Agen Ceme Terbaik - Main Dengan Tante Bahenol Yang Sangat Montok - Cerita seks ini adalah sebuah pengalaman sekaligus jalan
hidupku yang penuh liku. Aku yang saat itu masih smp dan ingin sekolah
dijakarta ternyata diijinkan oleh kedua orang tuaku. Akhirnya aku pergi
kerumah tanteku yang ada di jakarta. Saat didesa dulu aku tidak pernah
tahu tentang apa itu seks dan cerita seks. Tapi saat beranjak dewasa aku
mulai tahu tentang banyak hal tentang seks dirumah tanteku yani. Mulai
dari majalah porno, video bokep sampai dengan foto-foto cewek bugil
semua aku tahu.
Agen Ceme Terpercaya - Memang saat dijakarta menjadi sebuah kenangan manis sekaligus
kenakalan masa remajaku. mulai tahu ngentot dan belajar ngentot sama
perawan maupun ngentot sama tante girang. Sudah berpuluh-puluh kali aq
ngentot sama tante girang dan semua berakhir dengan kontolku yang lemas
gemulai. Tapi gapapa deh yang penting aku puas. Eh kok ngalor ngidul ga
jelas.
Aku ke Jakarta atas seizin orang tuaku, bahkan merekalah yang
mendorongnya. Pada mulanya aku sebenarnya enggan meninggalkan
keluargaku, tapi ayahku menginginkan aku untuk melanjutkan sekolah ke
STM. Aku lebih suka kerja saja di Purwokerto. Aku menerima usulan ayahku
asalkan sekolah di SMA (sekarang SMU) dan tidak di kampung. Dia memberi
alamat adik misannya yang telah sukses dan tinggal di bilangan Tebet,
Jakarta. Ayahku sangat jarang berhubungan dengan adik misannya itu.
Paling hanya beberapa kali melalui surat, karena telepon belum masuk ke
desaku. Kabar terakhir yang aku dengar dari ayahku, adik misannya itu,
sebut saja Oom Ton, punya usaha sendiri dan sukses, sudah berkeluarga
dengan satu anak lelaki umur 4 tahun dan berkecukupan. Rumahnya lumayan
besar. Jadi, dengan berbekal alamat, dua pasang pakaian, dan uang
sekedarnya, aku berangkat ke Jakarta. Satu-satunya petunjuk yang aku
punyai: naik KA pagi dari Purwokerto dan turun di stasiun Manggarai.
Tebet tak jauh dari stasiun ini.
Stasiun Manggarai, pukul 15.20 siang aku dicekam kebingungan. Begitu
banyak manusia dan kendaraan berlalu lalang, sangat jauh berbeda dengan
suasana desaku yang sepi dan hening. Singkat cerita, setelah ?berjuang?
hampir 3 jam, tanya ke sana kemari, dua kali naik mikrolet (sekali salah
naik), sekali naik ojek yang mahalnya bukan main, sampailah aku pada
sebuah rumah besar dengan taman yang asri yang cocok dengan alamat yang
kubawa.
Berdebar-debar aku masuki pintu pagar yang sedikit terbuka, ketok
pintu dan menunggu. Seorang wanita muda, berkulit bersih, dan .. ya
ampun, menurutku cantik sekali (mungkin di desaku tidak ada wanita
cantik), berdiri di depanku memandang dengan sedikit curiga. Setelah aku
jelaskan asal-usulku, wajahnya berubah cerah. ?Tarto, ya ? Ayo masuk,
masuk. Kenalkan, saya Tantemu.? Dengan gugup aku menyambut tangannya
yang terjulur. Tangan itu halus sekali. ?Tadinya Oom Ton mau jemput ke
Manggarai, tapi ada acara mendadak. Tante engga sangka kamu sudah
sebesar ini. Naik apa tadi, nyasar, ya ?? Cecarnya dengan ramah. ?Maaar,
bikin minuman!? teriaknya kemudian. Tak berapa lama datang seorang
wanita muda meletakkan minuman ke meja dengan penuh hormat. Wanita ini
ternyata pembantu, aku kira keponakan atau anggota keluarga lainnya,
sebab terlalu ?trendy? gaya pakaiannya untuk seorang pembantu.
Sungguh aku tak menduga sambutan yang begitu ramah. Menurut cerita
yang aku dengar, orang Jakarta terkenal individualis, tidak ramah dengan
orang asing, antar tetangga tak saling kenal. Tapi wanita tadi, isteri
Oomku, Tante Yani namanya (?Panggil saja Tante,? katanya akrab) ramah,
cantik lagi. Tentu karena aku sudah dikenalkannya oleh Oom Ton.
Aku diberi kamar sendiri, walaupun agak di belakang tapi masih di
rumah utama, dekat dengan ruang keluarga. Kamarku ada AC-nya, memang
seluruh ruang yang ada di rumah utama ber-AC. Ini suatu kemewahan
bagiku. Dipanku ada kasur yang empuk dan selimut tebal. Walaupun AC-nya
cukup dingin, rasanya aku tak memerlukan selimut tebal itu. Mungkin aku
cukup menggunakan sprei putih tipis yang di lemari itu untuk selimut.
