayan dan putih, kalau ia duduk menyilangkan kakinya ternyata memiliki paha mulus agak mirip foto di majalah itu. Memang hanya sebagian paha bawah saja yang kelihatan, tapi cukup membuatku tegang. Ya tegang. ?Adikku? jadi keras! Sebetulnya penisku menjadi tegang itu sudah biasa setiap pagi. Tapi ini tegang karena melihat paha mulus Rika adalah pengalaman baru bagiku. Sayangnya dada Rika tipis-tipis saja. Yang dadanya besar si Ani, demikian menonjol ke depan. Memang ia sedikit agak gemuk. Aku sering mencuri pandang ke belahan kemejanya. Dari samping terkadang terbuka sedikit memperlihatkan bagian dadanya di sebelah kutang. Walau terlihat sedikit cukup membuatku ?ngaceng?. Sayangnya, kaki Ani tak begitu bagus, agak besar. Aku lalu membayangkan bagaimana bentuk dada Ani seutuhnya, ah ngaceng lagi! Atau si Yuli. Badannya biasa-biasa saja, paha dan kaki lumayan berbentuk, dadanya menonjol wajar, tapi aku senang melihat wajahnya yang manis, apalagi senyumnya. Satu lagi, kalau ia bercerita, tangannya ikut ?sibuk?. Maksudku kadang mencubit, menepuk, memukul, dan, ini dia, semua roknya berpotongan agak pendek. Ah, aku sekarang punya ?wawasan? lain kalau memandang teman-teman cewe.
Ah! Tante Yani! Ya, kenapa selama ini aku belum ?melihat dengan cara lain?? Mungkin karena ia isteri Oomku, orang yang aku hormati, yang membiayai hidupku, sekolahku. Mana berani aku ?menggodanya? meskipun hanya dari cara memandang. Sampai detik ini aku melihat Tante Yani sebagai : wajahnya putih bersih dan cantik. Tapi dasar setan selalu menggoda manusia, bagaimana tubuhnya ? Ah, aku jadi pengin cepat-cepat pulang sekolah untuk ?meneliti? Tanteku. Jangan ah, aku menghormati Tanteku.
Aduh! Kenapa begini ? Apanya yang begini ? Tante Yani! Seperti biasa, kalau pulang aku masuk dari pintu pagar langsung ke garasi, lalu masuk dari pintu samping rumah ke ruang keluarga di tengah-tengah rumah. Melewati ruang keluarga, sedikit ke belakang sampai ke kamarku. Isi ruang keluarga ini dapat kugambarkan : di tengahnya terhampar karpet tebal yang empuk yang biasa digunakan tante untuk membaca sambil rebahan, atau sedang dipijit Si Mar kalau habis senam. Agak di belakang ada satu set sofa dan pesawat TV di seberangnya. Sewaktu melewati ruang keluarga, aku menjumpai Tante Yani duduk di kursi dekat TV menyilang kaki sedang menyulam, berpakaian model kimono. Duduknya persis si Rika tadi pagi, cuma kaki Tante jauh lebih indah dari Rika. Putih, bersih, panjang, di betis bawahnya dihiasi bulu-bulu halus ke atas sampai paha. Ya, paha, dengan cara duduk menyilang, tanpa disadari Tante belahan kimononya tersingkap hingga ke bagian paha agak atas. Tanpa sengaja pula aku jadi tahu bahwa tante memiliki paha selain putih bersih juga berbulu lembut. Sejenak aku terpana, dan lagi-lagi tegang. Untung aku cepat sadar dan untung lagi Tante begitu asyik menyulam sehingga tidak melihat ulah keponakannya yang dengan kurang ajar ?memeriksa? pahanya. Ah, kacau.
Sebenarnya tidak sekali ini aku melihat Tante memakai kimono. Kenapa aku tadi terangsang mungkin karena ?penghayatan? yang lain, gara-gara majalah itu. Selesai makan ada dorongan aku ingin ke ruang tengah, meneruskan ?penelitianku? tadi. Aku ada alasan lain tentu saja, nonton TV swasta, hal baru bagiku. Mungkin aku mulai kurang ajar : mengambil posisi duduk di sofa nonton TV tepat di depan Tante, searah-pandang kalau mengamati pahanya! ?Gimana sekolahmu tadi To ?? tanya Tante tiba-tiba yang sempat membuatku kaget sebab sedang memperhatikan bulu-bulu kakinya. ?Biasa-biasa saja Tante.? ?Biasa gimana ? Ada kesulitan engga ?? ?Engga Tante.? ?Udah banyak dapat kawan ?? ?Banyak, kawan sekelas.? ?Kalau kamu pengin main lihat-lihat kota, silakan aja.? ?Terima kasih, Tante. Saya belum hafal angkutannya.? ?Harus dicoba, yah nyasar-nyasar dikit engga apa-apa, toh kamu tahu jalan pulang.? ?Iya Tante, mungkin hari Minggu saya akan coba.? ?Kalau perlu apa-apa, uang jajan misalnya atau perlu beli apa, ngomong aja sama Tante, engga usah malu-malu.? Gimana kurang baiknya Tanteku ini, keponakannya saja yang nakal. Nakal ? Ah ?kan cuma dalam pikiran saja, lagi pula hanya ?meneliti? kaki yang tanpa sengaja terlihat, apa salahnya. ?Terima kasih Tante, uang yang kemarin masih ada kok.? ?Emang kamu engga jajan di sekolah ?? Berdesir darahku. Sambil mengucapkan ?jajan? tadi Tante mengubah posisi kakinya sehingga sekejap, tak sampai sedetik, sempat terlihat warna merah jambu celana dalamnya! Aku berusaha keras menenangkan diri. ?Jajan juga sih, hanya minuman dan makanan kecil.? Akupun ikut-ikutan mengubah posisi, ada sesuatu yang mengganjal di dalam celanaku. Untung Tante tidak memperhatikan perubahan wajahku. Sepanjang siang ini aku bukannya nonton TV. Mataku lebih sering ke arah Tante, terutama bagian bawahnya!
Hari-hari berikutnya tak ada kejadian istimewa. Rutin saja, sekolah, makan siang, nonton TV, sesekali melirik kaki Tante. Oom Ton pulang kantor selalu malam hari. Saat ketemu Oomku hanya pada makan malam, bertiga. Si Luki, anak lelakinya 4 tahun biasanya sudah tidur. Kalau Luki sudah tidur, Tinah, pengasuhnya pamitan pulang. Pada acara makan malam ini, sebetulnya aku punya kesempatan untuk menikmati? (cuma dengan mata) paha mulus berbulu Tante, sebab malam ini ia memakai rok pendek, biasanya memakai daster. Tapi mana berani aku menatap pemandangan indah ini di depan Oom. Betapa bahagianya mereka menurut pandanganku. Oom tamat sekolahnya, punya usaha sendiri yang sukses, punya isteri yang cantik, putih, mulus. Anak hanya satu. Punya sopir, seorang pembantu, Si Mar dan seorang baby sitter Si Tinah. Sopir dan baby sitter tidak menginap, hanya pembantu yang punya kamar di belakang. Praktis Tante Yani banyak waktu luang. Anak ada yang mengasuh, pekerjaan rumah tangga beres ditangan pembantu. Oh ya, ada seorang lagi, pengurus taman biasa di panggil Mang Karna, sudah agak tua yang datang sewaktu-waktu, tidak tiap hari.
Keesokkan harinya ada kejadian ?penting? yang perlu kuceritakan. Pagi-pagi ketika aku sedang menyusun buku-buku yang akan kubawa ke sekolah, ada beberapa lembar halaman yang mungkin lepasan atau sobekan dari majalah luar negeri terselip di antara buku-buku pelajaranku. Aku belum sempat mengamati lembaran itu, karena buru-buru mau berangkat takut telat. Di sekolah pikiranku sempat terganggu ingat sobekan majalah berbahasa Inggris itu, milik siapa ? Tadi pagi sekilas kulihat ada gambarnya wanita hanya memakai celana jean tak berbaju. Inilah yang mengganggu pikiranku. Sempat kubayangkan, bagaimana kalau Ani hanya memakai jean. Kaki dan pahanya yang kurang bagus tertutup, sementara bulatan dadanya yang besar terlihat jelas. Ah.. nakal kamu To!

Pulang sekolah tidak seperti biasa aku tidak langsung ke meja makan, tapi ngumpet di kamarku. Pintu kamar kukunci dan mulai mengamati sobekan majalah itu. Ada 4 lembar, kebanyakan tulisan yang tentu saja tidak kubaca. Aku belum paham Bahasa Inggris. Di setiap pojok bawah lembaran itu tertulis: Penthouse. Langsung saja ke gambar. Gemetaran aku dibuatnya. Wanita bule, berpose membusungkan dadanya yang besar, putih, mulus, dan terbuka seluruhnya! Paha dan kakinya meskipun tertutup jean ketat, tapi punya bentuk yang indah, panjang, persis kaki milik Tante. Hah, kenapa aku jadi membandingkan dengan tubuh Tante ? Peduli amat, tapi itulah yang terbayang. Kenapa aku sebut kejadian penting, karena baru sekaranglah aku tahu bentuk utuh sepasang buah dada, meskipun hanya dari foto. Bulat, di tengah ada bulatan kecil warna coklat, dan di tengah-tengah bulatan ada ujungnya yang menonjol keluar. Segera saja tubuhku berreaksi, penisku tegang, dada berdebar-debar. Halaman berikutnya membuatku lemas, mungkin belum makan. Masih wanita bule yang tadi tapi sekarang di close-up. Buah dadanya makin jelas, sampai ke pori-porinya. Ini kesempatanku untuk ?mempelajari? anatomi buah kembar itu. Dari atas kulit itu bergerak naik, sampai puting yang merupakan puncaknya, kemudian turun lagi ?membulat?. Ya, beginilah bentuk buah dada wanita. Putingnya, apakah selalu menonjol keluar seperti menunjuk ke depan ? Jawabannya baru tahu kelak kemudian hari ketika aku ?praktek?. Tiba-tiba terlintas pikiran nakal, Tante Yani! Bagaimana ya bentuk buah dada Tanteku itu ? Ah, kenapa selama ini aku tak memperhatikannya. Asyik lihat ke bawah terus sih! Memang kesempatannya baru lihat paha. Kimono Tante waktu itu, kalau tak salah, tertutup sampai dibawah lehernya. Tapi ?kan bisa lihat bentuk luarnya. Ah, memang mataku tak sampai kesitu. Melihat bentuk paha dan kaki cewe bule ini mirip milik Tante, aku rasa bentuk dadanyapun tak jauh berbeda, begitu aku mencoba memperkirakan. Begitu banyak aku berdialog dengan diri sendiri tentang buah dada. Begitu banyak pertanyaan yang bermuara pada pertanyaan inti : Bagaimana bentuk buah dada Tanteku yang cantik itu ? Untungnya, atau celakanya, pertanyaanku itu segera mendapat jawaban, di meja makan. Di pertengahan makan siangku, Tante muncul istimewa. Mengenakan baju-mandi, baju mirip kimono tapi pendek dari bahan seperti handuk tapi lebih tipis warna putih dan ada pengikat di pinggangnya. Tante kelihatan lain siang itu, segar, cerah. Kelihatannya baru selesai mandi dan keramas, sebab rambutnya diikat handuk ke atas mirip ikat kepala para syeh. ?Oh, kamu sudah pulang, engga kedengaran masuknya,? sapanya ramah sambil berjalan menuju ke tempatku. ?Dari tadi Tante,? jawabku singkat. Ia berhenti, berdiri tak jauh dari dudukku. Kedua tangannya ke atas membenahi handuk di rambutnya. Posisi tubuh Tante yang beginilah memberi jawaban atas pertanyaanku tadi. Luar biasa! Besar juga buah dada Tante ini, persis seperti perkiraanku tadi, bentuknya mirip punya cewe bule di Penthouse tadi.
Meskipun aku melihatnya masih ?terbungkus? baju-mandi, tapi jelas alurnya, bulat menonjol ke depan. Di bagian kanan baju mandinya rupanya ada yang basah, ini makin mempertegas bentuk buah indah itu. Samar-samar aku bisa melihat lingkaran kecil di tengahnya. Sehabis mandi mungkin hanya baju-mandi itu saja yang membungkus tubuhnya sekarang. Bawahnya aku tak tahu. Bawahnya! Ya, aku melupakan pahanya. Segera saja mataku turun. Kini lebih jelas, bulu-bulu lembut di pahanya seperti diatur, berbaris rapi. Ah aku sekarang lagi tergila-gila buah dada. Pandanganku ke atas lagi. Mudah-mudahan ia tak melihatku melahap (dengan mata) tubuhnya. Memang ia tidak memperhatikanku, pandangannya ke arah lain masih terus asyik merapikan rambutnya. Tapi aku tak bisa berlama-lama begini, disamping takut ketahuan, lagipula aku ?kan sedang makan. Kuteruskan makanku. Bagaimana reaksi tubuhku, susah diceritakan. Yang jelas kelaminku tegang luar biasa. Tiba-tiba ia menarik kursi makan di sebelahku dan duduk. Ah, wangi tubuhnya terhirup olehku. ?Makan yang banyak, tambah lagi tuh ayamnya.? Bagaimana mau makan banyak, kalau ?diganggu? seperti ini. Aku mengiakan saja. Rupanya ?gangguan nikmat? belum selesai. Aku duduk menghadap ke utara. Di dekatku duduk si Badan-sintal yang habis mandi, menghadap ke timur. Aku bebas melihat tubuhnya dari samping kiri. Ia menundukkan kepalanya dan mengurai rambutnya ke depan. Dengan posisi seperti ini, badan agak membungkuk ke depan dan satu-satunya pengikat baju ada di pinggang, dengan serta merta baju mandinya terbelah dan menampakkan pemandangan yang bukan main. Buah dada kirinya dapat kulihat dari samping dengan jelas. Ampun.. putihnya, dan membulat. Kalau aku menggeser kepalaku agak ke kiri, mungkin aku bisa melihat putingnya. Tapi ini sih ketahuan banget. Jangan sampai. Betapa tersiksanya aku siang ini. Tersiksa tapi nikmat! Oh Tuhan, janganlah aku Kau beri siksa yang begini. Aku khawatir tak sanggup menahan diri. Rasa-rasanya tanganku ingin menelusup ke belahan baju mandi ini lalu meremas buah putih itu? Kalau itu terjadi, bisa-bisa aku dipulangkan, dan hilanglah kesempatanku meraih masa depan yang lebih baik. Apa yang kubilang pada ayahku ? Dapat kupastikan ia marah besar, dan artinya, kiamat bagiku.
Untung, atau sialnya, Tante cepat bangkit menuju ke kamar sambil menukas: ?Teruskan ya makannya.? ?Ya Tante,? sahutku masih gemetaran. Aah., aku menemukan sesuatu lagi. Aku mengamati Tante berjalan ke kamarnya dari belakang, gerakan pinggulnya indah sekali. Pinggul yang tak begitu lebar, tapi pantatnya demikian menonjol ke belakang. Tubuh ideal, memang.
Malamnya aku disuruh makan duluan sendiri. Tante menunggu Oom yang telat pulang malam ini. Masih terbayang kejadian siang tadi bagaimana aku menikmati pemandangan dada Tante yang membuat aku tak begitu selera makan. Tiba-tiba aku dikejutkan oleh kedatangan Tante yang muncul dari kamarnya. Masih mengenakan baju-mandi yang tadi, rambutnya juga masih diikat handuk. Langsung ia duduk disebelahku persis di kursi yang tadi. Belum habis rasa kagetku, tiba-tiba pula ia pindah dan duduk di pangkuanku! Bayangkan pembaca, bagaimana nervous-nya aku. Yang jelas penisku langsung mengeras merasakan tindihan pantat Tante yang padat. Disingkirkannya piringku, memegang tangan kiriku dan dituntunnya menyelinap ke belahan baju-mandinya. Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Kuremas dadanya dengan gemas. Hangat, padat dan lembut.
Tantepun menggoyang pantatnya, terasa enak di kelaminku. Goyangan makin cepat, aku jadi merasa geli di ujung penisku. Rasa geli makin meningkat dan meningkat, dan .. Aaaaah, aku merasakan nikmat yang belum pernah kualami, dan eh, ada sesuatu terasa keluar berbarengan rasa nikmat tadi, seperti pipis dan? aku terbangun. Sialan! Cuma mimpi rupanya. Masa memimpikan Tante, aku jadi malu sendiri. Kejadian siang tadi begitu membekas sampai terbawa mimpi. Eh, celanaku basah. Mana mungkin aku ngompol. Lalu apa dong ? Cepat-cepat aku periksa. Memang aku ngompol! Tapi tunggu dulu, kok airnya lain, lengket-lengket agak kental. Ah, kenapa pula aku ini ? Apa yang terjadi denganku ? Besok coba aku tanya pada Oom. Gila apa! Jangan sama Oom dong. Lalu tanya kepada Tante, tak mungkin juga. Coba ada Mas Joko, kakak kelasku di ST dulu. Mungkin teman sekolahku ada yang tahu, besok aku tanyakan.
***
Esoknya aku ceritakan hal itu kepada Dito teman paling dekat. Sudah barang tentu kisahnya aku modifikasi, bukan Tante yang duduk di pangkuanku, tapi ?seseorang yang tak kukenal?. ?Kamu baru mengalami tadi malam ?? ?Ya, tadi malam.? ?Telat banget. Aku sudah mengalami sewaktu kelas 2 SMP, dua tahun lalu. Itu namanya mimpi basah.? ?Mimpi basah ?? ?Ya. Itu tandanya kamu mulai dewasa, sudah aqil-baliq. Lho, emangnya kamu belum pernah dengar ?? Malu juga aku dibilang telat dan belum tahu mimpi basah. Tapi juga ada rasa sedikit bangga, aku mulai dewasa! ?Rupanya kamu badan aja yang gede, pikiran masih anak-anak.? Ah biar saja. Beberapa hari sebelum mimpi basah itu toh aku sudah ?menghayati? wanita sebagai orang dewasa! ?Kamu punya pacar ?? ?Engga.? ?Atau pernah pacaran ?? ?Engga juga.? ?Pantesan telat kalau begitu. Waktu kelas 3 SMP aku punya pacar, teman sekelas. Enak deh, sekolah jadi semangat.? ?Kalau pacaran ngapain aja sih ?? tanyaku lugu. Memang betul aku belum tahu tentang pacaran. Tentang wanitapun aku baru tahu beberapa hari lalu. ?Ha.. ha.. ha.! Kampungan lu! Ya tergantung orangnya. Kalau aku sih paling-paling ciuman, raba-raba, udah. Kalau si Ricky kelewatan, sampai pacarnya hamil.? Ciuman, raba-raba. Aku pernah lihat orang ciuman di filem TV, enak juga kelihatannya, belum pernah aku membayangkan. Kalau meraba, pernah kubayangkan meremas dada Tante. ?Hamil ?? Pelajaran baru nih. ?Ada juga yang sampai ?gitu? tapi engga hamil. Engga tahu aku caranya gimana.? ?Gitu gimana ?? ?Kamu betul-betul engga tahu ?? Lalu ia cerita bagaimana hubungan kelamin itu. Dengan bisik-bisik tentunya. Aku jadi tegang. Pantaslah aku dibilang kampungan, memang betul-betul baru tahu saat ini. Kelamin lelaki masuk ke kelamin wanita, keluar bibit manusia, lalu hamil. Bibit! Mungkin yang keluar dari kelaminku semalam adalah bibit manusia. Bagaimana mungkin kelaminku sebesar ini bisa masuk ke lubang pipis wanita ? Sebesar apa lubangnya, dan di mana ? Yang pernah aku lihat kelamin wanita itu kecil, berbentuk segitiga terbalik dan ada belahan kecil di ujung bawahnya. Tapi yang kulihat dulu itu di desa adalah kelamin anak-anak perempuan yang sedang mandi di pancuran. Kelamin wanita dewasa sama sekali aku belum pernah lihat. Bagaimana bentuknya ya ? Mungkin segitiganya lebih besar. Ah, pikiranku terlalu jauh. Ciuman saja dulu. Aku sependapat dengan Dito, kalau pacaran ciuman dan raba-raba saja. Aku jadi ingin pacaran, tapi siapa yang mau pacaran sama aku yang kuper ini ? Ya dicari dong! Si Rika, Ani atau Yuli ? Siapa sajalah, asal mau jadi pacarku, buat ciuman dan diraba-raba. Sepertinya sedap.