Rumah di desaku cukup dingin karena letaknya di kaki gunung, aku tak
pernah pakai selimut, tidur di dipan kayu hanya beralas tikar. Aku
diberi ?kewenangan? untuk mengatur kamarku sendiri.
Aku masih merasa canggung berada di rumah mewah ini. Petang itu aku
tak tahu apa yang musti kukerjakan. Selesai beres-beres kamar, aku hanya
bengong saja di kamar. ?Too, sini, jangan ngumpet aja di kamar,? Tante
memanggilku. Aku ke ruang keluarga. Tante sedang duduk di sofa nonton
TV. ?Sudah lapar, To ?? ?Belum Tante.? Sore tadi aku makan kue-kue yang
disediakan Si Mar. ?Kita nunggu Oom Ton ya, nanti kita makan malam
bersama-sama.? Oom Ton pulang kantor sekitar jam 19 lewat. ?Selamat
malam, Oom,? sapaku. ?Eh, Ini Tarto ? Udah gede kamu.? ?Iya Oom.?
?Gimana kabarnya Mas Kardi dan Yu Siti,? Oom menanyakan ayah dan ibuku.
?Baik-baik saja Oom.? Di meja makan Oom banyak bercerita tentang rencana
sekolahku di Jakarta. Aku akan didaftarkan ke SMA Negeri yang dekat
rumah. Aku juga diminta untuk menjaga rumah sebab Oom kadang-kadang
harus ke Bandung atau Surabaya mengurusi bisnisnya. ?Iya, saya
kadang-kadang takut juga engga ada laki-laki di rumah,? timpal Tante.
?Berapa umurmu sekarang, To ?? ?Dua bulan lagi saya 16 tahun, Oom.?
?Badanmu engga sesuai umurmu.?
Hari-hari baruku dimulai. Aku diterima di SMA Negeri 26 Tebet, tak
jauh dari rumah Oom dan Tanteku. Ke sekolah cukup berjalan kaki. Aku
memang belum sepenuhnya dapat melepas kecanggunganku. Bayangkan, orang
udik yang kuper tamatan ST (setingkat SLTP) sekarang sekolah di SMA
metropolitan. Kawan sekolah yang biasanya lelaki melulu, kini banyak
teman wanita, dan beberapa diantaranya cantik-cantik. Cantik ? Ya, sejak
aku di Jakarta ini jadi tahu mana wanita yang dianggap cantik, tentunya
menurut ukuranku. Dan tanteku, Tante Yani, isteri Oom Ton menurutku
paling cantik, dibandingkan dengan kawan-kawan sekolahku, dibanding
dengan tante sebelah kiri rumah, atau gadis (mahasiswi ?) tiga rumah ke
kanan. Cepat-cepat kuusir bayangan wajah tanteku yang tiba-tiba muncul.
Tak baik membayangkan wajah tante sendiri. Pada umumnya teman-teman
sekolahku baik, walaupun kadang-kadang mereka memanggilku ?Jawa?, atau
meledek cara bicaraku yang mereka sebut ?medok?. Tak apalah, tapi saya
minta mereka panggil saja Tarto. Alasanku, kalau memanggil ?Jawa?, toh
orang Jawa di sekolah itu bukan hanya aku. Mereka akhirnya mau menerima
usulanku. Terus terang aku di kelas menjadi cepat populer, bukan karena
aku pandai bergaul. Dibandingkan teman satu kelas tubuhku paling tinggi
dan paling besar. Bukan sombong, aku juga termasuk murid yang pintar.
Aku memang serius kalau belajar, kegemaranku membaca menunjang
pengetahuanku.
Kegemaranku membaca inilah yang mendorongku bongkar-bongkar isi rak
buku di kamarku di suatu siang pulang sekolah. Rak buku ini milik Oom
Ton. Nah, di antara tumpukan buku, aku menemukan selembar majalah
bergambar, namanya Popular.
Rupanya penemuan majalah inilah merupakan titik awalku belajar
mandiri tentang wanita. Tidak sendiri sebetulnya, sebab ada ?guru? yang
diam-diam membimbingku. Kelak di kemudian hari aku baru tahu tentang
?guru? itu.
Majalah itu banyak memuat gambar-gambar wanita yang bagus, maksudnya
bagus kualitas fotonya dan modelnya. Dengan berdebar-debar satu-persatu
kutelusuri halaman demi halaman. Ini memang majalah hiburan khusus pria.
Semua model yang nampang di majalah itu pakaiannya terbuka dan seronok.
Ada yang pakai rok demikian pendeknya sehingga hampir seluruh pahanya
terlihat, dan mulus. Ada yang pakai blus rendah dan membungkuk
memperlihatkan bagian belahan buah dada. Dan, ini yang membuat jantungku
keras berdegup : memakai T-shirt yang basah karena disiram, sementara
dalamnya tidak ada apa-apa lagi. Samar-samar bentuk sepasang buah kembar
kelihatan. Oh, begini tho bentuk tubuh wanita. Dasarnya aku sangat
jarang ketemu wanita. Kalau ketemu-pun wanita desa atau embok-embok, dan
yang aku lihat hanya bagian wajah. Bagaimana aku tidak deg-deg-an baru
pertama kali melihat gambar tubuh wanita, walaupun hanya gambar paha dan
sebagian atas dada.