Dalam perjalanan pulang aku membayangkan bagaimana seandainya aku pacaran sama Rika. Pahanya yang lumayan mulus enak dielus-elus. Tanganku terus ke atas membuka kancing bajunya, lalu menyelusup dan? sopir Bajaj itu memaki-maki membuyarkan lamunanku. Tanpa sadar aku berjalan terlalu ke tengah. Di balik kutang Rika hanya ada sedikit tonjolan, tak ada ?pegangan?, kurang enak ah. Tiba-tiba Rika berubah jadi Ani. Melamun itu memang enak, bisa kita atur semau kita. Ketika membuka kancing baju Ani aku mulai tegang. Kususupkan empat jariku ke balik kutang Ani. Nah ini, montok, keras walau tak begitu halus. Telapak tanganku tak cukup buat ?menampung? dada Ani. Aku berhenti, menunggu lampu penyeberangan menyala hijau. Sampai di seberang jalan kusambung khayalanku. Ani telah berubah menjadi Yuli. Anak ini memang manis, apalagi kalau tersenyum, bibirnya indah, setidaknya menurutku. Aku mulai mendekatkan mulutku ke bibir Yuli yang kemudian membuka mulutnya sedikit, persis seperti di film TV kemarin. Kamipun berciuman lama. Kancing baju seragam Yulipun mulai kulepas, dua kancing dari atas saja cukup. Kubayangkan, meski dari luar dada Yuli menonjol biasa, tak kecil dan tak besar, ternyata dadanya besar juga. Kuremas-remas sepuasnya sampai tiba di depan rumah.
Aku kembali ke dunia nyata. Masuk melalui pintu garasi seperti biasa, membuka pintu tengah sampai ke ruang keluarga. Juga seperti biasa kalau mendapati Tante sedang membaca majalah sambil rebahan di karpet, atau menyulam, atau sekedar nonton TV di ruang keluarga. Yang tidak biasa adalah, kedua bukit kembar itu. Tante membaca sambil tengkurap menghadap pintu yang sedang kumasuki. Posisi punggungnya tetap tegak dengan bertumpu pada siku tangannya. Mengenakan daster dengan potongan dada rendah, rendah sekali. Inipun tak biasa, atau karena aku jarang memperhatikan bagian atas. Tak ayal lagi, kedua bukit putih itu hampir seluruhnya tampak. Belahannya jelas, sampai urat-urat lembut agak kehijauan di kedua buah dada itu samar-samar nampak. Aku tak melewatkan kesempatan emas ini. Tante melihat sebentar ke arahku, senyum sekejap, terus membaca lagi. Akupun berjalan amat perlahan sambil mataku tak lepas dari pemandangan amat indah ini?
Hampir lengkap aku ?mempelajari? tubuh Tanteku ini. Wajah dan ?komponen?nya mata, alis, hidung, pipi, bibir, semuanya indah yang menghasilkan : cantik. Walaupun dilihat sekejap, apalagi berlama-lama. Paha dan kaki, panjang, semuanya putih, mulus, berbulu halus. Pinggul, meski baru lihat dari bentuknya saja, tak begitu lebar, proporsional, dengan pantat yang menonjol bulat ke belakang. Pinggang, begitu sempit dan perut yang rata. Ini juga hanya dari luar. Dan yang terakhir buah dada. Hanya puting ke bawah saja yang belum aku lihat langsung. Kalau daerah pinggul, bagian depannya saja yang aku belum bisa membayangkan. Memang aku belum pernah membayangkan, apalagi melihat kelamin wanita dewasa. Aku masih penasaran pada yang satu ini.
Keesokkan harinya, siang-siang, Dito memberiku sampul warna coklat agak besar, secara sembunyi-sembunyi.
“Nih, buat kamu”
“Apa nih ?”
“Simpan aja dulu, lihatnya di rumah, Hati-hati” Aku makin penasaran. “Lanjutan pelajaranku kemarin. Gambar-gambar asyik” bisiknya.
Sampai di rumah aku berniat langsung masuk kamar untuk memeriksa benda pemberian Dito. Tante lagi membaca di karpet, kali ini terlentang, mengenakan daster dengan kancing di tengah membelah badannya dari atas ke bawah. Kancingnya yang terbawah lepas sebuah yang mengakibatkan sebagian pahanya tampak, putih. “Suguhan” yang nikmat sebenarnya, tapi kunikmati hanya sebentar saja, pikiranku sedang tertuju ke sampul coklat. Dengan tak sabaran kubuka sampul itu, sesudah mengunci pintu kamar, tentunya. Wow, gambar wanita bule telanjang bulat! Sepertinya ini lembaran tengah suatu majalah, sebab gambarnya memenuhi dua halaman penuh. Wanita bule berrambut coklat berbaring terlentang di tempat tidur. Segera saja aku mengeras. Buah dadanya besar bulat, putingnya lagi-lagi menonjol ke atas warna coklat muda. Perutnya halus, dan ini dia, kelaminnya! Sungguh beda jauh dengan apa yang selama ini kuketahui. Aku tak menemukan “segitiga terbalik” itu. Di bawah perut itu ada rambut-rambut halus keriting. Ke bawah lagi, lho apa ini ? Sebelah kaki cewe itu dilipat sehingga lututnya ke atas dan sebelahnya lagi menjuntai di pinggir ranjang memperlihatkan selangkangannya. Inilah rupanya lubang itu. Bentuknya begitu “rumit”. Ada daging berlipat di kanan kirinya, ada tonjolan kecil di ujung atasnya, lubangnya di tengah terbuka sedikit. Mungkin di sinilah tempat masuknya kelamin lelaki. Tapi, mana cukup ? Oo, seperti inilah rupanya wujud kelamin wanita dewasa. Tiba-tiba pikiran nakalku kambuh : begini jugakah punya Tante? Pertanyaan yang jelas-jelas tak mungkin mendapatkan jawaban! Bagaimana dengan punya Rika, Ani, atau Yuli? Sama susahnya untuk mendapatkan jawaban. Lupakan saja. Tunggu dulu, barangkali Si Mar pembantu itu bisa memberikan “jawaban”. Orangnya penurut, paling tidak dia selalu patuh pada perintah majikannya, termasuk aku. Bahkan dulu itu tanpa aku minta membantuku beres-beres kamarku, dengan senang pula. Orangnya lincah dan ramah. Tidak terlalu jelek, tapi bersih. Kalau sudah dandan sore hari ngobrol dengan pembantu sebelah, orang tak menyangka kalau ia pembantu. Dulu waktu pertama kali ketemupun aku tak mengira bahwa ia pembantu. Setiap pagi ia menyapu dan mengepel seluruh lantai, termasuk lantai kamarku. Kadang-kadang aku sempat memperhatikan pahanya yang tersingkap sewaktu ngepel, bersih juga. Yang jelas ia periang dan sedikit genit. Tapi masa kusuruh ia membuka celana dalamnya “Coba Mar aku pengin lihat punyamu, sama engga dengan yang di majalah” Gila!. Jangan langsung begitu, pacari saja dulu. Ah, pacaran kok sama pembantu. Apa salahnya? dari pada tidak pacaran sama sekali. Okey, tapi bagaimana ya cara memulainya ? Ah, dasar kuper!
Aku jadi lebih memperhatikan Si Mar. Mungkin ia setahun atau dua tahun lebih tua dariku, sekitar 18 lah. Wajahnya biasa-biasa saja, bersih dan selalu cerah, kulit agak kuning, dadanya tak begitu besar, tapi sudah berbentuk. Paha dan kaki bersih. Mulai hari ini aku bertekat untuk mulai menggoda Si Mar, tapi harus hati-hati, jangan sampai ketahuan oleh siapapun. Seperti hari-hari lainnya ia membersihkan kamarku ketika aku sedang sarapan. Pagi ini aku sengaja menunda makan pagiku menunggu Si Mar. Tante masih ada di kamarnya. Si Mar masuk tapi mau keluar lagi ketika melihat aku ada di dalam kamar.
“Masuk aja mbak, engga apa-apa” kataku sambil pura-pura sibuk membenahi buku-buku sekolah. Masuklah dia dan mulai bersih-bersih. Tanganku terus sibuk berbenah sementara mataku melihatnya terus. Sepasang pahanya nampak, sudah biasa sih lihat pahanya, tapi kali ini lain. Sebab aku membayangkan apa yang ada di ujung atas paha itu. Aku mengeras. Sekilas tampak belahan dadanya waktu ia membungkuk-bungkuk mengikuti irama ngepel. Tiba-tiba ia melihatku, mungkin merasa aku perhatikan terus.
“Kenapa, Mas” Kaget aku.
“Ah, engga. Apa mbak engga cape tiap hari ngepel”
“Mula-mula sih capek, lama-lama biasa, memang udah kerjaannya” jawabnya cerah.
“Udah berapa lama mbak kerja di sini ?”
“Udah dari kecil saya di sini, udah 5 tahun”
“Betah ?”
“Betah dong, Ibu baik sekali, engga pernah marah. Mas dari mana sih asalnya ?”Tanyanya tiba-tiba. Kujelaskan asal-usulku.
“Oo, engga jauh dong dari desaku. Saya dari Cilacap”
Pekerjaannya selesai. Ketika hendak keluar kamar aku mengucapkan terima kasih.
“Tumben.” Katanya sambil tertawa kecil. Ya, tumben biasanya aku tak bilang apa-apa.
***
“Mana, yang kemarin ?” Dito meminta gambar cewe itu.
“Lho, katanya buat aku”
“Jangan dong, itu aku koleksi. Kembaliin dulu entar aku pinjamin yang lain, lebih serem!”
“Besok deh, kubawa”
Sampai di rumah Si Luki sedang main-main di taman sama pengasuhnya. Sebentar aku ikut bermain dengan anak Oomku itu. Tinah sedikit lebih putih dibanding Si Mar, tapi jangan dibandingkan dengan Tante, jauh. Orangnya pendiam, kurang menarik. Dadanya biasa saja, pinggulnya yang besar. Tapi aku tak menolak seandainya ia mau memperlihatkan miliknya. Pokoknya milik siapa saja deh, Rika, Ani, Yuli, Mar, atau Tinah asal itu kelamin wanita dewasa. Penasaran aku pada “barang” yang satu itu. Apalagi milik Tante, benar-benar suatu karunia kalau aku “berhasil” melihatnya! Di dalam ada Si Mar yang sedang nonton telenovela buatan Brazil itu. Aku kurang suka, walaupun pemainnya cantik-cantik. Ceritanya berbelit. Duduk di karpet sembarangan, lagi-lagi pahanya nampak. Rasanya si Mar ini makin menarik.
“Mau makan sekarang, Mas ?”
“Entar aja lah”
“Nanti bilang, ya. Biar saya siapin”
“Tante mana mbak?”
“Kan senam” Oh ya, ini hari Rabu, jadwal senamnya. Seminggu Tante senam tiga kali, Senin, Rabu dan Jumat. Ketika aku selesai ganti pakaian, aku ke ruang keluarga, maksudku mau mengamati Si Mar lebih jelas. Tapi Si Mar cepat-cepat ke dapur menyiapkan makan siangku. Biar sajalah, toh masih banyak kesempatan. Kenapa tidak ke dapur saja pura-pura bantu ? Akupun ke dapur.
“Masak apa hari ini ?” Aku berbasa-basi.
“Ada ayam panggang, oseng-oseng tahu, sayur lodeh, pilih aja”
“Aku mau semua” Candaku. Dia tertawa renyah. Lumayan buat kata pembukaan.

“Sini aku bantu”
“Ah, engga usah” Tapi ia tak melarang ketika aku membantunya. Ih, pantatnya menonjol ke belakang walau pinggulnya tak besar. Aku ngaceng. Kudekati dia. Ingin rasanya meremas pantat itu. Beberapa kali kusengaja menyentuh badannya, seolah-olah tak sengaja. ‘Kan lagi membantu dia. Dapat juga kesempatan tanganku menyentuh pantatnya, kayaknya sih padat, aku tak yakin, cuma nyenggol sih. Mar tak berreaksi. Akhirnya aku tak tahan, kuremas pantatnya. Kaget ia menolehku.
“Iih, Mas To genit, ah” katanya, tapi tidak memprotes.
“Habis, badanmu bagus sih”. Sekarang aku yakin, pantatnya memang padat.
“Ah, biasa saja kok”
Akupun berlanjut, kutempelkan badan depanku ke pantatnya. Barangku yang sudah mengeras terasa menghimpit pantatnya yang padat, walaupun terlapisi sekian lembar kain. Aku yakin iapun merasakan kerasnya punyaku. Berlanjut lagi, kedua tanganku kedepan ingin memeluk perutnya. Tapi ditepisnya tanganku.
“Ih, nakal. Udah ah, makan dulu sana!”
“Iya deh makan dulu, habis makan terus gimana ?”
“Yeee!” sahutnya mencibir tapi tak marah. Tangannya berberes lagi setelah tadi berhenti sejenak kuganggu. Walaupun penasaran karena aksiku terpotong, tapi aku mendapat sinyal bahwa Si Mar tak menolak kuganggu. Hanya tingkat mau-nya sampai seberapa jauh, harus kubuktikan dengan aksi-aksi selanjutnya!
Kembali aku menunda sarapanku untuk “aksi selanjutnya” yang telah kukhayalkan tadi malam. Ketika ia sedang menyapu di kamarku, kupeluk ia dari belakang. Sapunya jatuh, sejenak ia tak berreaksi. Amboi ..dadanya berisi juga! Jelas aku merasakannya di tanganku, bulat-bulat padat. Kemudian Si Marpun meronta.
“Ah, Mas, jangan!” protesnya pelan sambil melirik ke pintu. Aku melepaskannya, khawatir kalau ia berteriak. Sabar dulu, masih banyak kesempatan.
“Terima kasih” kataku waktu ia melangkah keluar kamar. Ia hanya mencibir memoncongkan mulutnya lucu. Mukanya tetap cerah, tak marah. Sekarang aku selangkah lebih maju!
***
Aku ingat janjiku hari ini untuk mengembalikan foto porno milik Dito. Tapi di mana foto itu ? Jangan-jangan ada yang mengambilnya. Aku yakin betul kemarin aku selipkan di antara buku Fisika dan Stereometri (kedua buku itu memang lebar, bisa menutupi). Nah ini dia ada di dalam buku Gambar. Pasti ada seseorang yang memindahkannya. Logikanya, sebelum orang itu memindahkan, tentu ia sempat melihatnya. Tiba-tiba aku cemas. Siapa ya ? Si Mar, Tinah, atau Tante ? Atau lebih buruk lagi, Oom Ton ? Aku jadi memikirkannya. Siapapun orang rumah yang melihat foto itu, membuatku malu sekali! Yang penting, aku harus kembalikan ke Dito sekarang.
Siangnya pulang sekolah ketika aku masuk ke ruang keluarga, Si Mar sedang memijit punggung Tante. Tante tengkurap di karpet, Si Mar menaiki pantat Tante. Punggung Tante itu terbuka 100 %, tak ada tali kutang di sana. Putihnya mak..! Si Mar cepat-cepat menutup punggung itu ketika tahu mataku menjelajah ke sana, sambil melihatku dengan senyum penuh arti. Sialan! Si Mar tahu persis kenakalanku. Aku masuk kamar. Hilang kesempatan menikmati punggung putih itu. Tadi pagi aku lupa membawa buku Gambar gara-gara mengurus foto si Dito. Aku berniat mempersiapkan dari sekarang sambil berusaha melupakan punggung putih itu. Sesuatu jatuh bertebaran ke lantai ketika aku mengambil buku Gambar. Seketika dadaku berdebar kencang setelah tahu apa yang jatuh tadi. Lepasan dari majalah asing. Di tiap pojok bawahnya tertulis “Hustler” edisi tahun lalu. Satu serial foto sepasang bule yang sedang berhubungan kelamin! Ada tiga gambar, gambar pertama Si Cewe terlentang di ranjang membuka kakinya sementara Si Cowo berdiri di atas lututnya memegang alatnya yang tegang besar (mirip punyaku kalau lagi tegang cuma beda warna, punyaku gelap) menempelkan kepala penisnya ke kelamin Cewenya. Menurutku, dia menempelnya kok agak ke bawah, di bawah “segitiga terbalik” yang penuh ditumbuhi rambut halus pirang.
Gambar kedua, posisi Si Cewe masih sama hanya kedua tangannya memegang bahu si Cowo yang kini condong ke depan. Nampak jelas separoh batangnya kini terbenam di selangkangan Si Cewe. Lho, kok di situ masuknya ? Kuperhatikan lebih saksama. Kayaknya dia “masuk” dengan benar, karena di samping jalan masuk tadi ada “yang berlipat-lipat”, persis gambar milik Dito kemarin. Menurut bayanganku selama ini, “seharusnya” masuknya penis agak lebih ke atas. Baru tahu aku, khayalanku selama ini ternyata salah! Gambar ketiga, kedua kaki Si Cewe diangkat mengikat punggung Si Cowo. Badan mereka lengket berimpit dan tentu saja alat Si Cowo sudah seluruhnya tenggelam di “tempat yang layak” kecuali sepasang “telornya” saja menunggu di luar. Mulut lelaki itu menggigit leher wanitanya, sementara telapak tangannya menekan buah dada, ibujari dan telunjuk menjepit putting susunya. Gemetaran aku mengamati gambar-gambar ini bergantian. Tanpa sadar aku membuka resleting celanaku mengeluarkan milikku yang dari tadi telah tegang. Kubayangkan punyaku ini separoh tenggelam di tempat si Mar persis gambar kedua. Kenyataanya memang sekarang sudah separoh terbenam, tapi di dalam tangan kiriku. Akupun meniru gambar ketiga, tenggelam seluruhnya, gambar kedua, setengah, ketiga, seluruhnya..geli-geli nikmat… terus kugosok… makin geli.. gosok lagi.. semakin geli… dan.. aku terbang di awan.. aku melepas sesuatu… hah.. cairan itu menyebar ke sprei bahkan sampai bantal, putih, kental, lengket-lengket. Enak, sedap seperti waktu mimpi basah. Sadar aku sekarang ada di kasur lagi, beberapa detik yang lalu aku masih melayang-layang. He! Kenapa aku ini? Apa yang kulakukan ? Aku panik. Berbenah. Lap sini lap sana. Kacau! Kurapikan lagi celanaku, sementara si Dia masih tegang dan berdenyut, masih ada yang menetes. Aku menyesal, ada rasa bersalah, rasa berdosa atas apa yang baru saja kulakukan. Aku tercenung. Gambar-gambar sialan itu yang menyebabkan aku begini. Masturbasi. Istilah aneh itu baru aku ketahui dari temanku beberapa hari sesudahnya. Si Dito menyebutnya ‘ngeloco’. Aneh. Ada sesuatu yang lain kurasakan, keteganganku lenyap. Pikiran jadi cerah meski badan agak lemas..
***
Sehari itu aku jadi tak bersemangat, ingat perbuatanku siang tadi. Rasanya aku telah berbuat dosa. Aku menyalahkan diriku sendiri. Bukan salahku seluruhnya, aku coba membela diri. Gambar-gambar itu juga punya dosa. Tepatnya, pemilik gambar itu. Eh, siapa yang punya ya ? Tahu-tahu ada di balik buku-bukuku. Siapa yang menaruh di situ ? Ah, peduli amat. Akan kumusnahkan. Aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi, tidak akan masturbasi lagi. Perasaan seperti ini masih terbawa sampai keesokkan harinya lagi. Sehingga kulewatkan kesempatan untuk meraba dada Mar seperti kemarin. Ia telah memberi lampu hijau untuk aku “tindaklanjuti”. Tapi aku lagi tak bersemangat. Masih ada rasa bersalah.
Hari berikutnya aku “harus” tegang lagi. Bukan karena Si Mar yang (menurutku) bersedia dijamah tubuhnya. Tapi lagi-lagi karena Si Putih molek itu, Tante Yani. Siang itu aku pulang agak awal, pelajaran terakhir bebas. Sebentar aku melayani Luki melempar-lempar bola di halaman, lalu masuk lewat garasi, seperti biasa. Hampir pingsan aku ketika membuka pintu menuju ruang keluarga. Tante berbaring terlentang, mukanya tertutupi majalah “Femina”, terdengar dengkur sangat halus dan teratur. Rupanya ketiduran sehabis membaca. Mengenakan baju-mandi seperti dulu tapi ini warna pink muda, rambut masih terbebat handuk. Agaknya habis keramas, membaca terus ketiduran. Model baju mandinya seperti yang warna putih itu, belah di depan dan hanya satu pengikat di pinggang. Jelas ia tak memakai kutang, kelihatan dari bentuk buah dadanya yang menjulang dan bulat, serta belahan dadanya seluruhnya terlihat sampai ke bulatan bawah buah itu. Sepasang buah bulat itu naik-turun mengikuti irama dengkurannya. Berikut inilah yang membuatku hampir pingsan. Kaki kirinya tertekuk, lututnya ke atas, sehingga belahan bawah baju-mandi itu terbuang ke samping, memberiku “pelajaran” baru tentang tubuh wanita, khususnya milik Tante. Tak ada celana dalam di sana.
Tanteku ternyata punya bulu lebat. Tumbuh menyelimuti hampir seluruh “segitiga terbalik”. Berwarna hitam legam, halus dan mengkilat, tebal di tengah menipis di pinggir-pinggirnya. “Arah” tumbuhnya seolah diatur, dari tengah ke arah pinggir sedikit ke bawah kanan dan kiri.
Berbeda dengan yang di gambar, rambut Tante yang di sini lurus, tak keriting. Wow, sungguh “karya seni” yang indah sekali! Kelaminku tegang luar biasa. Aku lihat sekeliling. Si Tinah sedang bermain dengan anak asuhnya di halaman depan. Si Mar di belakang, mungkin sedang menyetrika. Kalau Tante sedang di ruang ini, biasanya Si Mar tidak kesini, kecuali kalau diminta Tante memijit. Aman!
Dengan wajah tertutup majalah aku jadi bebas meneliti kewanitaan Tante, kecuali kalau ia tiba-tiba terbangun. Tapi aku ‘kan waspada. Hampir tak bersuara kudekati milik Tante. Kini giliran bagian bawah rambut indah itu yang kecermati. Ada “daging berlipat”, ada benjolan kecil warna pink, tampaknya lebih menonjol dibanding milik bule itu. Dan di bawah benjolan itu ada “pintu”. Pintu itu demikian kecil, cukupkah punyaku masuk ke dalamnya ? Punyaku ? Enak saja! Memangnya lubang itu milikmu ? Bisa saja sekarang aku melepas celanaku, mengarahkan ujungnya ke situ, persis gambar pertama, mendorong, seperti gambar kedua, dan …Tiba-tiba Tante menggerakkan tangannya. Terbang semangatku. Kalau ada cermin di situ pasti aku bisa melihat wajahku yang pucat pasi. Dengkuran halus terdengar kembali. Untung., nyenyak benar tidurnya. Bagian atas baju-mandinya menjadi lebih terbuka karena gerakan tangannya tadi. Meski perasaanku tak karuan, tegang, berdebar, nafas sesak, tapi pikiranku masih waras untuk tidak membuka resleting celanaku. Bisa berantakan masa depanku. Aku “mencatat” beberapa perbedaan antara milik Tante dengan milik bule yang di majalah itu. Rambut, milik Tante hitam lurus, milik bule coklat keriting. Benjolan kecil, milik Tante lebih “panjang”, warna sama-sama pink. Pintu, milik Tante lebih kecil. Lengkaplah sudah aku mempelajari tubuh wanita. Utuhlah sudah aku mengamati seluruh tubuh Tante. Seluruhnya ? Ternyata tidak, yang belum pernah aku lihat sama sekali : puting susunya. Kenapa tidak sekarang ? Kesempatan terbuka di depan mata, lho! Mataku beralih ke atas, ke bukit yang bergerak naik-turun teratur. Dada kanannya makin lebar terbuka, ada garis tipis warna coklat muda di ujung kain. Itu adalah lingkaran kecil di tengah buah, hanya pinggirnya saja yang tampak. Aku merendahkan kepalaku mengintip, tetap saja putingnya tak kelihatan. Ya, hanya dengan sedikit menggeser tepi baju mandi itu ke samping, lengkaplah sudah “kurikulum” pelajaran anatomi tubuh Tante. Dengan amat sangat hati-hati tanganku menjangkau tepi kain itu. Mendadak aku ragu. Kalau Tante terbangun bagaimana ? Kuurungkan niatku. Tapi pelajaran tak selesai dong! Ayo, jangan bimbang, toh dia sedang tidur nyenyak. Ya, dengkurannya yang teratur menandakan ia tidur nyenyak. Kembali kuangkat tanganku. Kuusahakan jangan sampai kulitnya tersentuh. Kuangkat pelan tepi kain itu, dan sedikit demi sedikit kugeser ke samping. Macet, ada yang nyangkut rupanya. Angkat sedikit lagi, geser lagi. Kutunggu reaksinya. Masih mendengkur. Aman. Terbukalah sudah.. Puting itu berwarna merah jambu bersih. Berdiri tegak menjulang, bak mercusuar mini. Amboi . indahnya buah dada ini. Tak tahan aku ingin meremasnya. Jangan, bahaya. Aku harus cepat-cepat pergi dari sini. Bukan saja khawatir Tante terbangun, tapi takut aku tak mampu menahan diri, menubruk tubuh indah tergolek hampir telanjang bulat ini.
***
Aku jadi tak tenang. Berulang kali terbayang rambut-rambut halus kelamin dan puting merah jambu milik Tante itu. Apalagi menjelang tidur. Tanpa sadar aku mengusap-usap milikku yang tegang terus ini. Tapi aku segera ingat janjiku untuk tidak masturbasi lagi. Mendingan praktek langsung. Tapi dengan siapa ?
Hari ini aku pulang cepat. Masih ada dua mata pelajaran sebetulnya, aku membolos, sekali-kali. Toh banyak juga kawanku yang begitu. Percuma di kelas aku tak bisa berkonsentrasi. Di garasi aku ketemu Tante yang siap-siap mau pergi senam. Dibalut baju senam yang ketat ini Tante jadi istimewa. Tubuhnya memang luar biasa. Dadanya membusung tegak ke depan, bagian pinggang menyempit ramping, ke bawah lagi melebar dengan pantat menonjol bulat ke belakang, ke bawah menyempit lagi. Sepasang paha yang nyaris bulat seperti batang pohon pinang, sepasang kaki yang panjang ramping. Walaupun tertutup rapat aku ngaceng juga. Lagi-lagi aku terrangsang. Diam-diam aku bangga, sebab di balik pakaian senam itu aku pernah melihatnya, hampir seluruhnya! Justru bagian tubuh yang penting-penting sudah seluruhnya kulihat tanpa ia tahu! Salah sendiri, teledor sih. Ah, salahku juga, buktinya kemarin aku menyingkap putingnya.
“Lho, kok udah pulang, To” sapanya ramah. Ah bibir itu juga menggoda.
“Iya Tante, ada pelajaran bebas” jawabku berbohong. Kubukakan pintu mobilnya. Sekilas terlihat belahan dadanya ketika ia memasuki mobil. Uih, dadanya serasa mau “meledak” karena ketatnya baju itu.
“Terima kasih” katanya. “Tante pergi dulu ya”. Mobilnya hilang dari pandanganku.
***
Selasai mandi hari sudah hampir gelap. Di ruang keluarga Tante sedang duduk di sofa nonton TV sendiri.
“Senamnya di mana Tante ?” Aku coba membuka percakapan. Aku memberanikan diri duduk di sofa yang sama sebelah kanannya.
“Dekat, di Tebet Timur Dalam”. Malam ini Tante mengenakan daster pendek tak berlengan, ada kancing-kancing di tengahnya, dari atas ke bawah.
“Tumben, kamu tidur siang”
“Iya Tante, tadi main voli di situ” jawabku tangkas.
“Kamu suka main voli ?”
“Di Kampung saya sering olah-raga Tante” Aku mulai berani memandangnya langsung, dari dekat lagi. Ih, bahu dan lengan atasnya putih banget!
“Pantesan badanmu bagus” Senang juga aku dipuji Tanteku yang rupawan ini.
“Ah, Kalau ini mungkin saya dari kecil kerja keras di kebun, Tante” Wow, buah putih itu mengintip di antara kancing pertama dan kedua di tengah dasternya. Ada yang bergerak di celanaku.
“Kerja apa di kebun ?”
“Mengolah tanah, menanam, memupuk, panen” Buah dada itu rasanya mau meledak keluar.
“Apa saja yang kamu tanam ?” tanyanya lagi sambil mengubah posisi duduknya, menyilangkan sebelah kakinya.
Kancing terakhir daster itu sudah terlepas. Waktu sebelah pahanya menaiki pahanya yang lain, ujung kain daster itu tidak “ikut”, jadi 70 % paha Tante tersuguh di depan mataku. Putih licin. Yang tadi bergerak di celanaku, berangsur membesar.
“Macam-macam tergantung musimnya, Tante. Kentang, jagung, tomat” Hampir saja aku ketahuan mataku memelototi pahanya.
“Kalau kamu mau makan, duluan aja”
“Nanti aja Tante, nunggu Oom” Aku memang belum lapar. Adikku mungkin yang “lapar”
“Oom tadi nelepon ada acara makan malam sama tamu dari Singapur, pulangnya malam”
“Saya belum lapar” jawabku supaya aku tidak kehilangan momen yang bagus ini.
“Kamu betah di sini ?” Ia membungkuk memijit-mijit kakinya. Betisnya itu…
“Kerasan sekali, Tante. Cuman saya banyak waktu luang Tante, biasa kerja di kampung, sih. Kalau ada yang bisa saya bantu Tante, saya siap”
“Ya, kamu biasakan dulu di sini, nanti Tante kasih tugas”
“Kenapa kakinya Tante ?” Sekedar ada alasan buat menikmati betisnya.
“Pegel, tadi senamnya habis-habisan”
Di antara kancing daster yang satu dengan kancing lainnya terdapat “celah”. Ada yang sempit, ada yang lebar, ada yang tertutup. Celah pertama, lebar karena busungan dadanya, menyuguhkan bagian kanan atas buah dada kiri. Celah kedua memperlihatkan kutang bagian bawah. Celah ketiga rapat, celah keempat tak begitu lebar, ada perutnya. Celah berikutnya walaupun sempit tapi cukup membuatku tahu kalau celana dalam Tante warna merah jambu. Ke bawah lagi ada sedikit paha atas dan terakhir, ya yang kancingnya lepas tadi.
“Mau bantu Tante sekarang ?”
“Kapan saja saya siap”
“Betul ?”
“Kewajiban saya, Tante. Masa numpang di sini engga kerja apa-apa”
“Pijit kaki Tante, mau ?”
Hah ? Aku tak menyangka diberi tugas mendebarkan ini
“Biasanya sama Si Mar, tapi dia lagi engga ada”
“Tapi saya engga bisa mijit Tante, cuma sekali saya pernah mijit kaki teman yang keseleo karena main bola” Aku berharap ia jangan membatalkan perintahnya.
“Engga apa-apa. Tante ambil bantal dulu” Goyang pinggulnya itu…
Sekarang ia tengkurap di karpet. Hatiku bersorak. Aku mulai dari pergelangan kaki kirinya. Aah, halusnya kulit itu. Hampir seluruh tubuh Tante pernah kulihat, tapi baru inilah aku merasakan mulus kulitnya. Mataku ke betis lainnya mengamati bulu-bulu halus.
“Begini Tante, kurang keras engga ?”
“Cukup segitu aja, enak kok”
Tangan memijit, mata jelalatan. Lekukan pantat itu bulat menjulang, sampai di pinggang turun menukik, di punggung mendaki lagi. Indah. Kakinya sedikit membuka, memungkinkan mataku menerobos ke celah pahanya. Tanganku pindah ke betis kanannya aku menggeser dudukku ke tengah, dan..terobosan mataku ke celah paha sampai ke celana dalam merah jambu itu. Huuuh, sekarang aku betul-betul keras.
“Aah” teriaknya pelan ketika tanganku menjamah ke belakang lututnya.
“Maaf Tante”
“Engga apa-apa. Jangan di situ, sakit. Ke atas saja”
Ke Atas ? Berarti ke pahanya ? Apa tidak salah nih ? Jelas kok, perintahnya. Akupun ke paha belakangnya.
Ampuuun, halusnya paha itu. Kulit Tante memang istimewa. Kalau ada lalat hinggap di paha itu, mungkin tergelincir karena licin!
Aku mulai tak tenang. Nafas mulai tersengal, entah karena mijit atau terangsang, atau keduanya. Aku tak hanya memijit, terkadang mengelusnya, habis tak tahan. Tapi Tante diam saja.
Kedua paha yang diluar, yang tak tertutup daster selesai kupijit. Entah karena aku sudah “tinggi” atau aku mulai nakal, tanganku terus ke atas menerobos dasternya.