Sejak ketemu majalah Popular itu aku jadi lain jika memandang wanita
teman kelasku. Tidak hanya wajahnya yang kulihat, tapi kaki, paha dan
dadanya ?kuteliti?. Si Rika yang selama ini aku nilai wajahnya lumayan
dan putih, kalau ia duduk menyilangkan kakinya ternyata memiliki paha
mulus agak mirip foto di majalah itu. Memang hanya sebagian paha bawah
saja yang kelihatan, tapi cukup membuatku tegang. Ya tegang. ?Adikku?
jadi keras! Sebetulnya penisku menjadi tegang itu sudah biasa setiap
pagi. Tapi ini tegang karena melihat paha mulus Rika adalah pengalaman
baru bagiku. Sayangnya dada Rika tipis-tipis saja. Yang dadanya besar si
Ani, demikian menonjol ke depan. Memang ia sedikit agak gemuk. Aku
sering mencuri pandang ke belahan kemejanya. Dari samping terkadang
terbuka sedikit memperlihatkan bagian dadanya di sebelah kutang. Walau
terlihat sedikit cukup membuatku ?ngaceng?. Sayangnya, kaki Ani tak
begitu bagus, agak besar. Aku lalu membayangkan bagaimana bentuk dada
Ani seutuhnya, ah ngaceng lagi! Atau si Yuli. Badannya biasa-biasa saja,
paha dan kaki lumayan berbentuk, dadanya menonjol wajar, tapi aku
senang melihat wajahnya yang manis, apalagi senyumnya. Satu lagi, kalau
ia bercerita, tangannya ikut ?sibuk?. Maksudku kadang mencubit, menepuk,
memukul, dan, ini dia, semua roknya berpotongan agak pendek. Ah, aku
sekarang punya ?wawasan? lain kalau memandang teman-teman cewe.
Ah! Tante Yani! Ya, kenapa selama ini aku belum ?melihat dengan cara
lain?? Mungkin karena ia isteri Oomku, orang yang aku hormati, yang
membiayai hidupku, sekolahku. Mana berani aku ?menggodanya? meskipun
hanya dari cara memandang. Sampai detik ini aku melihat Tante Yani
sebagai : wajahnya putih bersih dan cantik. Tapi dasar setan selalu
menggoda manusia, bagaimana tubuhnya ? Ah, aku jadi pengin cepat-cepat
pulang sekolah untuk ?meneliti? Tanteku. Jangan ah, aku menghormati
Tanteku.
Aduh! Kenapa begini ? Apanya yang begini ? Tante Yani! Seperti biasa,
kalau pulang aku masuk dari pintu pagar langsung ke garasi, lalu masuk
dari pintu samping rumah ke ruang keluarga di tengah-tengah rumah.
Melewati ruang keluarga, sedikit ke belakang sampai ke kamarku. Isi
ruang keluarga ini dapat kugambarkan : di tengahnya terhampar karpet
tebal yang empuk yang biasa digunakan tante untuk membaca sambil
rebahan, atau sedang dipijit Si Mar kalau habis senam. Agak di belakang
ada satu set sofa dan pesawat TV di seberangnya. Sewaktu melewati ruang
keluarga, aku menjumpai Tante Yani duduk di kursi dekat TV menyilang
kaki sedang menyulam, berpakaian model kimono. Duduknya persis si Rika
tadi pagi, cuma kaki Tante jauh lebih indah dari Rika. Putih, bersih,
panjang, di betis bawahnya dihiasi bulu-bulu halus ke atas sampai paha.
Ya, paha, dengan cara duduk menyilang, tanpa disadari Tante belahan
kimononya tersingkap hingga ke bagian paha agak atas. Tanpa sengaja pula
aku jadi tahu bahwa tante memiliki paha selain putih bersih juga
berbulu lembut. Sejenak aku terpana, dan lagi-lagi tegang. Untung aku
cepat sadar dan untung lagi Tante begitu asyik menyulam sehingga tidak
melihat ulah keponakannya yang dengan kurang ajar ?memeriksa? pahanya.
Ah, kacau.
Sebenarnya tidak sekali ini aku melihat Tante memakai kimono. Kenapa
aku tadi terangsang mungkin karena ?penghayatan? yang lain, gara-gara
majalah itu. Selesai makan ada dorongan aku ingin ke ruang tengah,
meneruskan ?penelitianku? tadi. Aku ada alasan lain tentu saja, nonton
TV swasta, hal baru bagiku. Mungkin aku mulai kurang ajar : mengambil
posisi duduk di sofa nonton TV tepat di depan Tante, searah-pandang
kalau mengamati pahanya! ?Gimana sekolahmu tadi To ?? tanya Tante
tiba-tiba yang sempat membuatku kaget sebab sedang memperhatikan
bulu-bulu kakinya. ?Biasa-biasa saja Tante.? ?Biasa gimana ? Ada
kesulitan engga ?? ?Engga Tante.? ?Udah banyak dapat kawan ?? ?Banyak,
kawan sekelas.? ?Kalau kamu pengin main lihat-lihat kota, silakan aja.?