“Eeeh” desahnya pelan. Hanya mendesah, tidak protes!
Kedua tanganku ada di paha kirinya terus memijit. Kenyal, padat. Tepi dasternya dengan sendirinya terangkat karena gerakan pijitanku. Kini seluruh paha kirinya terbuka gamblang, bahkan sebagian pantatnya yang melambung itu tampak. Pindah ke paha kanan aku tak ragu-ragu lagi menyingkap dasternya.
“Enak To, kamu pintar juga memijit”
Aku hampir saja berkomentar :”Paha Tante indah sekali”. Untung aku masih bisa menahan diri. Terus memijit, sekali-kali mengelus.
“Ke atas lagi To” suaranya jadi serak.
Ini yang kuimpikan! Sudah lama aku ingin meremas pantat yang menonjol indah ke belakang itu, kini aku disuruh memijitnya! Dengan senang hati Tante!
Aku betul-betul meremas kedua gundukan itu, bukan memijit, dari luar daster tentunya. Dengan gemas malah! Keras dan padat.
Ah, Tante. Tante tidak tahu dengan begini justru menyiksa saya! kataku dalam hati. Rasanya aku ingin menubruk, menindihkan kelaminku yang keras ini ke dua gundukan itu. Pasti lebih nikmat dibandingkan ketika memeluk tubuh mbak Mar dari belakang.
“Ih, geli To. Udah ah, jangan di situ terus” ujarnya menggelinjang kegelian. Barusan aku memang meremas pinggir pinggulnya, dengan sengaja!
“Cape, To ?” tanyanya lagi.
“Sama sekali engga, Tante” jawabku cepat, khawatir saat menyenangkan ini berakhir.
“Bener nih ? Kalau masih mau terus, sekarang punggung, ya ?”. Aha, “daerah jamahan” baru!
Bahunya kanan dan kiri kupencet.
“Eeh” desahnya pelan.
Turun ke sekitar kedua tulang belikat. Lagi-lagi melenguh. Daster tak berlengan ini menampakkan keteknya yang licin tak berbulu. Rajin bercukur, mungkin. Ah, di bawah ketek itu ada pinggiran buah putih. Dada busungnya tergencet, jadi buah itu “terbuang” ke samping. Nakalku kambuh. Ketika beroperasi di bawah belikat, tanganku bergerak ke samping.
Jari-jariku menyentuh “tumpahan” buah itu. Tidak langsung sih, masih ada lapisan kain daster dan kutang, tapi kenyalnya buah itu terasa. Punggungnya sedikit berguncang, aku makin terangsang.
Ke bawah lagi, aku menelusuri pinggangnya.
“Cukup, To..” Kedua tangannya lurus ke atas. Ia tengkurap total. Nafasnya terengah-engah.
“Depannya Tante ?” usulku nakal. Lancang benar kau To. Tante sampai menoleh melihatku, kaget barangkali atas usulku yang berani itu.
“Kaki depannya ‘kan belum Tante” aku cepat-cepat meralat usulku. Takut dikiranya aku ingin memijit “depannya punggung” yang artinya buah dada!
“Boleh aja kalau kamu engga cape”. Ya jelas engga dong! Tante berbalik terlentang. Sekejap aku sempat menangkap guncangan dadanya ketika ia berbalik. Wow! Guncangan tadi menunjukkan “eksistensi” kemolekkan buah dadanya! Aduuh, bagaimana aku bisa bertahan nih ? Tubuh molek terlentang dekat di depanku. Ia cepat menarik dasternya ke bawah, sebagai reaksi atas mataku yang menatap ujung celana dalamnya yang tiba-tiba terbuka, karena gerakan berbalik tadi. Silakan ditutup saja Tante, toh aku sudah tahu apa yang ada dibaliknya, rambut-rambut halus agak lurus, hitam, mengkilat, dan lebat. Lagi pula aku masih bisa menikmati “sisanya”: sepasang paha dan kaki indah! Aku mulai memijit tulang keringnya. Singkat saja karena aku ingin cepat-cepat sampai ke atas, ke paha.
Lutut aku lompati, takut kalau ia kesakitan, langsung ke atas lutut, kuremas dengan gemas.
“Iih, geli”. Aku tak peduli, terus meremas. Paha selesai, untuk mencapai paha atas aku ragu-ragu, disingkap atau jangan. Singkap ? Jangan! Ada akal, diurut saja. Mulai dari lutut tanganku mengurut ke atas, menerobos daster sampai pangkal paha.
“Aaaah, Tooo ….” Biar saja. Kulihat wajahnya, matanya terpejam. Aku makin bebas.
Dengan sendirinya tepi daster itu terangkat karena terdorong tanganku. Samar-samar ada bayangan hitam di celana dalam tipis itu. Jelas rambut-rambut itu. Ke bawah lagi, urut lagi ke atas. Aaah lagi. Dengan cara begini, sah-sah saja kalau jempol tanganku menyentuh selangkangannya. Sepertinya basah di sana. Ah masak. Coba ulangi lagi untuk meyakinkan. Urut lagi. Ya, betul, basah! Kenapa basah ? Ngompol ? Aku tidak mengerti.
“To …” panggilnya tiba-tiba. Aku memandangnya, kedua tanganku berhenti di pangkal pahanya. Matanya sayu menantang mataku, nafasnya memburu, dadanya naik-turun.
“Ya, Tante” mendadak suaraku serak. Dia tak menyahut, matanya tetap memandangiku, setengah tertutup. Ada apa nih ? Apakah Tante ….. ? Ah, mana mungkin. Kalau Tante terrangsang, mungkin saja, tapi kalau mengajak ? Jangan terlalu berharap, To!
Aku meneruskan pekerjaanku. Kini tak memijit lagi, tapi menelusuri lengkungan pinggulnya yang indah itu, membelai. Habis tak tahan.
“Uuuuh” desahnya lagi menanggapi kenakalanku. Keterlaluan aku sekarang, kedua tanganku ada di balik dasternya, mengelus mengikuti lengkungan samping pinggul.
“Too …. ” panggilnya lagi. Kulepas tanganku, kudekati wajahnya dengan merangkak di atas tubuhnya bertumpu pada kedua lutut dan telapak tanganku, tidak menindihnya.
“Ada apa, Tante” panggilku mesra. Mukaku sudah dekat dengan wajahnya.
Matanya kemudian terpejam, mulut setengah terbuka. Ini sih ajakan. Aku nekat, sudah kepalang, kucium bibir Tante perlahan.
“Ehhmmmm” Tante tidak menolak, bahkan menyambut ciumanku. Tangan kirinya memeluk punggungku dan tangan kanannya di belakang kepalaku. Nafasnya terdengar memburu. Aku tidak lagi bertumpu pada lututku, tubuhku menindih tubuhnya. Menekan. Ia membuka kakinya. Aku menggeser tubuhku sehingga tepat di antara pahanya yang baru saja ia buka. Kelaminku yang keras tepat menindih selangkangannya. Kutekan. Nikmatnya!
“Ehhhmmmmmm” reaksinya atas aksiku.
Kami saling bermain lidah. Sedapnya!
Aku terengah-engah.
Dia tersengal-sengal.
Tangan kananku meremas dada kirinya. Besar, padat, dan kenyal! Ooooohhhh, aku melayang.
He!, ini Tantemu, isteri Oommu!
Iya, benar. Memangnya kenapa.
Mengapa kamu cium, kamu remas dadanya.
Habis enak, dan ia tak menolak.
Dua kancing dasternya telah kulepas, tanganku menyusup ke balik kutangnya.
Selain besar, padat, dan kenyal, ternyata juga halus dan hangat!
Tiba-tiba Tante melepas ciumanku.
“Jangan di sini, To” katanya terputus-putus oleh nafasnya.
Tanpa menjawab aku mengangkat tubuhnya, kubopong ia ke kamarnya. “Uuuuuhhh” lenguhnya lagi.
“Ke kamarmu saja”
Sebelum sampai ke dipanku, Tante minta turun. Berdiri di samping dipan. Aku memeluknya, dia menahan dadaku.
“Kunci dulu pintunya” Okey, beres.
Kulepas seluruh kancingnya, dasternya jatuh ke lantai. Tinggal kutang dan celana dalam. Buah dada itu serasa mau meledak mendesak kutangnya!
Kupeluk lagi dia. Dadanya merapat di dadaku.
“Tooo, hhehhhhhhh” katanya gemas seperti menahan sesuatu.
Kami berciuman lagi. Main lidah lagi.
Tangannya menyusup ke celanaku, meremas-remas kelaminku di balik celana.
“Eehhmmmmmm” dengusnya
Dengan kesulitan ia membuka ikat pinggangku, membuka resleting celanaku, merogoh celana dalamku, dan mengeluarkan “isinya”
“Eehhh” Ia melepas ciuman, melihat ke bawah.
“Ada apa Tante” Tanyaku disela-sela dengus nafasku.
“Besar sekali”
Ia mempermainkan penisku. Menggenggam, meremas.
Geli, geliii sekali.
Stop Tante, jangan sampai keluar. Aku ingin pengalaman baru, Tante. Ingin memasuki kelaminmu..sekarang!
Kutarik tangannya dari penisku. Untung Tante menurut. Aku tak jadi “keluar”
Kulepas tali kutangnya, tapi yang belakang susah dilepas. Tante membantu. Buah dada itu terbuka. Wow.luar biasa indahnya. Belum sempat aku menikmat buah itu, Tante memelukku. Meraih tangan kananku, dituntunnya menyelip ke celana dalamnya. Dibawah rambut-rambut itu terasa basah. Diajarinya aku bagaimana jariku harus bermain di sana : menggesek-gesek antara benjolan dan pintu basah itu.
“Uuuuuuhhhhhh, Tooo..”
Dilepasnya bajuku, singletku, celanaku luar dalam. Aku telanjang bulat. Kutarik juga celana dalamnya. Ia telanjang bulat juga. Luar biasa. Pinggang itu ramping, perut itu rata, ke bawah melebar lengkungannya indah. Rambut-rambut halus itu menggemaskan, diapit oleh sepasang paha yang nyaris bulat. Seluruhnya dibalut kulit yang putih dan mulusnya bukan main!.
Ditariknya aku ke dipan. Ia merebahkan diri. Kakinya ditekuk lalu dibuka lebar. Dipegangnya kelaminku, ditariknya, ditempelkannya di selangkangan. Rasanya terlalu ke bawah. Ah, dia ‘kan yang lebih tahu. Aku nurut saja. Tangannya pindah ke pantatku. Ditariknya aku mendekat tubuhnya. Sesuatu yang hangat terasa di ujung penisku.
Tangannya memegang penisku lagi. Belum masuk ternyata. Disapu-sapukannya kepala penisku di pintu itu. Sementara ia menggoyang pantatnya. Geliii, Tante. Aku manut saja seperti kerbau dicucuk hidung. Memang belum pengalaman! Didorongnya lagi pantatku. Meleset!
Pernah kupikir waktu pertama kali aku melihat kelamin Tante beberapa hari lalu, mana cukup lubang sesempit itu menampung kelaminku yang lagi tegang ?
Tante membuka pahanya lebih lebar lagi, mengarahkan penisku lagi, dan aku sekarang yang mendorong. Kepalanya sudah separoh tenggelam, tapi macet!
“Kelaminmu besar, sih!”keluhnya. Padahal barusan ia mengaguminya.
Ia menggoyang pantatnya dan…bless. Masuk separoh.
“Aaaaahhh” teriak kami berbarengan. Terasa ada sesuatu yang menjepit penisku, hangat, enak!
Pantatnya bergoyang lagi, tumitnya mendorong pantatku.
Blesss..masuk lagi. Makin hangat, makin sedap, dan geli.
Goyang lagi, aku dorong sekarang. Masuk semuanya
Seedaaaaaaaaap!
Tante bergoyang.
Nikmaaaaaaaat!
Tante menjepit.
Geliiiiiiiiiiiiiiii!
Kutarik pelan. Terasa gesekan, enak. Ya, digesek begini enak. Tarik sedikit lagi, dan kudorong lagi.
“Idiiiiiiiiiiih, sedaaaaapp Too” Tante berteriak, agak keras.
Geli di ujung sana. Tariik, dorooong
Makin geli..
Geli sekali…
Tak tahaaaaaann…
“Tahan dulu, To”
Tak mungkin, sudah geli sekali.lalu..
Aku melambung, melayang, melepas..
“Aaaaaahhhhhhh” teriakku. Nikmatnya sampai ke ubun-ubun.
Mengejang, melepas lagi, berdenyut, enak, melepas lagi, nikmat sekali..!
“Genjot lagi, To” teriaknya
Mana bisa.
“Ayo, To”
Aku sudah selesai!
Tante masih menggoyang
Aku ikut saja, pasif
“Tooooo, ..”
Tante gelisah, goyangnya tak kubalas. Aku sudah selesai!
“Eeeeeeeeehh” keluhnya, sepertinya kecewa.
Bergerak-gerak tak karuan, menendang, menggeliat, gelisah..
Penisku mulai menurun, di dalam sana.
Tante berangsur diam, lalu sama sekali diam, kecewa.
Tinggal aku yang bingung.
Beberapa menit yang lalu aku mengalami peristiwa yang luar biasa, yang baru kali ini aku melakukan. Baru kali ini pula aku merasakan kenikmatan yang luar biasa. Kenikmatan berhubungan kelamin.
Nikmatnya susah digambarkan.
Hubungan kelamin antara pria yang mulai menginjak dewasa dengan wanita dewasa muda.
Sama-sama diinginkan oleh keduanya.
Keduanya yang memulai.
Berdua pula yang melanjutkan, keterusan dan…kepuasan.
Kepuasan ? Aku memang puas sekali, tapi Tante ?
Itulah masalahnya sekarang.
Aku menangkap wajah kecewa pada Tante.
Perilakunya yang gelisah juga menandakan itu.
Aku jadi merasa bersalah. Aku egois.
Aku mendapatkan kenikmatan luar biasa sementara aku tak mampu memberi kepuasan kepada “lawan mainku”, Tante Yani.
Terlihat tadi, ia ingin terus sementara aku sudah selesai.
Aku bingung bagaimana mengatasi kebisuan ini.
Aku masih menindih tubuhnya. Penisku masih di dalam.
Buah dadanya masih terasa kencang mengganjal dadaku.
Pandangannya lurus ke atas melihat plafon.
Aku harus ambil inisiatif.
Kucium pipinya mesra, penuh perasaan.
“Maafkan saya, Tante”
Tante menoleh, tersenyum dan balas mencium pipiku.
Sementara aku agak lega, Tante tak marah.
“Kamu engga perlu minta maaf, To”
“Harus Tante, saya tadi nikmat sekali, sebaliknya Tante belum merasakan. Saya engga mampu, Tante. Saya belum pengalaman Tante. Baru kali ini saya melakukan itu”
“Betul ? Baru pertama kamu melakukan ?”
“Sungguh Tante”
“Engga apa-apa, To. Tante bisa mengerti. Kamu bukannya tidak mampu. Hanya karena belum biasa saja. Syukurlah kalau kamu tadi bisa menikmati”
“Nikmaaat sekali, Tante”
Tante diam lagi, mengelus-elus punggungku. Nyaman sekali aku seperti ini.
“To ” panggilnya.
“Ya, Tante”
“Ini rahasia kita berdua saja ya ? Tante minta kamu jangan katakan hal ini pada siapapun”
“Tentu Tante, tadinya sayapun mau bilang begitu” Tiba-tiba aku ingat sesuatu. Mendadak aku jadi cemas.
“Tante ”
“Hhmm”
“Gimana kalau Tante nanti ..” Aku tak berani meneruskan.
“Nanti apa ?”
“Akibat perbuatan tadi, lalu Tante ..”
“Hamil ?” potongnya.
“Ya ”
“Engga usah kamu pikirkan. Tante sudah jaga-jaga”
“Saya engga mengerti Tante”
“To, lain kali saja ya Tante jelasin. Sekarang Tante harus mandi, Oommu ‘kan sebentar lagi datang”
Ah, celaka. Sampai lupa waktu. Aku bangkit hendak mencabut.
“Pelan-pelan To” katanya sambil menyeringai, lalu matanya terpejam
“Eeeeeehhh” desahnya hampir tak terdengar, ketika aku mencabut kelaminku.
Kubantu ia mengenakan kutangnya. Buah dada itu belum sempat aku nikmati. Lain kali pasti!
“Tante ” aku memanggil ketika ia sudah rapi kembali.
Kupeluk ia erat sekali, kubisikkan di dekat kupingnya
“Terima kasih, Tante” lalu kucium pipinya.
“Ya ” jawabnya singkat.
“Sana mandi, cuci yang bersih niih” katanya lagi sambil menggenggam penisku waktu bilang ‘niih’

Ooohhh, nikmatnya hari ini aku.
Malam ini pertama kali aku ciuman dengan nikmat, pacaran sampai “keterusan”. Pertama kali penisku memasuki kelamin wanita. Pertama kali aku menumpahkan “air” ku ke dalam tubuh wanita, tidak ke perut atau ke lantai.
Lebih istimewa lagi, wanita itu adalah Tante Yani.
Wanita dengan tubuh yang luar biasa.
Bentuknya, potongannya, halusnya, padatnya, putihnya, bulunya…..
Padahal wanita itu sudah 26 tahun, sepuluh tahun di atas usiaku. Tapi lebih padat dari Si Ani yang 17 tahun, lebih manis dari Si Yuli yang sepantaranku, lebih indah dari Si Rika yang seumurku.
Yang masih mengganjal, wanita itu Tanteku, isteri Oom Ton. Ya, aku meniduri isteri Oomku! Aku mendapatkan pengalaman baru dari isterinya! Aku memperoleh kenikmatan dari meniduri isterinya. Isteri orang yang membiayai sekolahku, yang memberiku makan dan tempat tinggal!
Betapa jahatnya aku. Betapa kurangajarnya aku.
Aku sekarang jadi pengkhianat!
Mengkhianati adik misan ayahku!
Tapi, keliru kalau semua kesalahan ditimpakan kepadaku.
Siapa yang menyuruh memijat ?
Okey, seharusnya memijat saja, kenapa pakai mengelus ?
Pakai meremas pantat ? Habis, siapa yang tahan ? Aku masih 16 tahun, masih sangat muda, tapi sudah matang secara seksual, mudah terrangsang.
Tante sendiri, kenapa tidak menolak ? Bisa saja ia menempelengku ketika aku mau mencium bibirnya di karpet itu. Bisa saja ia menolak waktu aku membopongnya ke kamarku. Dan aku, bisa saja memberontak waktu ia merogoh celana dalamku, waktu ia menggenggam kelaminku dan diarahkan ke kelaminnya….
Kesimpulannya : salah kami berdua!
Tapi, aku ingin mengulangi ……….!
***
Paginya, kami sarapan bertiga, Aku, Oom, dan Tante. Aku jadi tidak berani menatap mata Oom waktu kami berbicara. Mungkin karena ada perasaan bersalah. Sedangkan Tante, biasa-biasa saja. Sikapnya kepadaku wajar, seolah tak terjadi apa-apa. Tak ada pembicaraan penting waktu makan.
Tante bangkit menuangkan minuman buat Oom. Kupandangi tubuhnya. Aku jadi ingat peristiwa semalam. Rasanya aku tak percaya, tubuh yang ada di depanku ini, yang sekarang tertutup rapat, sudah pernah aku tiduri. Aku ngaceng lagi..
Susah sekali aku berkonsentrasi menerima pelajaran hari ini. Pikiranku ke rumah terus, ke Tante. Bagaimana ia “menuntunku” masuk. Bagaimana aku mulai belajar “menggesek”, terus keenakkan. Aku ingin lagi…!
Tante bagaimana ya, apakah ia ingin lagi ? Aku meragukannya, mengingat semalam ia tidak puas. Jangan-jangan ia kapok. Tadi pagi sikapnya biasa saja. Mestinya sedikit lebih mesra kepadaku. Memangnya kamu ini siapa.
Lebih baik begitu, wajar saja, ‘kan ada suaminya.
***
Dua hari kemudian ketika aku pulang sekolah, kulihat ada mobil Oom di garasi. Apakah Oom Ton tak ke kantor hari ini ? Atau jangan-jangan Oom tahu kalau aku ..
Ah, jangan berpikir begitu. Dua hari terakhir ini sikap Oom kepadaku tak ada perubahan apa-apa. Sikap Tante juga wajar-wajar saja. Justru aku yang kelimpungan. Bayangkan. Setiap hari ketemu Tante. Aku selalu membayangkan “dalam”-nya, walau pakaian Tante tertutup rapat. Lalu, terbayang, aku sudah pernah menjamah tubuh itu, dan terangsang lagi.
Selama dua hari ini aku betul-betul tersiksa. Terlihat paha Tante yang sedikit tersingkap saja, aku langsung “naik”. Ooh..! Aku ingin lagiiiiii.
Siang ini aku makan sendirian. Kamar Tante tertutup rapat. Oom pasti ada di dalam, mobilnya ada. Tante juga tentunya. Mungkin mereka sedang …? Siang-siang ? Biar saja, toh suami-isteri. Sekejap ada rasa tak nyaman. Tanteku sedang ditiduri suaminya…! Aku iri! Memangnya kamu siapa ?
Baru saja aku selesai menyantap sendok terakhir makananku, kemudian mengangkat gelas, ketika tiba-tiba pintu kamar terbuka, Tante keluar, mengenakan baju tidur. Aku terpana. Tanganku yang sedang memegang gelas berhenti, belum sempat minum, terpesona oleh Tante dengan baju tidurnya. Kelihatan ia baru bangun tidur, melihatku.
“Sudah pulang, To”
“Udah dari tadi Tante”
Ia tutup pintu kamarnya kembali lalu mendekatiku, dan tiba-tiba mencium pipiku erat, lenganku merasakan lembutnya sesuatu yang menandakan Tante tak memakai kutang.
Hampir saja aku menumpahkan air minum karena kaget.
“Ada kabar gembira.”katanya berbisik. Sebelum aku berreaksi atas aksinya itu, Tante sudah beranjak ke belakang meninggalkanku.
Aku jadi penasaran. Penasaran pada benda lembut yang mendesak lenganku tadi, serta pada kabar gembira apa ?
Ketika Ia kembali lagi, aku berdiri untuk memuaskan rasa penasaran tadi.
Tante menempelkan telunjuknya ke mulut sambil matanya melirik ke kamar. Aku mengerti isyarat ini. Jangan ganggu, ada suaminya.
Sejam kemudian kulihat Oom Ton duduk di sofa ruang tengah bersama Tante. Oom Ton berpakaian rapi berdasi, seperti hendak ke kantor, sedangkan Tante mengenakan daster pendek tak berlengan berkancing tengah, daster kesukaanku. Terlihat segar, baru saja mandi, mungkin.
“Tarto” Oom Ton memanggilku.
“Ya, Oom”
“Oom mau ke Bandung, dua hari. Kamu jaga rumah ya ?”
Ini rupanya kabar gembira itu!
“Baik, Oom, kapan Oom berangkat ?”
“Sebentar lagi, jam tiga”
Dua hari Oom tak ada di rumah, tentunya dua malam juga. Dua malam aku menjaga rumah, bersama Tante.
Dua malam bersama Tante ? Bukan main!. Eit, jangan berharap dulu, ya. ‘Kan tadi Ia bilang kabar gembira ?
Kok kamu yakin kabar gembiranya Tante adalah karena Oom ke Bandung ? Jangan sok pasti ya!
Aku melirik Tante, Ia biasa-biasa saja.
Pak Dadan datang membawa tas di bahunya, masuk garasi menghidupkan mesin mobil.
“Papa berangkat ya, Ma”
“Ya, Pa, hati-hati di jalan, ya ?”
“Mama juga hati-hati di rumah”
Oom mencium pipi Tante, lalu menciumi Si Luki.
“Jaga baik-baik, ya To”
“Ya, Oom”
Seisi rumah mengantar Oom sampai depan pintu pagar, melambai sampai mobilnya berbelok ke jalan Tebet Timur Raya.
Semuanya masuk ke rumah kembali. Hatiku bersorak. Dadaku penuh berharap dan kepalaku penuh rencana.
Luki dibawa pengasuhnya ke rumah sebelah. Mbak meneruskan pekerjaannya di belakang. Aman. Tinggal aku dan Tante. Kuberanikan diriku. Kupeluk Tante dari belakang. Betul ‘kan, Tante tak memakai kutang. Wah, sudah lama sekali aku tak menyentuhnya.
Tante sedikit kaget, lalu berbalik membalas pelukanku. Cuma sebentar, melepaskan diri.
“Sabar, dong To”
“Tante …” Serak suaraku.
“Nanti malam saja ”
Aha, rencana di kepalaku bisa terlaksana malam ini.
Kami duduk berdampingan di sofa, sedikit berjarak. Aku nonton TV, Tante membaca.
Aku tak tahan lagi, penisku sudah tegang dari tadi. Sekarang baru jam setengah empat sore. Berapa jam lagi aku mesti menunggu ? Oh, lama sekali.
Tante, tolonglah aku. Aku tak sanggup lagi menunggu.
Kulihat sekeliling meyakinkan situasi. Luki masih sama si Tinah di tetangga. Mbak Mar menyetrika di belakang. Aman!
Kupegang tangan Tante yang sedang ada di pahanya. Dengan begini aku bisa meremas-remas tangannya sambil merasakan lembutnya paha. Ia sesekali membalas remasanku, tetap membaca.
Ditariknya tangannya untuk membuka halaman buku bacaannya, tanganku “tertinggal” di pahanya. Kesempatan.
Kuusap lembut pahanya. Paha itu masih seperti yang kemarin, padat, kenyal, halus, berbulu lembut. Masih tetap membaca.
Aku makin berani, tanganku bergerak ke atas menyusup dasternya. Kuusap celana dalamnya. Nafasnya mulai terdengar meningkat “volume”nya.
Diletakkannya buku itu sambil menghela nafas panjang.
“To., kamu engga sabaran, ya ?” katanya sambil memegang tanganku di bawah sana.
“Maafkan saya Tante, saya.. saya ..engga kuat lagi Tante, saya ingin lagi, Tante” Kataku terputus-putus menahan birahi yang mendesak. Kelaminku juga mendesak.
“Masih sore, To”
“Tolonglah., Tante, saya membayangkan terus setiap ..hari” kataku setengah memohon. Aku yakin Tantepun sebenarnya telah terangsang, terlihat dari nafasnya dan aku merasakan basah di celananya. Aku sudah sampai pada titik yang tak mungkin surut kembali. Situasi sekeliling aman. Jadi, apa lagi selain berlanjut ?
“Saya mohon, Tante” kini aku betul-betul memohon.
Ditariknya tanganku dari paha, lalu dituntun ke dadanya. Permohonanku diterima.
Kuremas buah dada itu yang hanya ditutupi selembar kain daster.
“Eeeeeeehhh” desahnya.
Tiga hari lalu, waktu aku pertama kali meniduri Tante (memang baru pertama kali aku berhubungan sex), aku belum sempat menikmati buah dada ini. Waktu itu kami sudah sama-sama terangsang sehabis aku memijatnya. Aku baru sempat meremasnya, itupun dibalik kutang. Lalu ketika kutangnya sudah terbuka, Tante sudah keburu menuntun kelaminku memasukinya.
Sekaranglah kesempatan untuk menikmati dada itu.
Kubuka kancing dasternya, satu, dua, tiga.
Dada itu mengagumkan.
Putih, besar, menonjol, bulat, bergerak maju mundur seirama nafasnya, putingnya kecil agak panjang tegak lurus ke depan berwarna merah jambu.
Aku berlutut di depannya, kusingkirkan daster itu, kucium belahan dadanya yang seperti parit kecil di antara dua bukit.
Halusnya buah itu dapat kurasakan di kedua belah pipiku.
Mulutku bergerak ke kiri, ke dada bagian atas, terus turun, kutelusuri permukaan bukit halus itu dengan bibir dan lidahku. Sementara tangan kananku mengusapi buah kirinya. Luar biasa, kulit itu haluuus sekali! Tangannya mengusap-usap belakang kepalaku. Penelusuranku berakhir di puncaknya. Kumasukkan putting itu kemulutku, kukemot.
“Aaaaaaaahhh” lenguhnya pelan sekali.
Tangannya menekan kepalaku.
Kukemot lagi, kuhisap, kupermainkan dengan lidahku, putting itu mengeras. Puting satunya lagi juga mengeras, terasa di antara telunjuk dan ibujari tangan kananku.
Ada kesamaan gerak antara mulut dan tangan kananku. Kalau mulutku mengulum puting, jari-jariku memilin puting sebelahnya. Bila bibir dan lidahku merambahi seluruh permukaan buah yang sangat halus itu, telapak tanganku merambah pula. Seluruh permukaan dada itu demikian halus, sehingga ada sedikit yang tak halus di sebelah puting agak ke bawah menarik perhatianku.
Kulepaskan muluku dari dadanya, ingin memeriksa. Di sebelah puting dada kiri Tante ada bercak merah. Kuperhatikan dan kuraba. Seperti bekas gigitan. Oh. Aku ingat tadi siang waktu makan. Ini pasti “hasil kerja” Oom Ton di kamar yang terkunci tadi..
Akupun ingin. Betapa enaknya menggigit buah kenyal ini.
Dada kanan bagianku. Kucium puting itu kembali, geser sedikit, aku mulai menggigit.
Tiba-tiba Tante mendorong kepalaku.
“Jangan, To. Kamu..mikir, dong” katanya sambil terengah-engah.
Ah, bodohnya aku. Kalau kugigit tentu nanti berbekas, jelas pemilik sahnya, Oom Ton, akan curiga!
“Maafkan saya Tante, habis gemas sih.”
“Yahhh.engga apa-apa. Kamu harus ingat, ini rahasia kita saja”
Dipegangnya dadanya sendiri lalu disodorkannya ke mulutku. Gantian, sekarang dada kiri dengan mulutku, yang kanan dengan tangan kiriku….
Sudah saatnya untuk pindah ke kamar.
Aku bangkit berdiri. Tante masih tergolek duduk. Kancing tengah dasternya sudah semuanya terlepas, menyibak kesamping, tinggal celana dalamnya saja. Dada itu rasanya makin besar saja.
Kutarik kedua tangan Tante, tapi ia melepaskannya. Dibukanya gesperku, lalu kancing celanaku, dan ditariknya resleting dan celana dalamku. Penisku yang tegang itu keluar dengan gagahnya persis di depan mukanya.
“Uuuuuuuuuhhhh” Tante melenguh pelan memegang kelaminku, dielusnya.
“Kok besar sekali sih To, punyamu ini”