?Terima kasih, Tante. Saya belum hafal angkutannya.? ?Harus dicoba, yah
nyasar-nyasar dikit engga apa-apa, toh kamu tahu jalan pulang.? ?Iya
Tante, mungkin hari Minggu saya akan coba.? ?Kalau perlu apa-apa, uang
jajan misalnya atau perlu beli apa, ngomong aja sama Tante, engga usah
malu-malu.? Gimana kurang baiknya Tanteku ini, keponakannya saja yang
nakal. Nakal ? Ah ?kan cuma dalam pikiran saja, lagi pula hanya
?meneliti? kaki yang tanpa sengaja terlihat, apa salahnya. ?Terima kasih
Tante, uang yang kemarin masih ada kok.? ?Emang kamu engga jajan di
sekolah ?? Berdesir darahku. Sambil mengucapkan ?jajan? tadi Tante
mengubah posisi kakinya sehingga sekejap, tak sampai sedetik, sempat
terlihat warna merah jambu celana dalamnya! Aku berusaha keras
menenangkan diri. ?Jajan juga sih, hanya minuman dan makanan kecil.?
Akupun ikut-ikutan mengubah posisi, ada sesuatu yang mengganjal di dalam
celanaku. Untung Tante tidak memperhatikan perubahan wajahku. Sepanjang
siang ini aku bukannya nonton TV. Mataku lebih sering ke arah Tante,
terutama bagian bawahnya!
Hari-hari berikutnya tak ada kejadian istimewa. Rutin saja, sekolah,
makan siang, nonton TV, sesekali melirik kaki Tante. Oom Ton pulang
kantor selalu malam hari. Saat ketemu Oomku hanya pada makan malam,
bertiga. Si Luki, anak lelakinya 4 tahun biasanya sudah tidur. Kalau
Luki sudah tidur, Tinah, pengasuhnya pamitan pulang. Pada acara makan
malam ini, sebetulnya aku punya kesempatan untuk menikmati? (cuma dengan
mata) paha mulus berbulu Tante, sebab malam ini ia memakai rok pendek,
biasanya memakai daster. Tapi mana berani aku menatap pemandangan indah
ini di depan Oom. Betapa bahagianya mereka menurut pandanganku. Oom
tamat sekolahnya, punya usaha sendiri yang sukses, punya isteri yang
cantik, putih, mulus. Anak hanya satu. Punya sopir, seorang pembantu, Si
Mar dan seorang baby sitter Si Tinah. Sopir dan baby sitter tidak
menginap, hanya pembantu yang punya kamar di belakang. Praktis Tante
Yani banyak waktu luang. Anak ada yang mengasuh, pekerjaan rumah tangga
beres ditangan pembantu. Oh ya, ada seorang lagi, pengurus taman biasa
di panggil Mang Karna, sudah agak tua yang datang sewaktu-waktu, tidak
tiap hari.
Keesokkan harinya ada kejadian ?penting? yang perlu kuceritakan.
Pagi-pagi ketika aku sedang menyusun buku-buku yang akan kubawa ke
sekolah, ada beberapa lembar halaman yang mungkin lepasan atau sobekan
dari majalah luar negeri terselip di antara buku-buku pelajaranku. Aku
belum sempat mengamati lembaran itu, karena buru-buru mau berangkat
takut telat. Di sekolah pikiranku sempat terganggu ingat sobekan majalah
berbahasa Inggris itu, milik siapa ? Tadi pagi sekilas kulihat ada
gambarnya wanita hanya memakai celana jean tak berbaju. Inilah yang
mengganggu pikiranku. Sempat kubayangkan, bagaimana kalau Ani hanya
memakai jean. Kaki dan pahanya yang kurang bagus tertutup, sementara
bulatan dadanya yang besar terlihat jelas. Ah.. nakal kamu To!
Pulang sekolah tidak seperti biasa aku tidak langsung ke meja makan,
tapi ngumpet di kamarku. Pintu kamar kukunci dan mulai mengamati sobekan
majalah itu. Ada 4 lembar, kebanyakan tulisan yang tentu saja tidak
kubaca. Aku belum paham Bahasa Inggris. Di setiap pojok bawah lembaran
itu tertulis: Penthouse. Langsung saja ke gambar. Gemetaran aku
dibuatnya. Wanita bule, berpose membusungkan dadanya yang besar, putih,
mulus, dan terbuka seluruhnya! Paha dan kakinya meskipun tertutup jean
ketat, tapi punya bentuk yang indah, panjang, persis kaki milik Tante.
Hah, kenapa aku jadi membandingkan dengan tubuh Tante ? Peduli amat,
tapi itulah yang terbayang. Kenapa aku sebut kejadian penting, karena
baru sekaranglah aku tahu bentuk utuh sepasang buah dada, meskipun hanya
dari foto. Bulat, di tengah ada bulatan kecil warna coklat, dan di
tengah-tengah bulatan ada ujungnya yang menonjol keluar. Segera saja
tubuhku berreaksi, penisku tegang, dada berdebar-debar. Halaman
berikutnya membuatku lemas, mungkin belum makan. Masih wanita bule yang
tadi tapi sekarang di close-up. Buah dadanya makin jelas, sampai ke
pori-porinya. Ini kesempatanku untuk ?mempelajari? anatomi buah kembar
itu. Dari atas kulit itu bergerak naik, sampai puting yang merupakan
puncaknya, kemudian turun lagi ?membulat?. Ya, beginilah bentuk buah
dada wanita. Putingnya, apakah selalu menonjol keluar seperti menunjuk
ke depan ? Jawabannya baru tahu kelak kemudian hari ketika aku
?praktek?. Tiba-tiba terlintas pikiran nakal, Tante Yani! Bagaimana ya
bentuk buah dada Tanteku itu ? Ah, kenapa selama ini aku tak
memperhatikannya. Asyik lihat ke bawah terus sih! Memang kesempatannya
baru lihat paha. Kimono Tante waktu itu, kalau tak salah, tertutup
sampai dibawah lehernya. Tapi ?kan bisa lihat bentuk luarnya. Ah, memang
mataku tak sampai kesitu. Melihat bentuk paha dan kaki cewe bule ini
mirip milik Tante, aku rasa bentuk dadanyapun tak jauh berbeda, begitu
aku mencoba memperkirakan. Begitu banyak aku berdialog dengan diri
sendiri tentang buah dada. Begitu banyak pertanyaan yang bermuara pada
pertanyaan inti : Bagaimana bentuk buah dada Tanteku yang cantik itu ?
Untungnya, atau celakanya, pertanyaanku itu segera mendapat jawaban, di
meja makan. Di pertengahan makan siangku, Tante muncul istimewa.
Mengenakan baju-mandi, baju mirip kimono tapi pendek dari bahan seperti
handuk tapi lebih tipis warna putih dan ada pengikat di pinggangnya.
Tante kelihatan lain siang itu, segar, cerah. Kelihatannya baru selesai
mandi dan keramas, sebab rambutnya diikat handuk ke atas mirip ikat
kepala para syeh. ?Oh, kamu sudah pulang, engga kedengaran masuknya,?
sapanya ramah sambil berjalan menuju ke tempatku. ?Dari tadi Tante,?
jawabku singkat. Ia berhenti, berdiri tak jauh dari dudukku. Kedua
tangannya ke atas membenahi handuk di rambutnya. Posisi tubuh Tante yang
beginilah memberi jawaban atas pertanyaanku tadi. Luar biasa! Besar
juga buah dada Tante ini, persis seperti perkiraanku tadi, bentuknya
mirip punya cewe bule di Penthouse tadi.
Meskipun aku melihatnya masih ?terbungkus? baju-mandi, tapi jelas
alurnya, bulat menonjol ke depan. Di bagian kanan baju mandinya rupanya
ada yang basah, ini makin mempertegas bentuk buah indah itu. Samar-samar
aku bisa melihat lingkaran kecil di tengahnya. Sehabis mandi mungkin
hanya baju-mandi itu saja yang membungkus tubuhnya sekarang. Bawahnya
aku tak tahu. Bawahnya! Ya, aku melupakan pahanya. Segera saja mataku
turun. Kini lebih jelas, bulu-bulu lembut di pahanya seperti diatur,
berbaris rapi. Ah aku sekarang lagi tergila-gila buah dada. Pandanganku
ke atas lagi. Mudah-mudahan ia tak melihatku melahap (dengan mata)
tubuhnya. Memang ia tidak memperhatikanku, pandangannya ke arah lain
masih terus asyik merapikan rambutnya. Tapi aku tak bisa berlama-lama
begini, disamping takut ketahuan, lagipula aku ?kan sedang makan.
Kuteruskan makanku. Bagaimana reaksi tubuhku, susah diceritakan. Yang
jelas kelaminku tegang luar biasa. Tiba-tiba ia menarik kursi makan di
sebelahku dan duduk. Ah, wangi tubuhnya terhirup olehku. ?Makan yang
banyak, tambah lagi tuh ayamnya.? Bagaimana mau makan banyak, kalau
?diganggu? seperti ini. Aku mengiakan saja. Rupanya ?gangguan nikmat?
belum selesai. Aku duduk menghadap ke utara. Di dekatku duduk si
Badan-sintal yang habis mandi, menghadap ke timur. Aku bebas melihat
tubuhnya dari samping kiri. Ia menundukkan kepalanya dan mengurai
rambutnya ke depan. Dengan posisi seperti ini, badan agak membungkuk ke
depan dan satu-satunya pengikat baju ada di pinggang, dengan serta merta
baju mandinya terbelah dan menampakkan pemandangan yang bukan main.
Buah dada kirinya dapat kulihat dari samping dengan jelas. Ampun..
putihnya, dan membulat. Kalau aku menggeser kepalaku agak ke kiri,
mungkin aku bisa melihat putingnya. Tapi ini sih ketahuan banget. Jangan
sampai. Betapa tersiksanya aku siang ini. Tersiksa tapi nikmat! Oh
Tuhan, janganlah aku Kau beri siksa yang begini. Aku khawatir tak
sanggup menahan diri. Rasa-rasanya tanganku ingin menelusup ke belahan
baju mandi ini lalu meremas buah putih itu? Kalau itu terjadi, bisa-bisa
aku dipulangkan, dan hilanglah kesempatanku meraih masa depan yang
lebih baik. Apa yang kubilang pada ayahku ? Dapat kupastikan ia marah
besar, dan artinya, kiamat bagiku.
Untung, atau sialnya, Tante cepat bangkit menuju ke kamar sambil
menukas: ?Teruskan ya makannya.? ?Ya Tante,? sahutku masih gemetaran.