Kuraih badannya, kubimbing ia ke kamarku sambil masih memegang senjataku, tertatih-tatih kami berdua.
Kukunci pintu kamarku, kurebahkan Tante perlahan di dipanku, kulucuti pakaianku, dengan bertelanjang bulat kudekati Tante.
Dengan perlahan kupelorotkan celana merah jambu itu. Kembali aku bertemu dengan rambut halus hitam mengkilat itu. Ada cairan bening di sana. Kutindih tubuhnya lalu kakinya menjepit tubuhku. Kamipun berciuman, saling menggigit lidah. Lalu akupun tak tahan lagi.
Aku bangkit. Kubuka kakinya lebar. Lubang sempit itu terbuka sedikit, merah. Sekarang aku tak perlu dituntun lagi. Aku sudah tahu. Kutempelkan kepala penisku ke lubang sempit itu, lalu kudorong hati-hati.
“Aaaaaaaaaaahhhhh, To, sedaaaaaap”
Kepalanya sudah masuk. Nikmaaaaaaaaaat!
Aku heran, lubang sesempit itu bisa “menelan” kepala penis besarku. Kenapa kupikirkan ? Yang penting enak.
Sambil memegangi kedua belah dadanya, aku mendorong lagi. Enak-enak geli atau geli-geli enak. Entah mana yang benar. Kudorong lagi, Aaah lagi, enak lagi, geli lagi.
Lagi kudorong, sampai habis, sampai mentok.
“Idiiiiiiiiiiiiih, Toooo, enak sekali”
Nyaman, sudah didalam seluruhnya.
Pinggul Tante mulai berputar. Aku tahu tugasku, menarik dan mendorong. Mulut Tante mengeluarkan bunyi-bunyian setiap aku mendorong. Melenguh, mendesah, kadang menjerit kecil, atau kata-kata yang tak bermakna.
Kejadian tiga hari lalu berulang. Baru beberapa kali “tusuk” aku sudah merasakan geli luar biasa. Nampaknya aku tak mampu menahan lagi. Ah, kenapa begini ? Aku tak bisa tahan lama. Aku cemas jangan-jangan Tante nanti kecewa lagi. Tapi bagaimana lagi, aku sudah hampir tiba di puncak.
Aku coba berhenti bergerak sambil menahan agar jangan sampai keluar dulu, persis kalau aku menahan kencing. Tapi begitu aku diam, pantat Tante langsung berputar. Seluruh bagian tubuh yang di dalam sana memeras-meras kelaminku. Oh, aku tak akan berhasil menahan diri. Langsung saja aku bergerak lagi, makin cepat malah. Ocehan Tantepun makin ngawur.
Aku jadi cepat, makin cepat dan semakin cepat, lalu ……. badanku bergetar hebat, mengejang, berulang, memuntahkan, mengejang lagi, muntah lagi…
Tante berhenti berputar, lalu menjepit kakiku, menerima pelepasanku.
Rasanya aku mengeluarkan banyak sekali
Lalu akupun ambruk di atas tubuh Tante.
Aku selesai. Selesai menggetar, selesai mengejang, selesai melepas, selesai semuanya. Tanteku selesai terpaksa. Aku yakin ia kecewa lagi.
“Tante, gimana Tante, saya engga bisa menahan lagi …”
“Hmmm, To”
“Maafkan lagi saya, Tante. Saya gagal”
“Sudahlah, To”
“Saya hanya memuaskan diri sendiri”
“Tante bilang sudahlah, kamu lumayan tadi”
“Lumayan gimana Tante ?”
“Ada kemajuan dibanding yang lalu. Tante merasa enak, tadi”
“Tante bohong! Tante cuma menghibur saya”
“Benar, To. Memang Tante merasa belum “tuntas”, tapi kocokanmu tadi bisa Tante nikmati”. Aku agak tenteram.
“Ini karena kamu belum biasa, To. Tante yakin, lama-lama kamu akan mampu. Barangmu kerasnya luar biasa”
“Gimana caranya supaya saya bisa lama, Tante ?’
“Nanti kamu akan tahu sendiri”
“Ajarin saya ya, Tante”
Tante tak menjawab. Akupun berdiam diri. Lama kami berdua membisu.
Tante melihat jam, pukul empat sore, lalu bangkit mencari-cari pakaiannya yang berserakan.
“Tante mandi dulu, ya ?”
Aku membantunya berpakaian.
Merapikan karet celana dalamnya, mengkaitkan kutangnya, mengancingkan dasternya. Ada sesuatu yang lain kurasakan. Aku merasa demikian “mesra” membantunya berpakaian. Aku serasa membantu isteriku!
Ya, barusan aku merasa meniduri isteriku.
Kupeluk Tante erat sekali, agak lama. Lalu kucium pipinya dalam-dalam.
“Tante”
“Apa, To ?”
“Tarto sayang Tante” kataku tiba-tiba.
Dipandangnya mataku lurus-lurus.
“Apa maksudmu To”
“Engga tahu Tante, pokoknya saya sayang sama Tante. Tante jangan kapok, ya ? Tarto ingin kita terus begini”
“Oh, itu maksudmu. Asal kamu bisa jaga rahasia”
“Bisa, Tante”
“Juga harus hati-hati”
“Iya,Tante”
Tanpa kusadari, penisku bangun lagi.
“Sudah, mandi sana” Tante ke luar kamarku
***
Malam itu aku nonton TV sendirian. Tante ada di kamarnya, tertutup. Aku kesepian. Aku mengharapkan Tante akan ke luar dari kamar menemaniku di sini. Kemudian aku mendekatinya, lalu ciuman, raba-raba, dan …diakhiri dengan hubungan suami-isteri.
Heran aku, baru tadi sore aku dipuaskan oleh Tante di kamarku, malam ini aku ingin lagi! Aku ingin kenikmatan itu lagi. Aku tetap menunggu.
Jam 9 malam. Tante belum juga muncul.
Pukul 9.30, tidak juga.
Kemarilah Tante, aku merindukanmu.
Malam ini adalah malam pertama Oom tak ada di rumah. Ayolah Tante, ini kesempatan yang tak boleh dilewatkan.
Atau kuketuk saja pintunya, lalu aku masuk ?
Ah jangan. Itu kurang ajar, namanya.
Tubuh indah itu sendirian di kamar.
Buah dada putih itu tak ada yang mengelusnya.
Kelamin berambut halus itu tak ada yang memasukinya malam ini.
Kenapa engkau tidak ke luar ?
Barangkali Tante memang tidak membutuhkannya. Paling tidak malam ini.
Ya, kalau ia butuh tentunya akan mendekatiku.
Jam 10, belum ada tanda-tanda.
Aku putuskan, malam ini memang Tante tak mau diganggu. Biar sajalah. Toh besok siang, sore, atau malam masih ada kesempatan. Oom Ton menginap di Bandung dua malam. Yah, besok sajalah.
Tapi aku ingin malam ini!
Aku ingin malam ini kelaminku masuk dan kemudian mengeluarkan cairan dengan nikmat!
Kemudian aku mengeluarkan penisku yang sudah tegang itu. Kata Tante punyaku ini besar. Entah benar-benar besar, aku tak tahu. Sebab aku belum pernah lihat punya orang lain.
Karena tidak ada Oom Ton, aku jadi makin berani menggoda Tanteku. Seperti waktu sarapan tadi. Aku mengelus-elus bahu dan lengan atasnya yang terbuka di meja makan. Bahkan mencium pipinya.

“Hati-hati, To”
“Ya, Tante, Kan saya lihat-lihat keadaan dulu”
“Mar ada di belakang” katanya.
“Tante”
“Ehm ?”
“Tarto sayang Tante”
“Aku udah ada yang punya, To” katanya sambil mencubit pahaku. Aku senang.
“Ya. Pokoknya saya sayang” Jangan-jangan aku jatuh cinta benar-benar sama Tanteku ini.
“Semalam Tante ke mana. Saya tunggu-tunggu”
“Ya. Tante tahu, kamu nonton TV. Kamu masuk kamar jam 10 ‘kan ? Masa’ mau terus-terusan”. Aku lega, Tante tak tahu perbuatanku semalam yang menyelinap ke kamar Mbak Mar.
“Iya dong. Mumpung ada kesempatan. Sekarang juga saya mau” kataku nakal.
“Gila, kamu To. Awas jangan sampai mengganggu sekolahmu!”
“Habis Tante betul-betul menggemaskan” Aku ngaceng lagi!
“Udah ah, berangkat sana, nanti telat”
“Tapi nanti lagi ya Tante, janji dulu”
“Lihat dulu nanti”
Bagaimana tidak mengganggu sekolah, seharian aku ingat Tante terus. Membayangkan apa yang akan kuperbuat nanti bersama Tante.
***
Di kelas aku jadi sering melamun, membayangkan waktu aku menyelusuri seluruh permukaan dada Tante dengan mulut dan lidahku. Membayangkan bagaimana kelaminku secara perlahan memasukinya…
Bel tanda pulang berbunyi. Aku bersorak. Ingat ke rumah, ingat malam ini Tante menjadi milikku. Akan kureguk semua kenikmatan dari tubuh Tante. Pokoknya nanti akan kunikmati seluruhnya, mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki, sampai puas.
Memang aku bisa puas, tapi bagaimana dengan Tante ? Dua kali aku berhubungan kelamin dengan Tante, dua-duanya aku bisa mengeluarkan spermaku ke dalam lubang kelamin Tante, sampai puncak, sampai puas. Tapi Tante tidak. Aku jadi cemas, jangan-jangan nanti aku juga begitu. Tapi aku ingat, yang kedua kemarin tante bilang aku ada kemajuan. Hal ini sedikit menghiburku. Mudah-mudahan yang ketiga nanti dengan bertambahnya pengalamanku, ada kemajuan lagi. Aku agak tenang sekarang.
Di rumah sepi-sepi saja. Tak ada siapapun, juga Tante. Aku makan siang sendirian. Tante mungkin ada di kamar, pintu kamarnya tertutup. Kuselesaikan makan siangku dengan cepat, lalu duduk saja di meja makan, berharap Tante akan keluar dari kamarnya. Setengah jam berlalu, masih sendiri. Aku ke ruang keluarga nonton TV. Duduk di sofa lalu ingat, kemarin di sini aku menikmati buah dada Tante dengan tuntas. Diam-diam punyaku mulai tegak, padahal hanya membayangkan yang kemarin. Ditambah lagi acara TV menyajikan fashion show di Sydney, Australia. Peragawati cantik-cantik yang berlenggok di catwalk itu umumnya tak memakai kutang. Kalau model bajunya berdada rendah, belahan dadanya jelas. Kalau bahannya tipis, putingnya menonjol. Apalagi peragawati yang punya dada besar, buahnya berguncang waktu ia melenggang. Aku tambah tegang, makin pusing karena terangsang. Oh. Tante sayang, kemanakah engkau. Aku membutuhkanmu sekarang!
Tiba-tiba pintu kamar Tante terbuka. Aku menoleh. Kepala Tante nongol memberi isyarat padaku dengan mengangguk-angguk. Nasibku memang beruntung. Jelas ini isyarat ajakan masuk. Tapi masak di kamar itu, kamar pribadi Oom dan Tante. Aku ragu, bengong saja belum bereaksi atas isyaratnya. Sekali lagi Tante mengangguk, kali ini sambil mengedipkan kedua matanya. Dengan pasti aku melangkah menuju kamarnya. Kepala Tante lenyap. Aku masuk langsung menutup pintu kamarnya dan mengunci.
Di ranjang besar itu Tante terlentang. Mengenakan baju tidur tipis, sehingga samar-samar celana dalam dan kutangnya terlihat. Matanya sayu memandangku, berkaca-kaca. Kutang itu bergerak naik-turun menandakan nafas Tante sudah memburu.
Aku tak tahan melihat pemandangan yang menggairahkan ini, segera saja aku menghampirinya. Tapi…
“Tunggu dulu. Buka dulu dong, pakaianmu” perintahnya. Okey, tanpa dimintapun aku akan membuka. Sementara aku membuka pakaian sampai telanjang bulat, Tante memelorotkan celana dalamnya dengan posisi masih terlentang. Kini di balik baju tidur tipis itu nampak rambut-rambut halus yang menggemaskan itu.
Belum sempat aku bergerak, ada lagi ‘ulah’ Tante.
Ditariknya gaun tidur tipis itu perlahan, memperlihatkan paha bulat itu. Ditarik lagi keatas sampai pusarnya nongol. Kelamin berambut halus dan perutnya terbuka terhidang di depanku. Luar biasa. Tante menyajikan ’strip tease show’ di depanku! Ada-ada saja Tante ini.
Dengan ’senjata’ yang tegak keras aku menghampiri tubuh indah ini.
Kucium rambut-rambut halus itu sebentar. Gemasnya aku.
“Aaaaaaaahhhh” teriak Tante.
Aku berpindah ke atas, kulumat bibirnya sambil meremas sebelah dadanya. Kutang itu perlu disingkirkan dulu seharusnya, tapi aku tak sempat. Tanganku sebelah lagi bergerak ke bawah. Eh, Tante sudah basah! Benjolan dan pintu itu licin.
“Hhhhhhhhmmmmmmmm..” Tante tak mampu melenguh karena bibirnya aku kunci dengan bibirku.
Disingkirkannya tanganku yang sedang asyik di bawah, dipegangnya kelaminku, lalu diarahkannya ke ‘pintu’. Rupanya Tante ingin memulai sekarang. Mungkin sama dengan aku, sudah sama-sama terangsang lebih dulu sebelum bergumul. Aku terrangsang oleh bayanganku dan peragawati tadi, Tante terangsang entah oleh apa.
Aku mulai ‘masuk’
“Aduhh! Pelan-pelan, To!” Tante mengaduh, memang masukku tadi agak kasar.
“Maaf Tante, habis engga tahan sih..”kataku tersengal.
Kamipun saling menggenjot. Lucu kelihatannya kali ini. Tante masih mengenakan gaun tidur dan kutangnya, kelamin kami sudah saling pagut…
Hasilnya, seperti kemarin.
Aku ‘keluar’ lebih dulu, sementara Tante belum terpuaskan benar. Kentara dari pinggulnya yang masih mencoba menggoyang sambil kakinya menjepit pinggangku.
Kembali aku kecewa.
Kalau kelaminku sudah bergesekan dengan kelamin Tante, disamping rasa nikmat, juga rasa geli luar biasa. Jika sudah geli begitu, aku tak sanggup lagi menahan untuk jangan sampai ke puncak dulu.
Kembali aku gagal memuaskan Tante.
Kembali aku berusaha menetralkan suasana yang tak enak ini.
Kuelus buah dada yang putingnya masih tegang itu dengan penuh perasaan, lalu kucium perlahan. Tante mengusap kepalaku. Kucium pipinya dengan mesra.
“Tante..”
“Hmmm”
“Saya..engga..”
“Udahlah..Tante tahu. Kamu engga usah merasa apa-apa. Tante maklum kok. Kamu tadi lumayan, sudah ada kemajuan”
“Tapi Tante kan belum …”
“Engga usah kamu pikirin. Tante mengerti” katanya menentramkan sambil mengelus-elus dadaku.
“Saya engga bisa bertahan lama, Tante”
“Sudah lumayan, kok. Tante tadi juga merasa nikmat. Kamu udah mulai pintar mengocok tadi”
“Saya bisa merasakan Tante tadi belum puas”
“Iya, memang wanita membutuhkan waktu yang lebih lama dibanding laki-laki. Tapi kamu tadi ada kemajuan dibanding kemarin”
“Tak adil rasanya. Saya merasakan kenikmatan luar biasa, sedangkan Tante belum”
“Sudahlah, To. Tak perlu kamu pikirkan. Tante mengerti”
“Terima kasih Tante” Kupeluk tubuhnya erat. Erat sekali.
Diciumnya pipiku, lalu merebahkan kepalanya di dadaku. Aku mengelus rambutnya.
“Tubuhmu atletis sekali. Dadamu bidang” katanya sambil tangannya menelusuri dadaku.
“Iya, Tante. Dulu saya kerja di kebun. Saya juga sering olahraga”
Tiba-tiba tangan Tante ke bawah menggenggam punyaku.
“Kelaminmu besar sekali”
“Ah, masa Tante. Saya kira biasa-biasa saja”
“Apalagi kalau lagi tegang”. Kulirik punyaku, sudah agak surut.
“Tubuh Tante luar biasa” balasku.
“Kalau lagi tegang keras dan panas” komentarnya lagi masih tentang penisku, mengabaikan pujianku.
“Buah dada Tante indah sekali”
“Ah, masa. Dibanding punya siapa” pancingnya.
“Siapa saja” Aku pura-pura terpancing.
“Berarti kamu sering lihat buah dada, ya” Kubalikkan badannya.
“Besar, bulat, kenyal, putih, licin, halus lagi” kataku sambil melihat dekat-dekat buah itu.
“Buah dada siapa yang kamu lihat” tanyanya sambil menggoyang-goyang kelaminku yang masih berada digenggamannya.
“Cuma baru ini” jawabku sambil mulai merabai permukaan dadanya.
“Jujur aja, To. Dada siapa yang pernah kamu lihat” katanya lagi. Tante penasaran rupanya.
“Sungguh mati Tante. Cuma punya Tante yang pernah saya lihat”
“Yang bener, To” tangannya tidak menggenggam lagi, tapi mengelus kelaminku.
“Benar Tante”
“Kok tahu bagus ?”
“Saya hanya lihat punya teman-teman sekolah. Itupun dari luar”
“Pernah kamu pegang ?” Tangannya masih mengelus, aku mulai terangsang.
“Ih, engga lah, Tante. Bisa gempar, dong”
“Jadi, tahunya punya Tante bagus, dari mana ?”
“Pokoknya, dari luar, punya Tante paling besar” Ujung jariku mempermainkan putingnya. Putting itu mulai mengeras.
“Tante”
“Hmm ?”
“Apa setiap buah dada ujungnya begini ?’
“Begini gimana”
“Panjang, mungil, tapi keras”
“Mungkin. Punyamu mulai keras”
Aku seperti disadarkan. Memang aku sudah terangsang akibat percakapan tentang dada dan elusan Tante pada kelaminku. Aku mau lagi. Kenapa tidak ? Mumpung masih ada kesempatan. Oom Ton paling cepat besok siang pulangnya. Segera saja kukulum putting yang sejak tadi kupermainkan.
“Eeeeehhhhhmmmmmmm..” Tante melenguh panjang.
Tanganku ke bawah mencari-cari di antara ‘rambut-rambut’. Basah di sana. Kugosok yang basah itu.
“Uuhmmmm….Aaahhhhhhh..Uuhhmmmmm” desahnya agak keras, mengikuti irama gosokanku. Kelaminku diremas-remas. Enak.
“To… Hhheeeehhhggh..sedap, To..Hhheeeeeghh”
Tante makin ribut, aku khawatir kalau sampai terdengar dari luar kamar. Ah, tak ada orang ini. Aku makin giat menggosoki tonjolan kecil di bawah sana.
Tante makin ribut, menceracau tak karuan
Gosok lagi.
Teriak dia lagi. Akhirnya…
“Udah, To.ampun..Ayo To, sekarang To, sekarang…!”
Aku bangkit. Kelaminku yang sudah keras kupegang pangkalnya, kuarahkan. Tante membuka kakinya lebar-lebar. Demikian lebarnya sampai kedua lututnya ke atas, menyuguhkan kelaminnya yang membasah, tepat di depan kelaminku.
Aku masuk.
Kudorong perlahan.
“Oooohhh, To..sedapnya….”
Sudah tenggelam separoh. Kudorong lagi.
“Aduuuuhhhh, mamaaaa, nikmatnya…” teriaknya lagi.
Kudorong lagi.
Sudah masuk seluruhnya.
Kurebahkan tubuhku menindih tubuhnya. Tanganku ke belakang punggungnya. Kudekap erat tubuhnya, lalu aku mulai menggenjot. Sedaaaaaaaapp.
Bertumpu pada kedua lututku, aku menarik dan mendorong pinggulku.
Nikmaaaaaaaaaattt.
Entah kata apa saja yang keluar dari mulut Tante aku tak peduli. Terus saja menggenjot, naik-turun, keluar-masuk.
Aku nikmati benar gesekan kelaminku pada dinding vagina Tante.
Kadang selagi punyaku didalam, Tante “mengikat” pahaku dengan kakinya sambil memutar pantatnya. Kurasakan sentuhan seluruh relung kelaminnya pada kelaminku.
Luar biasa sedapnya.
“To…hhehh.kamu…hhehh..kok..hhehh..”Tante mencoba bicara disela-sela nafasnya yang memburu.
“Keenaapaa . hheehh.. Taanntee…hhehh”
“Kamu….kok…lama…”
Baru aku menyadari, sudah puluhan kali kelaminku kugenjot keluar- masuk-putar, tapi aku tak merasakan geli seperti biasanya. Yang kurasakan hanya nikmat. Rasa geli yang tak bisa kutahan yang kemudian membuat aku ke ‘puncak’, kali ini tak kurasakan! Heran!
“Engga …tahu.. Tante..”
“To, Oh my God..heeeehhhhhh”
“Enak…Tante…?”
“Wooow….luar biasa…”
Genjot dan genjot lagi
“Kamu..masih…lama..To..?”
“Masih…Tante.”
Memang aku belum merasakan “geli menuju puncak”
“Diam. dulu,.. To”
Aku menghentikan genjotanku. Posisiku masih “di dalam”.
Tangan Tante memeluk erat punggungku, sementara kakinya mengikat pahaku. Lalu tubuhnya bergerak miring hendak merobohkan tubuhku. Aku bertahan, tak tahu maksudnya.
“Gantian, To…Tante di atas.”
Baru aku tahu maksud gerakan Tante ini. Kuikuti gerakannya, tapi..
“Jangan.sampai…lepasss”
Rupanya gerakan robohku terlalu cepat, sehingga kelaminku sedikit tercabut. Untung Tante cepat mengimbangi gerakanku, hingga punyaku “masuk lagi”.
Sekarang kami sudah sempurna berbalik posisi. Tante yang menindihku. Hanya sebentar. Tante lalu perlahan bangkit mendudukiku. Kelamin kami tak terlepas. Tante mulai bergerak. Aneh, gerakannya maju-mundur! Rasanya lain pula, tapi sama sedapnya! Dengan posisi begini gesekannya terasa lain. Kadang diputar, seperti diperas. Kadang Tante “jongkok”, pantatnya naik-turun, sedap juga.
“Aaaahhhh..kamu..nakal” teriaknya ketika dia berjongkok membenamkan kelaminku, aku mengangkat pantatku.
Kedua tanganku diraih, dituntun ke dadanya. Kuremas dada yang tambah licin kena keringat.
Entah sudah berapa lama akhirnya Tante capek juga. Dia rebahkan tubuhnya. Kupeluk. Kumiringkan, aku ingin di atas lagi. Tante menurut. Dengan hati-hati kami mengubah posisi, agar jangan terlepas. Aku berhasil.
“Kamu…udah..pintar..”pujinya.
Dengan posisi di atas aku jadi bebas menggenjot. Lagi-lagi Tante teriak.
“Terus..To.., Tante…hampir…”
Terus. Tusukanku makin menggila. Teriakannya makin keras.
Rasa geli datang, dimulai dari ujung penis, terus menjalar ke seluruh tubuh. Makin geli. Makin cepat aku menarik-tusuk. Kesemutan…mengambang..melayang..dan…….
“Aaaaaaaaaaaaaaahhhhhhhh….”
Seeeerrr, denyut-denyut, seeerrr, bergetar, serrrrr, berguncang..seer. Entah sudah berapa kali seerr, yang jelas setiap kali keluar aku merasakan kenikmatan yang tak bisa kugambarkan dengan kata-kata. Begitu nikmat. Aku sampai lupa memperhatikan tingkah Tante. Badannya telah bergeser ke atas karena ku”dorong” dengan tusukanku. Bantalnya bukan lagi di kepala, tapi di punggung. Sedangkan kepala terkulai, mata melihat ke atas, bibir terkatub rapat seluruh tubuh gemetaran. Teriakannya ? Tak perlu kuceritakan. Agak lama juga aku dan Tante bergetaran begini, merasakan puncaknya kenikmatan hubungan kelamin…….
Lalu, hanya nafas kami berdua yang terdengar, seolah berebut mengisap oksigen untuk mengembalikan enerji yang keluar.
Lalu barangsur pelan, makin beraturan.
Tante masih “terkapar”
Aku lunglai di atas tubuhnya.
Ini keempat kalinya aku bersetubuh dengan Tante. Yang terakhir inilah kurasakan sangat berbeda dibanding tiga kali yang terdahulu. Lebih nikmat, lebih memuncak, lebih lama, lebih banyak aku mengeluarkan “air”ku, lebih bergetar, pokoknya …..susah diceritakan. Pengalaman baru tentang rasa nikmat.
Dan lagi, mudah-mudahan pengamatanku tak salah, Tante begitu menggelepar, mengerang, teriak, berbeda dengan sebelumnya, Tante kali ini kelihatan “selesai”. Semoga begitu.
“Ooh..To., kamu hebat” Diciumnya pipiku dengan gemasnya.
“Apanya yang hebat, Tante”
“Kamu betul-betul lelaki” tambahnya
“Memang dari dulu saya laki-laki. Ini buktinya” Kusodorkan kelaminku, menusuk perutnya.
“Laki-laki yang jantan” diremasnya penisku dengan gemas.
“Auu” teriakku
“To…luar biasa..” Tak putus-putusnya ia memujiku.
“Enak engga tadi, Tante ?”
“Wow. bukan main. Sangat!”
Kupeluk tubuhnya. Aku merasa bahagia sekali.
“Tante sayang..” Aku berbisik semesra mungkin.
Agak kaget Tante memandangku, lalu tersenyum. Manis sekali!
“Ada apa ‘yang ?” Wuih, mesra banget. Tante memanggilku ‘yang’.
“Saya sayang Tante” Kucium bibirnya.
“Hhmmmmmmm” lenguhnya.
“Kalau lama, enak sekali ya Tante”
“Kok kamu tadi bisa lama”
“Engga tahu, Tante. Mungkin karena tadi ronde kedua”
“Atau mungkin karena kamu udah mulai pandai”
“Yang pandai gurunya”
“Huuuu” cibirnya sambil mencubit kontolku. Aku senang.
“Guruku yang cantik”
Dicubitnya hidungku.
“Dan berpengalaman” godaku lagi.
“Aaah, udahlah, To”
Kami diam lagi.
“To.” panggilnya tiba-tiba.
“Ya.sayang”
“Jangan tinggalin Tante, Ya”
“Oo, engga dong. Masa Tante yang jelita begini mau ditinggalin”
“Tante serius, To”
“Saya juga serius, Tante. Saya membutuhkan Tante. Saya ingin begini setiap hari, Tante”
“Saya butuh kamu” Nah ini baru pernyataan. Ini pernyataan baru. Tante membutuhkanku ? Bukankan ia punya suami ?
“Oom Ton gimana Tante”
Tiba-tiba wajah Tante berubah, agak sedih kulihat.
“Tante….ah engga. Pokoknya kita harus hati-hati, To. Ingat pesanku ‘kan ? Tante juga senang kita bisa begini terus. Tapi hati-hati, ya ?”
“Pasti, Tante. Saya akan hati-hati. Tapi Tante mau kan, tiap hari”
“Nanti kamu bosan”
“Saya sudah bilang, Tarto sayang Tante. Tarto butuh Tante. Tarto ingin menikmati setiap hari. Tadi Tante bilang membutuhkan Tarto. Maksudnya gimana Tante ?”
“Iya.sama seperti kamu, Tante juga ingin setiap hari”
Klop ‘kan ? Keinginan yang sama, saling membutuhkan, saling memuaskan, dan….saling menyayangi. Apakah ini yang dinamakan cinta ? Ya, apakah kami saling mencintai ? Aku memang tak ingin kehilangan Tante, tapi Tante sendiri bagaimana ? Apakah ia membutuhkanku karena mencintai keponakannya ini ? Atau karena aku baru saja memuaskannya ? Bagaimana dengan suaminya ? Jangan-jangan ia tak mendapatkan kepuasan dari Oom Ton ? Aku ingin mendapatkan jawaban dari pertanyaan terakhir ini, tapi mana berani aku menanyakan langsung kepada Tante. Ah, itu tak penting. Yang penting, aku sekarang punya kekasih yang luar biasa, yang bisa membuatku melayang-layang di puncak kenikmatan.
Lelah benar aku malam ini. Bayangkan, malam ini dua kali aku “bertempur”. Terutama yang terakhir tadi, permainan lama yang betul-betul menguras tenagaku. Aku sekarang ingin istirahat.
Masih agak sempoyongan aku bangkit mengumpulkan pakaianku.
“Mau ke mana To ?”
“Saya ingin tidur, Tante”
“Sudah tidur sini aja, temanin Tante”
“Saya senang sekali Tante, tapi besok Oom ‘kan pulang ?”
“Paling cepat besok siang” Aku memperhatikan Tante yang dengan malas bangkit. Tubuh wanita ini memang luar biasa. Aku benar-benar beruntung mendapatkannya. Masih telanjang bulat Tante berjalan menuju kamar mandi. Tak lepas mataku menatapnya.
“Kenapa, To” Tante merasa aku tatap begitu.
“Tante memang indah” kataku sambil bergantian menatap dada dan ‘rambut’ bawahnya.
“Kamu memang nakal. Sudahlah, bersih-bersih dulu baru kita tidur”
Di dalam kamar tidur Tante yang luas ini ada kamar mandi yang luas pula. Ada dua wastafel cermin lebar, bath-tube, dan tempat untuk mengguyur (douce) yang berpintu kaca agak buram.
Di bath-tube kami saling membersihkan, Tante menyabun tubuhku sementara aku mengguyur tubuhnya, lalu gantian. Ah, mesra sekali.
Lalu berdua kami tidur berpelukan dibawah selimut yang hangat, tanpa pakaian. Tante yang punya ide begini. Enak juga. Jam dinding menunjuk waktu 11.32. Dua ronde permainan makan waktu hampir 3 jam. Pantas saja aku lelah.
Dengan tergagap aku terbangun. Dimana aku in ? Tante masih ada di pelukanku. Kulihat sekeliling, ah aku tidur di kamar pribadi Oom Ton dan Tante Yani!
Ada rasa enak di bawah sana. Ooh, Tante sedang asyik mengelus-elus penisku yang tegang. Setiap bangun pagi, tanpa dieluspun penisku memang tegang. Elusan ini yang membuat aku terbangun. Kulihat jam dinding, pukul 05.17. Ah , sudah pagi, aku harus siap-siap. Tapi Tante ini..
Tante memandangku, tersenyum, seperti biasa : manis.
“Punyamu udah keras, To” Buah dada itu menyembul karena terpepet dadaku. Aku terangsang.
Langsung saja aku raih buah indah itu. Putingnya sudah keras. Kami berpagutan. Aku ingin tahu kesiapan Tante pagi ini, tanganku ke bawah sana. Sudah basah rupanya. Mengingat waktu, aku ingin segera mulai. Tantepun paham.
Kembali aku melakukan ‘pertempuran’ panjang melawan Tante.
Rasanya jalan ke puncak masih lama.
Aku mempercepat “pompaan”ku
Belum juga.
Aku terus melumat bibir Tante, mencegah “kicauan”nya yang makin keras, khawatir terdengar Mar yang sangat mungkin sudah bangun.
Ganti posisi
Percepat lagi.
Hampir
Ubah posisi
Akhirnya, aku makin yakin seperti yang Tante katakan, bahwa aku lelaki tulen, jantan, hebat….
Pagi yang melelahkan sekaligus menyegarkan……!
Tante memberikan bukti, bukan hanya janji. Kami bersetubuh hampir tiap hari, kecuali kalau Tante senam. Waktu yang dipilihnya adalah siang hari, waktu saya baru pulang sekolah, di kamarku. Ini demi keamanan. Siang hari adalah saat yang paling aman. Saat Si Mar sedang sibuk bekerja di belakang, Si Luki bermain dengan pengasuhnya di rumah sebelah, dan saat Oom Ton belum pulang kantor. Siang hari memberikan Tante cukup waktu untuk membersihkan diri, menghilangkan “bekas”.
Aku jauh dari bosan, seperti yang dikhawatirkan Tante. Karena aku memang sangat menikmati hubungan ini. Faktor lain yang membuat aku tak bosan adalah kreativitas Tante. Seperti yang kukemukakan di awal tulisan ini, ada saja ide Tante untuk membuat kejutan untukku setiap berhubungan kelamin. Entah itu posisi berhubungan, atau acara “pembukaan”, tambahan ronde, dan lain-lain yang membuat aku merasa “lain”.
Pernah sekali waktu ketika aku pulang sekolah, ia sudah siap di dipanku memakai selimutku sebatas dada dan tak memakai apa-apa lagi di balik selimut itu. Kejutan yang membuatku “terbakar”.
Lain kali lagi ia memintaku “masuk” dari belakang. Bertumpu pada lututnya ia ‘nungging’, aku bermain sambil memegangi pantatnya yang bahenol itu.
Saat yang lain lagi, kami ‘bertempur’ di atas meja belajarku. Ia duduk di pinggiran meja membuka kaki, aku ‘masuk’ sambil tetap berdiri.
Pernah juga di kursi belajarku. Aku duduk di kursi yang dirapatkan ke dinding, ia duduk di atas pahaku berhadapan. Dengan posisi begini ia bebas “memilih” posisi tusukan kelaminku di vaginanya. Posisi atau gaya apapun, yang jelas membuat kami berdua menuju puncak bersamaan atau hampir berbarengan.
Kejutan yang susah kulupakan serta merupakan pengalaman baru bagiku adalah seperti yang akan kuceritakan di bawah ini.
Seperti yang sudah-sudah, pulang sekolah setelah ganti baju, aku langsung menemui Tante meminta “jatah” bersetubuh. Aku sebut jatah karena kalau malam hari Tante bukan milikku lagi, tapi jatah suaminya.
Siang itu ruang tengah sepi, Tante mungkin ada di kamarnya, kulihat pintunya sedikit terbuka. Aku ingin masuk ke kamarnya, kali ini aku ingin main di kamarnya, karena sejak “semalam 3 ronde” itu aku tak pernah lagi making love di kamar itu, selalu di kamarku. Kuperiksa keadaan sekeliling dulu. Aman.
Aku masuk kamarnya. Tante mengenakan kimono sedang mengikat rambutnya. Kukunci pintu, kupeluk Tante dari belakang, menggerayangi. Tak ada apa-apa lagi di balik kimono itu.
“Hhmmmmm..sebentar ya ‘yang, Tante mau mandi dulu”
“Engga usah mandi juga Tante tetap wangi” kataku terus menjelajahi tubuhnya.
“Entar biar segar. Sabar dulu ya..” Aku menghentikan aksiku.
“Saya ikut mandi Tante” kataku bercanda.
“Ayolah, kita mandi bareng” Tak kusangka Tante menganggapnya serius. Ayo, kalau begitu.
Aku langsung bertelanjang, menuntun Tante memasuku kamar mandi. Tante membuka kimononya, bertelanjang bulat juga, masuk ke ruang douce. Tak bosan-bosannya aku memandangi tubuh indah ini, padahal hampir tiap siang aku menggumulinya.
“Ayo, To” ajaknya.
“Kita main di sini Tante ?” nakalku timbul.
“Hush, sekarang kita mandi dulu, kapan-kapan bolehlah”
Tanganku yang bersabun menggosoki dadanya. Di bagian putting sengaja kutekan-tekan. Tante juga menggosok dadaku dengan sabun. Lalu perutnya, dan ke bawah lagi. Tangan Tante juga ke bawah. Diusapnya dengan sabun ‘rambut’ bawahku, kemudian dipegangnya batang kelaminku, digosok juga. Karuan saja batang itu membesar.
“Hiiiiii, bangunnya cepet bener” Aku menikmati gosokannya. Tante benar-benar teliti, semua bagian dari alat vitalku itu dibersihkan dengan sabun lalu diguyur. Enak.
Aku ikut-ikutan. Seluruh bagian kelaminnya aku bersihkan. Kalau aku lagi menggosok “pintu” kelaminnya, kulihat mata Tante merem-melek keenakan.
Selesai mengeringkan badan aku langsung menubruk Tante.
“Heee, jangan disini To, ingat dong” Oh ya. Siang begini terkadang si Luki suka masuk ke kamar, tentu diikuti si Tinah. Berbahaya.
Aku berpakaian, hanya pakaian luar saja, pakaian dalam aku bawa, menyingkat waktu.
“Hiiiii, lucu.” kata Tante mengomentari tonjolan di celanaku. Tantepun hanya memakai daster, tanpa pakaian dalam.
Aku masuk kamarku duluan, langsung berbugil. Sejurus kemudian Tante menyusul, juga langsung bertelanjang bulat. Kami langsung bersatu, saling raba dan saling pagut. Kali ini mungkin tak ada kejutan yang dibuat Tante. Atau ya itu tadi, mandi dulu sebelum main. Betul juga kata Tante, lebih segar.
Aku meringkik kegelian ketika Tante menciumi pusarku. Ini mungkin kejutannya, tak biasanya Tante begitu.
Tapi, Tante terus ke bawah menciumi ‘rambut’ku. Lebih kaget lagi, tangannya menggenggam kelaminku dan mulai menciumi barang yang sudah mengeras itu! Bukan main! Geli-geli nikmat. Bahkan..
“Aaaaaaaahhhh” aku mengerang ketika kepala penisku dimasukkan ke mulutnya!
Luar biasa nikmatnya. Ini rupanya mengapa Tante begitu teliti membersihkan kelaminku waktu mandi tadi.
“Tante…”
Tante seolah tak mendengar panggilanku, terus saja asyik melahap barangku. Tante sanggup memasukkan barang itu hingga separohnya. Sewaktu di dalam, jelas kurasakan lidah Tante ikut bermain menggelitiki penisku. Woooow sedapnya tak terkira .!
Sungguh ini pengalaman baru bagiku. Nikmatnya terasa lain. Entah apa yang dirasakan oleh Tante. Kok mau-maunya ia melakukan ini. Aku sih keenakan. Aku perhatikan bagaimana ia sibuk mengeluarkan-memasukkan penisku, kepalanya naik-turun berirama.
“Aaaahhhhhhh…hhmmmmmmmm…ssssshhhhhhhh..sed ap, .. Tante., …Tante..pintar .sekali…” celotehku menahan nikmat. Bagaimana nanti kalau aku tak mampu menahan diri ? Masa aku menyemprotkan spermaku ke mulut Tante ? Ah, bagaimana nanti saja, yang penting sekarang….sedaaaaaaaaaap.
Tiba-tiba Tante melepas “makanan”nya, disapunya barangku dengan kain dasternya yang tergeletak di dipan. Aku merasa kehilangan sesuatu. Dikeringkan. Lalu…dikulum lagi…! Nikmaaaaat..
Dilepaskannya lagi, barangkali mau dilap lagi. Ternyata tidak, badannya digeser sehingga kaki Tante berpindah ke arah kepalaku.