Aah., aku menemukan sesuatu lagi. Aku mengamati Tante berjalan ke
kamarnya dari belakang, gerakan pinggulnya indah sekali. Pinggul yang
tak begitu lebar, tapi pantatnya demikian menonjol ke belakang. Tubuh
ideal, memang.
Malamnya aku disuruh makan duluan sendiri. Tante menunggu Oom yang
telat pulang malam ini. Masih terbayang kejadian siang tadi bagaimana
aku menikmati pemandangan dada Tante yang membuat aku tak begitu selera
makan. Tiba-tiba aku dikejutkan oleh kedatangan Tante yang muncul dari
kamarnya. Masih mengenakan baju-mandi yang tadi, rambutnya juga masih
diikat handuk. Langsung ia duduk disebelahku persis di kursi yang tadi.
Belum habis rasa kagetku, tiba-tiba pula ia pindah dan duduk di
pangkuanku! Bayangkan pembaca, bagaimana nervous-nya aku. Yang jelas
penisku langsung mengeras merasakan tindihan pantat Tante yang padat.
Disingkirkannya piringku, memegang tangan kiriku dan dituntunnya
menyelinap ke belahan baju-mandinya. Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan
emas ini. Kuremas dadanya dengan gemas. Hangat, padat dan lembut.
Tantepun menggoyang pantatnya, terasa enak di kelaminku. Goyangan
makin cepat, aku jadi merasa geli di ujung penisku. Rasa geli makin
meningkat dan meningkat, dan .. Aaaaah, aku merasakan nikmat yang belum
pernah kualami, dan eh, ada sesuatu terasa keluar berbarengan rasa
nikmat tadi, seperti pipis dan? aku terbangun. Sialan! Cuma mimpi
rupanya. Masa memimpikan Tante, aku jadi malu sendiri. Kejadian siang
tadi begitu membekas sampai terbawa mimpi. Eh, celanaku basah. Mana
mungkin aku ngompol. Lalu apa dong ? Cepat-cepat aku periksa. Memang aku
ngompol! Tapi tunggu dulu, kok airnya lain, lengket-lengket agak
kental. Ah, kenapa pula aku ini ? Apa yang terjadi denganku ? Besok coba
aku tanya pada Oom. Gila apa! Jangan sama Oom dong. Lalu tanya kepada
Tante, tak mungkin juga. Coba ada Mas Joko, kakak kelasku di ST dulu.
Mungkin teman sekolahku ada yang tahu, besok aku tanyakan.
***
Esoknya aku ceritakan hal itu kepada Dito teman paling dekat. Sudah
barang tentu kisahnya aku modifikasi, bukan Tante yang duduk di
pangkuanku, tapi ?seseorang yang tak kukenal?. ?Kamu baru mengalami tadi
malam ?? ?Ya, tadi malam.? ?Telat banget. Aku sudah mengalami sewaktu
kelas 2 SMP, dua tahun lalu. Itu namanya mimpi basah.? ?Mimpi basah ??
?Ya. Itu tandanya kamu mulai dewasa, sudah aqil-baliq. Lho, emangnya
kamu belum pernah dengar ?? Malu juga aku dibilang telat dan belum tahu
mimpi basah. Tapi juga ada rasa sedikit bangga, aku mulai dewasa!
?Rupanya kamu badan aja yang gede, pikiran masih anak-anak.? Ah biar
saja. Beberapa hari sebelum mimpi basah itu toh aku sudah ?menghayati?
wanita sebagai orang dewasa! ?Kamu punya pacar ?? ?Engga.? ?Atau pernah
pacaran ?? ?Engga juga.? ?Pantesan telat kalau begitu. Waktu kelas 3 SMP
aku punya pacar, teman sekelas. Enak deh, sekolah jadi semangat.?
?Kalau pacaran ngapain aja sih ?? tanyaku lugu. Memang betul aku belum
tahu tentang pacaran. Tentang wanitapun aku baru tahu beberapa hari
lalu. ?Ha.. ha.. ha.! Kampungan lu! Ya tergantung orangnya. Kalau aku
sih paling-paling ciuman, raba-raba, udah. Kalau si Ricky kelewatan,
sampai pacarnya hamil.? Ciuman, raba-raba. Aku pernah lihat orang ciuman
di filem TV, enak juga kelihatannya, belum pernah aku membayangkan.
Kalau meraba, pernah kubayangkan meremas dada Tante. ?Hamil ?? Pelajaran
baru nih. ?Ada juga yang sampai ?gitu? tapi engga hamil. Engga tahu aku
caranya gimana.? ?Gitu gimana ?? ?Kamu betul-betul engga tahu ?? Lalu
ia cerita bagaimana hubungan kelamin itu. Dengan bisik-bisik tentunya.
Aku jadi tegang. Pantaslah aku dibilang kampungan, memang betul-betul
baru tahu saat ini. Kelamin lelaki masuk ke kelamin wanita, keluar bibit
manusia, lalu hamil. Bibit! Mungkin yang keluar dari kelaminku semalam
adalah bibit manusia. Bagaimana mungkin kelaminku sebesar ini bisa masuk
ke lubang pipis wanita ? Sebesar apa lubangnya, dan di mana ? Yang
pernah aku lihat kelamin wanita itu kecil, berbentuk segitiga terbalik
dan ada belahan kecil di ujung bawahnya. Tapi yang kulihat dulu itu di
desa adalah kelamin anak-anak perempuan yang sedang mandi di pancuran.