“To, .. ayo cium, To..”katanya terengah. Sejenak aku bengong tak mengerti permintaannya.
“Kamu cium ini…” katanya kemudian sambil menunjuk ke selangkangannya. Okey, Tante, toh aku sudah sering mencium ‘rambut-rambut’ halusmu itu. Aku mulai mencium.
“Ke bawah lagi, dong To..” Ke bawah ? berarti disitunya ? Hal baru, kenapa tidak ?
Kucium tonjolan kecil yang sudah keras itu. Asin rasanya.
“Aaaaaaaahhhhhhhh, sedap To, terus…”
Kini lidahku yang menyapu-nyapu pintu dan tonjolan tadi
“Yaaaahhh. yaaaaaa…begitu enak…” katanya sambil mulutnya menyergap lagi batang kelaminku.
Ada cairan yang asin rasanya.
Di kemudian hari aku baru tahu bahwa yang sedang aku dan Tante lakukan sekarang ini namanya “posisi 69″
Dalam mengulum ini Tante pintar sekali, banyak variasinya. Keluar-masuk, kadang menyedot-nyedot, bermain lidah, sesekali menggigit (aku langsung teriak).
Akupun diajarinya bermain. Menggelitik ‘lubang’ dengan lidahku, menggigit kelentitnya (pelan, tentu saja), menyapu bibirku ke “bibir”nya.
Asyik juga bermain seperti ini. Masing-masing sibuk, masing-masing merasakan nikmatnya.
Entah sudah berapa lama kami bermain begini. Untung saja aku berhasil menahan diri untuk tidak keluar. Aku sekarang memiliki ketrampilan baru untuk mengontrol diri, mengatur diri kapan saatnya ‘keluar’. Kalau tidak, masa aku menyiram mulut Tante dengan maniku.
Sampai akhirnya….
“Ayo, To….sekarang.To….”
Aku memutar tubuhku, sementara Tante rebah terlentang membuka kakinya, siap menerima tusukanku.
Aku masuk dengan gemas.
Tante menerima dengan antusias.
Untuk kesekian kalinya kami saling menggenjot.
Bersama menuju puncak.
Berbarengan menggelepar.
Sudah itu
Sama-sama lemas
Sama-sama puas.
Oh, betapa bahagianya aku.
Kebutuhan lahir dan batin terpenuhi.
Kurang apa lagi ?
***
Tak ada yang kurang pada diri Tante. Cantik, putih, tubuh bagus, permainan di tempat tidur luar biasa, dan kreatif. Kreativitas Tante tercermin dari cara bersetubuh. Ada saja yang dilakukannya yang membuatku merasa bersetubuh dengan orang baru. Selalu ada hal baru dalam setiap permainannya. Sejak Tante memperkenalkan “posisi 69″, aku selalu minta dikulum penisku sebagai acara pembukaan. Tante juga amat menikmati permainan lidahku di vaginannya.
Seperti biasa sepulang sekolah aku mendekati Tante untuk melaksanakan ‘tugas’ rutin, bersetubuh.
Aku sudah membuka resleting celanaku, mengeluarkan penisku yang tegang di dekat Tante yang sedang duduk di tepi ranjang, masih berpakaian lengkap, di kamar Tante yang sudah kukunci. Yah, semacam pemberitahuan bahwa aku sudah siap. Tapi tante menyambut dengan dingin, tak seperti biasanya. Ia hanya mengelus-elus. Ketika dengan kurang ajar aku mendekatkan kelaminku ke mulutnya, ia hanya mengecup lembut kepalanya, tidak dikulum seperti biasanya, paling-paling hanya menggenggam.
“Tante engga bisa sekarang, To”
“Kenapa Tante ?”
“Tante lagi …itu..”
“Lagi apa, Tante ?”
“Lagi mens.”
“Mens ? Apa itu Tante ?”
“Kamu engga tahu ?”
“Bener, Tante. Saya sungguh engga tahu” Memang aku tidak tahu.
“Begini, setiap bulan wanita yang sudah dewasa mengalami masa menstruasi. Wanita yang normal pasti mengalami”
Lalu Tante memberiku kuliah tentang menstruasi itu. Bahkan ditunjukkannya kepadaku celana dalamnya yang berbalut itu.
“Kalau begitu, besok saja ya, Tante” pertanyaan bodoh memang.
“Engga bisa To. Masa mens biasanya sekitar seminggu. Tapi kalau Tante sekitar 4 – 5 hari.”
Wah, menunggu 4 – 5 hari, mana tahan ?
“Tapi Tante, saya ingin …”
“Engga, To. Sabar aja ya, yang…”
Aduh, pusing juga aku, keinginan sudah sampai ke kepala.
“Bagaimana kalau begini saja Tante..” Kataku sambil menempelkan penisku ke bibir Tante, minta dikulum.
“Engga bisa juga, To. Itu namanya kamu egois. Kamu bisa puas, tapi kalau Tante terangsang, gimana ?” Benar juga kata Tante.
“Maafkan saya, Tante. Saya sungguh-sungguh belum tahu” kataku sambil memeluknya dengan mesra.
“Engga apa-apa, To. Tante maklum”
Dimasukkannya penisku, celana dalamku dibetulkan letaknya, lalu ditutupnya resleting celanaku. Mesra sekali.
“Awas, ya. Jangan cari sasaran lain” katanya.
Kucium kedua belah pipi Tante, dengan mesra juga.
“Engga dong, Tante. Emangnya apaan.”
Ternyata ada yang belum aku ketahui tentang wanita
Sekarang masalahku, mana bisa aku menunggu 4 – 5 hari tanpa bersetubuh, setelah hampir tiap hari menikmati.
Pulang sekolah agak kaget aku mendapati Tante duduk di sofa, membaca. Kucium pipinya.
“Engga senam, ‘yang ?”
“Engga, lagi banyak-banyaknya”
“Apanya yang banyak ?”
“Ah, kamu. Ya mens-nya” Aku mengerti. Tapi berarti hilang juga kesempatanku siang ini menyatroni mBak Mar. Paling tidak aku harus menunggu 2 hari lagi, jadwal senam Tante berikutnya, atau menunggu sampai Tante “bersih”.
Malamnya, terkantuk-kantuk aku menunggu Oom Ton dan Tante masuk kamar. Pukul 10.15 mereka masih asyik menonton TV. Aku masuk kamar duluan, gelisah. Setengah jam berikutnya kudengar TV dimatikan, lampu tengah juga, lalu kudengar suara pintu ditutup dan dikunci.
***
Sengaja aku datang ke sekolah lebih pagi. Hari in ada ulangan Fisika dan aku merasa belum siap. Di rumah aku tak bisa konsentrasi belajar, ingatanku ke Tante melulu. Apalagi sekarang udah beberapa hari aku tak bersetubuh, pusing aku, mana bisa belajar di rumah. Pagi ini kesempatan terakhirku untuk belajar Fisika menghadapi ulangan nanti. Belum banyak kawan yang datang, cuma ada Tono, Edi dan Rika yang lagi ngrumpi. Dito belum nongol. Aku ambil bangku paling belakang, mojok, lalu mencoba berkonsentrasi. Lumayanlah dalam setengah jam aku bisa memecahkan soal-soal yang kuperkirakan akan keluar nanti. Juga beberapa rumus sempat “masuk’ ke otakku, sampai seseorang datang menghampiriku dengan senyuman yang amat manis. Yuli memang manis, apalagi kalau senyum. Masih ingat dengan Yuli, pembaca ? Yuli teman sekelasku yang kugambarkan badannya biasa-biasa saja, dadanya menonjol wajar dan wajahnya manis. Akhir-akhir ini kami makin akrab, sebatas dalam pelajaran lho! Sering saling meminjam buku catatan, diskusi soal-soal PR, atau cuma ngomongin guru-guru. Makin dekat kurasakan Yuli makin menarik, dadanya makin menonjol aja. Aku sudah berada di pelukan Tante sih, jadi aku kurang memperhatikan Yuli. Entah ini hanya ge-er saja, kulihat Yuli begitu ceria kalau berdekatan denganku.
“Rajin bener. belajar Fisika ya..?” tegurnya sambil duduk di sebelah kananku.
“Ah engga. Justru karena aku males, baru sempet belajar sekarang” sahutku
“Pinjam catatan Matematiknya dong Tar”
“Matematik ? Kan entar ulangan Fisika”
“Iyyaa. Tapi kemarin gua engga sempet nyatet jawaban soal kemarin”
Aku ulurkan buku Matematik, sambil memgang tangannya. Yuli membiarkan tanganku meremas tangannya, meskipun kemudian dia tarik tangannya, without any words. Tanda “penerimaan”. Tangannya halus bener .. Lalu dia dengan serius memelototi catatanku itu. Anak ini memang serius banget kalau belajar. Mataku tak lepas memperhatikannya. Dia mungkin tahu aku melihatnya, tapi pura-pura tidak tahu. Ah .. Ini dia. Di sela-sela kancing bajunya, aku sempat “mencuri” keindahan sebelah buah yang tumbuh di dadanya. Hanya sedikit sih, tapi cukup membuatku “berdiri”. Apalagi daging itu terlihat sedikit naik-turun seirama tarikan nafasnya. Ah seandainya ..khayalanku melayang tinggi. Kuperiksa keadaan sekeliling. Masih sepi, memang masih pagi sih. Hanya ada 2 kawan yang tadi, lagi asyik menulis. Sekaranglah waktunya! Toh 2 teman tadi menghadap ke depan kelas, tak akan melihat bila aku “menggarap” Yuli.
Segera saja tangan kananku merangkul bahu Yuli. Tak ada reaksi. Aksi kuteruskan dengan memegang dagu dan menariknya. Mata Yuli sedikit membelalak, agak kaget mungkin, tapi tak ada tanda-tanda penolakan. Ah. bibir merah membasah yang menggairahkan. Kucium bibirnya. Dan … Yuli membalas ganas ciumanku..!
Tanganku mulai membuka kancing baju putih itu, lalu empat jariku menyusup ke balik BH-nya. Halus, padat, dan lumayan besar. Aku meremas. Yuli melenguh. Jariku mencari-cari putingnya. Mengeras. Tangannya kepangkuanku. Meremas juga. Sambil masih berciuman, aku melirik dua temanku tadi, mereka masih tak acuh sibuk sendiri. Aman!
Bibirku menelusuri lehernya yang licin, terus kebawah. Kancing bajunya sudah terbuka semuanya. Kulepas baju seragamnya, lalu kudorong Yuli hingga rebah di bangku sekolah!
Aku menindihnya hingga tubuh kami “lenyap” dari pandangan teman-teman tadi kalau mereka menengok ke belakang. Kuciumi habis-habisan kedua bukit perawan itu. Aku yakin bukit kembar ini belum tersentuh oleh “pendaki” manapun. Keras, dan padat. Aku tak sanggup menahan lagi. Walaupun pakaianku masih lengkap nempel di badan, tapi meriamku sudah nongol tegak dari rits celana, siap. Kusingkap rok abu-abu itu jauh-jauh ke atas. Kupelorotkan celana dalam krem-nya…
Amboi … bulu-bulu halus, merata di seluruh permukaan kewanitaanya.. Luar biasa.. Masa aku kerjain di sini, di kelas ? Biar saja. Kalau nanti ketangkap basah gimana ? Peduli amat. Kalau sudah begini, mana bisa “delay”, apalagi “cancel”. Lagi pula Yuli sudah merintih-rintih sambil membuka pahanya agak lebar. We got the point no return!
Mulai sekarang ? Ya, tunggu apa lagi. BH-nya masih nempel. Biar saja, tak ada waktu lagi. Kutempatkan penisku ke “tempat yang layak”. Menyapu-nyapu sebentar di seputar pintu-basahnya, lalu mulai menusuk.
“Uuuuhhhhhh ..” Yuli melenguh.
Mentok. Padahal baru “kepala”ku yang tenggelam. Tusuk lagi dengan menambah tekanan.
“Aaaahhhhh .pelan ..pelan ..sakiiit…” Desahnya pelan dan terbata-bata.
Buset! Susah bener. Vagina yang satu ini sempit benar. Apa betul, Yuli masih perawan .? Mungkin juga. Sebab biasanya kalau sama Tante Yani tusukan begini sudah mampu mencapai “dasar”.
Aku tusuk lagi lebih kuat, bahkan sekuat tenagaku. Dan …..
“Heh! ngelamun aja!”kudengar suara agak membentak. Suara Yuli!
Aku tersadar.
Aku kembali ke alam nyata.
Kembali dari lamunan nakal.
Lamunan bersetubuh dengan gadis yang duduk di sebelahku ini.
Gadis yang baru saja mengagetanku!
Ah.sialan. Kenapa aku begini ?
Gara-gara mengintip sedikit buah Yuli, aku jadi melayang..
***
Hari berikutnya aku kurang beruntung. Tante ada di rumah mengajakku ngobrol. Hanya ngobrol. Sayang sekali tubuh molek ini belum bisa “dipakai”. Sembulan dada bagian atas Tante dan sedikit belahannya cukup membuatku kepingin.
“Tante…” panggilku dengan suara serak”
“Hmm ?”
“Saya pengin, Tante”
“Kamu itu, engga sabaran, engga pernah puas”
“Bukan begitu, Tante. Saya puas, puas sekali. Cuma ketagihan, habis enak sih. Udah biasa setiap hari…”
“Sabar, dong” katanya sambil menggenggam selangkanganku.
“Eh, udah keras..” katanya lagi.
“Iya, Tante. Saya siap setiap saat” kataku meniru iklan
“Dasar…….! Dua hari lagi”
“Lama bener..”
Besok siangnya lagi, ada kejutan baru untukku. Tidak bersetubuh sih, tapi menyenangkan.
Tante sedang duduk di sofa menyulam. Begitu datang aku langsung menyingkirkan kain sulamannya, lalu kucium pipi dan kemudian bibirnya. Aku langsung tahu bahwa dibalik gaun merah jambu, warna kesukaannya, Tante tak memakai BH.
“Mandi dulu sana, To”
“Udah bisa, Tante ?” tanyaku cerah.
“Ih, kesitu aja pikiranmu. Belum, belum bersih” jawabnya sambil menuntun tanganku ke bawah perutnya. Masih ada pembalut di sana.
“Jadi, gimana dong Tante” kuremas dadanya yang tak berkutang.
“Pokoknya kamu mandi dulu”
Aku mandi dan mengganti baju dengan penuh harap, barangkali ada kreativitas baru dari Tante.
Aku keluar kamar. Ini dia kejutannya. Tante masih duduk di situ, hanya kancing gaunnya telah dibuka sampai perut, mempertontonkan sepasang buah dada yang mengagumkan. Luar biasa. Berani benar Tante ini, bertelanjang dada di ruang tengah. Jelas belum bisa bersetubuh, tapi kelakuan Tante ini menandakan ada permainan apa lagi nih.
Langsung saja kuserbu buah dada itu.
“Eeeeehhhhmmmmmm” Dengan gemasnya aku mengacak-acak buah indah itu dengan mulut dan tanganku.
Belum puas aku bermain dengan dada, Tante mendorongku sampai aku berdiri di depannya. Lalu.Tante membuka kancing jeans-ku!
“Tante… Si Mar nanti…..”
“Engga ada, lagi pergi…”
Dibukanya resleting celanaku, diturunkannya celana dalamku, lalu dikeluarkannya penisku yang langsung tegang, digenggam pangkalnya, terus diciumi ‘kepala’-nya, lalu masuk mulutnya!
Ooooohhh, nikmat sekali permainan baru ini. Suasana baru. Bayangkan. Di ruang tengah, berdua masih berpakaian, aku hanya mengeluarkan kelaminku, Tante mengulumnya dengan bertelanjang dada! Oh, indahnya dunia ini.
“Ooohhhhhhhhh, Tante, …sedaaaaappp.”
Kepala Tante bergerak maju-mundur, sangat perlahan. Terasa sekali bibirnya menjepit dan bergerak menelusuri permukaan penisku.
“Tante..Tante…enaaaaaaaak, Tante..”
Tante terus saja. Tanganku dituntun ke buah dadanya. Aku sampai lupa diri tak berbuat apa-apa pada Tante. Habis sedap sekali sih!
Kedua tanganku meremasi sepasang buah kenyal itu. Tante terus bekerja. Geli, Tante…!
Ya, geli. Aku hampir ke puncak. Entah mengapa kali ini aku cepat mendaki. Mungkin karena pintarnya bibir dan lidah Tante merayapi permukaan kulit kelaminku, atau karena suasana yang aneh ini.
Aku tak mampu menahan lebih lama lagi.
Tante rupanya tahu kalau aku hampir sampai, ia mempercepat gerakannya. Bagaimana kalau keluar, aku tak tega kalau sampai menumpahi mulut Tante dengan spermaku.
Segera..ya..segera sampai….
Dilepasnya kulumannya, tangannya yang memegang sapu tangan secepat kilat menutupi kelaminku dan digenggam.
“Aaaaaaaaaahhhhhh” sambil berteriak aku muncrat. Sedaaaaaaap.
Tante meremas.
Muncrat lagi, enak, meremas lagi, muncrat, nikmat, remas, sedap, muncrat, remas….
Beberapa detik aku terbang, kakiku goyah, lalu mendarat ditubuh Tante. Kucium mulutnya. Masih ada muncratan lagi, tertampung di saputangan. Ada lagi, makin sedikit…..
Beberapa saat aku masih menubruk Tante, ia masih menggenggam dengan saputangan.
“Terima kasih, Tante…”
“Enak, To ?”
“Sedaaaaaaap, Tante. Tapi lebih nikmat ke sini…” jawabku sambil memegang benda yang masih berpembalut itu.
“Masih pusing ?”
“Hilang, Tante. Lepas sudah…” Keteganganku memang lepas.
“Tante sendiri, gimana dong, Tante ?”
“Engga apa-apa. Ini ‘kan cuma membantu kamu”
Kupeluk lagi Tante lebih erat. Aku makin sayang saja sama Tanteku ini.
“Terima kasih, Tante. Tarto makin sayang sama Tante” kataku jujur.
“Sudah, cuci dulu sana. Ih, banyaknya….”
“Iya, habis sudah tiga hari engga keluar.”.
***
Sejak peristiwa ‘penguluman di ruang tengah’ kemarin itu aku jadi makin berani ‘kurang ajar’ kepada Tante. Seperti siang ini. Waktu Tante sedang duduk membaca di ruang tengah, aku mendekatinya dari belakang dengan kelaminku sudah kukeluarkan, terjulur kutempelkan di pipi Tante.
“He, ngawur kamu.!” Tante kaget. Ditariknya punyaku.
“Aauuu” aku teriak.
“Masukkin, engga aman!”
“Iya Tante, saya tahu. Cuma bercanda”
Di hari berikutnya Tante membalas.
Sewaktu aku sedang makan siang sendiri, Tante mendekatiku, sangat dekat sehingga perutnya hanya berjarak beberapa senti dari pipiku. Kucium bawah perutnya. Lalu Tante meraih tanganku, dimasukkan ke balik gaunnya, langsung vaginanya terpegang. Tak ada celana dalam di balik gaun Tante.
“Sudah bersih, Tante ?”
“Sudah..”
Kuangkat gaun itu sehingga ‘rambut’ yang menggemaskan itu nampak. Aku langsung tegang, berarti siang ini bisa. Aku langsung berdiri meninggalkan makanku, memeluknya.
“Tunggu dulu” kata Tante sambil mendorongku terduduk kembali.
“Kali ini Oommu dulu, ya..” Katanya sambil meninggalkanku masuk ke kamarnya. Kurang ajar! Oom Ton ada di kamar. Seharusnya aku tahu, mobilnya ada di garasi. Tante masih sempat melihatku sambil tersenyum, sebelum ia mengunci kamar.
Aku makin tegang ketika setengah jam kemudian lamat-lamat mendengar suara erangan Tante dari kamar..
Aku masuk kamar, tak tahan di situ.
Tante sudah selesai mens-nya, seharusnya siang ini ia milikku. Tapi Oom Ton merebutnya. Merebut ? Memang Oom Ton pemilik sah.
Aku gagal mencoba berkonsentrasi membaca Fisika, besok ulangan. Bayangan Tante disetubuhi suaminya yang muncul. Ah, sialan..
Setelah mencoba menyadari posisiku, aku jadi agak tenang. Aku ‘kan hanya kemenakannya yang dibantu, lahir dan batin, kenapa musti sewot ? Kelaminku mulai surut.
Tapi itu tak lama.
Tiba-tiba Tante masuk, langsung mengunci pintu kamarku. Disodorkan buah dadanya ke mulutku. Buah itu masih berkeringat, juga wajahnya. Tak peduli. Aku serbu dada itu, masih duduk di kursi belajarku. Kelaminku langsung membesar lagi. Tante dengan tergopoh-gopoh membuka resleting celanaku, mengeluarkan isinya yang sudah keras menjulang. Ia melangkah naik ke pahaku. Mengarahkan kelaminku ke vaginanya, dan….blessss aku langsung masuk…! Gila! Tanpa pemanasan dulu Tante langsung main. Di kursi lagi. Untung aku cepat siap. Jadilah kami ‘berkudaan’ di kursi. Tante semangat sekali nampaknya. Dengan posisi berpangku berhadapan ia di atas, Tante leluasa mengeksplorasi penisku. Aku lebih pasif. Hanya kadang-kadang saja menusuk, soalnya berat, harus mengangkat tubuhnya dengan pinggulku.
Edan! Setengah jam yang lalu aku mendengar Tante mengerang di kamarnya bersama Oom Ton, sekarang ia berkudaan denganku, sementara suaminya (mungkin) sedang pulas di kamar sebelah!
Seakan ia tak ada puasnya. Atau jangan-jangan ia belum puas dengan suaminya lantas melanjutkan di sini ? Hanya Tante yang tahu. Betapa trampilnya ia menggenjot. Vaginanya begitu menjepit dan mengurut penisku, berulang-ulang. Begitu rupa ia menstimulasi kelaminku, membuat aku cepat naik. Geli sekali. Makin cepat dia, makin geli aku. Tiba-tiba tangannya mencekram kepalaku kuat sekali. Tubuhnya bergetar hebat, mengejang. Di dalam sana berdenyut-denyut. Bahuku digigitnya. Getaran tubuhnya makin hebat, lalu mendadak berhenti menggenjot. Mengerang. Tante sedang melayang di puncak..
Akupun hampir sampai. Aku sekarang yang menggenjot. Tante teriak. Vaginanya menjepitku teratur menandakan Tante telah orgasme. Aku tak peduli, sebab aku belum, cuma hampir sampai, terus menggenjot. Tante masih mencekeram erat, secara pasif mengikuti gerakan tusukanku yang naik-turun, lalu…akupun mengejang, melepas. Heran, Tante mengerang lagi, seharusnya aku yang teriak. Tante ikut menikmati ejakulasiku.
Sejurus kemudian kami diam, masih berpelukan, Tante belum mencabut. Hanya nafas kami berdua yang masih berkejaran.
“Tante hebat…” aku membuka percakapan
“Apanya yang hebat, justru kamu yang hebat. Tante tadi ‘kan duluan”
“Ah, kita hampir bersamaan kok tadi”
“Jadi apa maksudmu hebat”
“Tante bisa dua kali berturutan”
“Ooh itu, engga juga sih..”
“Tadi saya mendengar, waktu Tante sama Oom”
“Ah, masa.?”
“Iya, Tante mengerang, saya jadi ngiri.”
“Kan kamu dapat juga”
“Itulah makanya Tante bisa dua kali”
“Kamu juga bisa dua kali, waktu malam itu.”
“Iya, tapi ‘kan ada jarak waktu”
“Sebenarnya Tante tadi cuma sekali”
“Yang benar, Tante. Barusan Tante ‘kan sampai puncak..”
“Iya. Cuma itu. Sama kamu”
“Tadi sama Oom..” aku mulai menyelidik tentan hubungan Oom dan Tanteku ini.
Tante diam saja.
“Kok diam, Tante” aku benar-benar ingin tahu.
“Ini kan masalah Tante dengan Oom-mu, rahasia dong”
“Please, Tante, cerita dong. Tante kan isteri ku juga” buah dadanya kucium, putingnya masih keras.
“Kamu engga usah tahu”
“Ayolah, Tante”
Tante diam lagi agak lama. Lalu….
“Sama Oommu Tante belum sampai …..” Kaget juga aku. Jadi, tak berhasil orgasme dengan suaminya lalu melanjutkan denganku.
“Ah masa, Tante”
“Itulah kenyataannya, To. Oom-mu engga bisa memuaskan Tante”
Mungkin inilah sebabnya, Tante tiap siang tak menolak aku setubuhi, bahkan menikmati.
“Pantesan……”
“Pantesan apa ?” tanya Tante
“Tadi Tante langsung masuk, engga pemanasan dulu”
“Tante tadi senewen, To. Ada rasa menggantung, ada yang harus dituntaskan”
“Untung saya tadi udah siap”
“Sory ya To…”
“Engga apa-apa, Tante. Saya tadi juga puas. Cuma lebih nikmat kalau pemanasan dulu”
“Kamu harus mulai terbiasa begini, To. Seperti yang Tante bilang dulu, Tante butuh kamu. Jangan kaget kalau tiba-tiba Tante pengin. Tante harus mencapai orgasme. Kalau tidak Tante bisa gila..”
“Saya siap, Tante, Betul. Kapanpun Tante butuh saya, silakan saja Tante. Saya juga menikmatinya, Tante. Tanpa pemanasanpun saya engga apa-apa. Tadi saya bilang begitu, itu hanya akan lebih nikmat kalau dengan pemanasan. Kalau tidakpun engga apa-apa”
“Syukurlah, To. Pemanasan gimana yang kamu inginkan, To ?”
“Seperti inilah Tante” jawabku sambil menciumi dadanya.
“Itu kalau kita sempat. Kalau kaya tadi, gimana ?” tanyanya lagi.
“Kan saya siap, Tante”
“Iya sih. Maksud Tante supaya kamu lebih nikmat, kamu perlu pemanasan”
“Yang biasanya kita lakukan sudah dengan pemanasan ‘kan. Cuma tadi saja, yang tidak” jawabku sekenanya. Pertanyaan Tante sulit kujawab.
“Waktu kamu denger Tante sama Oom tadi, kamu gimana”
“Saya terangsang, Tante”
“Okey, Tante ada ide buat pemanasan kamu, To. Tapi ide gila, mungkin”
“Silakan, Tante. Saya senang sekali. Tante kreatif, saya menikmatinya”
‘Jangan kaget, ya. Kamu tahu kamar si Luki ?”
“Tahu Tante” kamar Luki bersebelahan dengan kamar Tante.
“Disitu kan ada pintu yang tembus ke kamar Tante”
“Saya engga perhatikan, Tante”
“Kalau kunci pintu itu Tante cabut, kamu bisa lihat ke kamar Tante dari lubangnya….kamu ngerti apa yang Tante maksud ?”
“Belum, Tante”
“Lubang kunci itu lurus ke tempat tidur..”
Amboi. Berarti, kalau aku mengintip lewat lubang itu, aku bisa lihat kejadian tempat tidur Tante. Hubungannya dengan pemanasan, berarti….hebat, ide yang hebat. Kucium bibir Tante dengan gemas.
“Ide brilian! Setuju banget tante!” kataku gembira.
“Ntar dulu, setuju apa ?”
“Aku akan mengintip Tante sama Oom, sebagai pemanasan”
“Kamu cerdas. Menurut kamu ini gila, engga”
“Engga! Saya mau Tante. Kita coba nanti malam ya.?”
“Semangat banget”
“Pengalaman baru” Aku sangat ingin melihat bagaimana Tante melayani Oom, bagaimana permainan Oom Ton!
Tante diam lagi. Hanya sekejap, lalu.
“To, Tante ingin main sama kamu di tempat terbuka…” kaget lagi aku. Tempat terbuka ? Aneh. Ini sih hebat banget. Aku ingat kemarin, Tante mengulumiku di ruang tengah. Nikmat.
“Ide Tante memang hebat-hebat. Saya suka Tante. Tapi aman engga ?
“Itu masalahnya”
“Kita cari kesempatan, Tante. Pasti nikmat deh”
Tante pelan-pelan bangkit, melepas.
“Eeeeeeeeeehhhhhhhhh” lenguhnya mengiringi pencabutan ini.
Di pintu kamarku Tante nengok kanan-kiri sebelum keluar. Aku ke kamar mandi.
Selesai dari kamar mandi aku lihat kamar Luki, kosong. Luki sedang dibawa pengasuhnya keluar. Pelan-pelan aku masuk, hati-hati pintunya kukunci. Ini dia pintu penghubung tadi. Aku mengintip. Tak melihat apa-apa, kuncinya masih menggantung. Aku kecewa. Kuncinya hanya bisa dicabut dari arah kamar Tante. Ia harus membantuku. Aku mencari Tante, lagi di kamarnya. Lebih baik aku makan dulu sambil menunggu Tante keluar.
Benar, Tante keluar, segar sekali nampaknya.
“Tante, cabut dulu kuncinya, saya mau coba” bisikku. Tante tersenyum, masuk lagi ke kamarnya.
Dari lubang kunci di kamar Luki aku bisa melihat dengan jelas dari arah kaki, Oom sedang tidur pulas, hanya bercelana tidur. Kubayangkan, dari arah bawah ini aku akan bisa lihat kelamin mereka berdua, baik posisi ‘biasa’, Tante di bawah, atau Tante di atas. Kecuali kalau mereka memutar posisi dengan kakinya ke arah bantal, aku hanya bisa melihat kepala mereka, paling-paling dada Tante.
***
Malam itu sekitar pukul 10, aku sudah berada dalam kamar Luki yang sudah pulas. Dari lubang kunci aku lihat mereka sedang membaca. Hanya sekali-sekali mereka bicara. Oom Ton mengenakan pakaian tidur lengkap, Tante memakai daster. Aku menyadari sebenarnya berbahaya aku disini. Bisa saja tiba-tiba Oom membuka pintu ini untuk melihat anaknya. Jadi setiap Oom bangkit, aku harus siap-siap. Kalau Tante sih, aku engga perlu bereaksi. Tegang juga aku.
Ah, ternyata Tante juga berpakaian ‘lengkap’. Sekarang aku bisa dengan jelas melihat celana dalam merah jambu itu, karena Tante mengangkat sebelah kakinya. Kecil kemungkinannya mereka akan main malam ini. Setengah jam aku capek menunggu, Oom mematikan lampu baca, lalu tidur. Kamar itu walaupun hanya diterangi lampu tidur, tapi cukup jelas aku bisa melihat tubuh mereka.
Dengan kecewa aku kembali ke kamar dan tidur….
Esok siangnya, ketika kami baru saja melaksanakan ‘tugas’ nikmat dan masih terlentang berdua tanpa busana, kutanyakan pada Tante tentang semalam aku tak jadi menyaksikan ‘pertunjukan’ Tante dan Oom main.
“Yaa.itulah To, Oom-mu memang jarang meminta, paling dua kali atau bahkan cuma sekali seminggu. Makanya Tante butuh ini” jawabnya sambil mencekal kelaminku.
“Kenapa engga Tante yang minta”
“Ah, Tante ‘kan melayani Oom-mu”
“Tak ada salahnya Tante yang mulai”
“Betul, memang. Tapi, sering Tante malah kecewa. Oom-mu kan hobinya kerja, jadi mungkin capek. Lebih baik Oom-mu yang mulai, itu artinya dia betul-betul butuh”
“Sayang, memiliki badan sebagus ini tak optimal dimanfaatkan” kataku sambil mengelus buah dadanya. Tak bosan-bosannya aku pada buah kembar yang indah ini.
“Sekarang sudah optimal”
“Ya. Dan sayalah yang beruntung”
“Tante juga beruntung punya kamu”
Kamipun berpelukan erat. Kalau sudah begini, aku bisa lupa semuanya. Lupa pada Yuli, Rika, atau mBak Mar.
Aku berguling, jadi menindihnya.