Kelamin wanita dewasa sama sekali aku belum pernah lihat. Bagaimana
bentuknya ya ? Mungkin segitiganya lebih besar. Ah, pikiranku terlalu
jauh. Ciuman saja dulu. Aku sependapat dengan Dito, kalau pacaran ciuman
dan raba-raba saja. Aku jadi ingin pacaran, tapi siapa yang mau pacaran
sama aku yang kuper ini ? Ya dicari dong! Si Rika, Ani atau Yuli ?
Siapa sajalah, asal mau jadi pacarku, buat ciuman dan diraba-raba.
Sepertinya sedap.
Dalam perjalanan pulang aku membayangkan bagaimana seandainya aku
pacaran sama Rika. Pahanya yang lumayan mulus enak dielus-elus. Tanganku
terus ke atas membuka kancing bajunya, lalu menyelusup dan? sopir Bajaj
itu memaki-maki membuyarkan lamunanku. Tanpa sadar aku berjalan terlalu
ke tengah. Di balik kutang Rika hanya ada sedikit tonjolan, tak ada
?pegangan?, kurang enak ah. Tiba-tiba Rika berubah jadi Ani. Melamun itu
memang enak, bisa kita atur semau kita. Ketika membuka kancing baju Ani
aku mulai tegang. Kususupkan empat jariku ke balik kutang Ani. Nah ini,
montok, keras walau tak begitu halus. Telapak tanganku tak cukup buat
?menampung? dada Ani. Aku berhenti, menunggu lampu penyeberangan menyala
hijau. Sampai di seberang jalan kusambung khayalanku. Ani telah berubah
menjadi Yuli. Anak ini memang manis, apalagi kalau tersenyum, bibirnya
indah, setidaknya menurutku. Aku mulai mendekatkan mulutku ke bibir Yuli
yang kemudian membuka mulutnya sedikit, persis seperti di film TV
kemarin. Kamipun berciuman lama. Kancing baju seragam Yulipun mulai
kulepas, dua kancing dari atas saja cukup. Kubayangkan, meski dari luar
dada Yuli menonjol biasa, tak kecil dan tak besar, ternyata dadanya
besar juga. Kuremas-remas sepuasnya sampai tiba di depan rumah.
Aku kembali ke dunia nyata. Masuk melalui pintu garasi seperti biasa,
membuka pintu tengah sampai ke ruang keluarga. Juga seperti biasa kalau
mendapati Tante sedang membaca majalah sambil rebahan di karpet, atau
menyulam, atau sekedar nonton TV di ruang keluarga. Yang tidak biasa
adalah, kedua bukit kembar itu. Tante membaca sambil tengkurap menghadap
pintu yang sedang kumasuki. Posisi punggungnya tetap tegak dengan
bertumpu pada siku tangannya. Mengenakan daster dengan potongan dada
rendah, rendah sekali. Inipun tak biasa, atau karena aku jarang
memperhatikan bagian atas. Tak ayal lagi, kedua bukit putih itu hampir
seluruhnya tampak. Belahannya jelas, sampai urat-urat lembut agak
kehijauan di kedua buah dada itu samar-samar nampak. Aku tak melewatkan
kesempatan emas ini. Tante melihat sebentar ke arahku, senyum sekejap,
terus membaca lagi. Akupun berjalan amat perlahan sambil mataku tak
lepas dari pemandangan amat indah ini?
Hampir lengkap aku ?mempelajari? tubuh Tanteku ini. Wajah dan
?komponen?nya mata, alis, hidung, pipi, bibir, semuanya indah yang
menghasilkan : cantik. Walaupun dilihat sekejap, apalagi berlama-lama.
Paha dan kaki, panjang, semuanya putih, mulus, berbulu halus. Pinggul,
meski baru lihat dari bentuknya saja, tak begitu lebar, proporsional,
dengan pantat yang menonjol bulat ke belakang. Pinggang, begitu sempit
dan perut yang rata. Ini juga hanya dari luar. Dan yang terakhir buah
dada. Hanya puting ke bawah saja yang belum aku lihat langsung. Kalau
daerah pinggul, bagian depannya saja yang aku belum bisa membayangkan.
Memang aku belum pernah membayangkan, apalagi melihat kelamin wanita
dewasa. Aku masih penasaran pada yang satu ini.
Keesokkan harinya, siang-siang, Dito memberiku sampul warna coklat agak besar, secara sembunyi-sembunyi.
“Nih, buat kamu”
“Apa nih ?”
“Simpan aja dulu, lihatnya di rumah, Hati-hati” Aku makin penasaran.
“Lanjutan pelajaranku kemarin. Gambar-gambar asyik” bisiknya.