Pahaku mendesak di antara pahanya.
Penisku mencari-cari.
Dan….aku masuk lagi.
“Heeeeh!’ Tante teriak kaget.
Aku mendorong.
“Eeeeeeeehhhhhh” lenguhnya. Sekarang ia tak kaget lagi.
Aku menarik dan mendorong.
Aku menikmati.
Tante juga.
Aku tak ingat bahwa ia tanteku.
Tante lupa bahwa aku kemenakannya.
Bahkan lupa bahwa kami berdua manusia.
Begitu ‘gila’nya kami bermain, kami lebih mirip hewan.
Hewan yang sedang menikmati reproduksi.
Reproduksi bukan untuk mendapatkan keturunan, cuma untuk kenikmatan.
Dan..kenikmatan kami dapatkan secara bersamaan.
Gila! Sesiang ini kami telah dua kali bersetubuh!
Memang edan.
“Edan kamu, To…” komentar sesudahnya.
“Supaya optimal, Tante..” komentarku juga.

Kurasakan bagian dalam vaginanya berdenyut-denyut meremas penisku. Permainan yang melelahkan. Aku jadi lemas, penisku jadi pegal. Pegal-pegal nikmat ….!

Nah itulah cerita panas dewasa yang bisa saya berikan kepada anda semua dan sekedar tambahan jika ada kesamaan nama serta tempat kejadian itu hanyalah kebetulan saja serta baca juga artikel yang lain dari berita terbaru yang tidak kalah serunya yaitu cerita dewasa tante girang sekian dan terima kasih.

Untuk Melihat Video Selengkapnya Klik Dibawah Ini :
Posted By : www.tugupoker.net

NUSABET

Bandar Bola Terbaik - Pembantu Pura Pura Tidur Rupanya Minta Di Entot

Bandar Bola Terbaik - Pembantu Pura Pura Tidur Rupanya Minta Di Entot - Aku seorang pedagang umur 35 tahun, istriku 32 tahun guru SMA. kisa...

NUSABET