Sampai di rumah aku berniat langsung masuk kamar untuk memeriksa
benda pemberian Dito. Tante lagi membaca di karpet, kali ini terlentang,
mengenakan daster dengan kancing di tengah membelah badannya dari atas
ke bawah. Kancingnya yang terbawah lepas sebuah yang mengakibatkan
sebagian pahanya tampak, putih. “Suguhan” yang nikmat sebenarnya, tapi
kunikmati hanya sebentar saja, pikiranku sedang tertuju ke sampul
coklat. Dengan tak sabaran kubuka sampul itu, sesudah mengunci pintu
kamar, tentunya. Wow, gambar wanita bule telanjang bulat! Sepertinya ini
lembaran tengah suatu majalah, sebab gambarnya memenuhi dua halaman
penuh. Wanita bule berrambut coklat berbaring terlentang di tempat
tidur. Segera saja aku mengeras. Buah dadanya besar bulat, putingnya
lagi-lagi menonjol ke atas warna coklat muda. Perutnya halus, dan ini
dia, kelaminnya! Sungguh beda jauh dengan apa yang selama ini kuketahui.
Aku tak menemukan “segitiga terbalik” itu. Di bawah perut itu ada
rambut-rambut halus keriting. Ke bawah lagi, lho apa ini ? Sebelah kaki
cewe itu dilipat sehingga lututnya ke atas dan sebelahnya lagi menjuntai
di pinggir ranjang memperlihatkan selangkangannya. Inilah rupanya
lubang itu. Bentuknya begitu “rumit”. Ada daging berlipat di kanan
kirinya, ada tonjolan kecil di ujung atasnya, lubangnya di tengah
terbuka sedikit. Mungkin di sinilah tempat masuknya kelamin lelaki.
Tapi, mana cukup ? Oo, seperti inilah rupanya wujud kelamin wanita
dewasa. Tiba-tiba pikiran nakalku kambuh : begini jugakah punya Tante?
Pertanyaan yang jelas-jelas tak mungkin mendapatkan jawaban! Bagaimana
dengan punya Rika, Ani, atau Yuli? Sama susahnya untuk mendapatkan
jawaban. Lupakan saja. Tunggu dulu, barangkali Si Mar pembantu itu bisa
memberikan “jawaban”. Orangnya penurut, paling tidak dia selalu patuh
pada perintah majikannya, termasuk aku. Bahkan dulu itu tanpa aku minta
membantuku beres-beres kamarku, dengan senang pula. Orangnya lincah dan
ramah. Tidak terlalu jelek, tapi bersih. Kalau sudah dandan sore hari
ngobrol dengan pembantu sebelah, orang tak menyangka kalau ia pembantu.
Dulu waktu pertama kali ketemupun aku tak mengira bahwa ia pembantu.
Setiap pagi ia menyapu dan mengepel seluruh lantai, termasuk lantai
kamarku. Kadang-kadang aku sempat memperhatikan pahanya yang tersingkap
sewaktu ngepel, bersih juga. Yang jelas ia periang dan sedikit genit.
Tapi masa kusuruh ia membuka celana dalamnya “Coba Mar aku pengin lihat
punyamu, sama engga dengan yang di majalah” Gila!. Jangan langsung
begitu, pacari saja dulu. Ah, pacaran kok sama pembantu. Apa salahnya?
dari pada tidak pacaran sama sekali. Okey, tapi bagaimana ya cara
memulainya ? Ah, dasar kuper!
Aku jadi lebih memperhatikan Si Mar. Mungkin ia setahun atau dua
tahun lebih tua dariku, sekitar 18 lah. Wajahnya biasa-biasa saja,
bersih dan selalu cerah, kulit agak kuning, dadanya tak begitu besar,
tapi sudah berbentuk. Paha dan kaki bersih. Mulai hari ini aku bertekat
untuk mulai menggoda Si Mar, tapi harus hati-hati, jangan sampai
ketahuan oleh siapapun. Seperti hari-hari lainnya ia membersihkan
kamarku ketika aku sedang sarapan. Pagi ini aku sengaja menunda makan
pagiku menunggu Si Mar. Tante masih ada di kamarnya. Si Mar masuk tapi
mau keluar lagi ketika melihat aku ada di dalam kamar.
“Masuk aja mbak, engga apa-apa” kataku sambil pura-pura sibuk
membenahi buku-buku sekolah. Masuklah dia dan mulai bersih-bersih.
Tanganku terus sibuk berbenah sementara mataku melihatnya terus.
Sepasang pahanya nampak, sudah biasa sih lihat pahanya, tapi kali ini
lain. Sebab aku membayangkan apa yang ada di ujung atas paha itu. Aku
mengeras. Sekilas tampak belahan dadanya waktu ia membungkuk-bungkuk
mengikuti irama ngepel. Tiba-tiba ia melihatku, mungkin merasa aku
perhatikan terus.
“Kenapa, Mas” Kaget aku.
“Ah, engga. Apa mbak engga cape tiap hari ngepel”
“Mula-mula sih capek, lama-lama biasa, memang udah kerjaannya” jawabnya cerah.
“Udah berapa lama mbak kerja di sini ?”
“Udah dari kecil saya di sini, udah 5 tahun”
“Betah ?”
“Betah dong, Ibu baik sekali, engga pernah marah. Mas dari mana sih asalnya ?”Tanyanya tiba-tiba. Kujelaskan asal-usulku.
“Oo, engga jauh dong dari desaku. Saya dari Cilacap”
Pekerjaannya selesai. Ketika hendak keluar kamar aku mengucapkan terima kasih.
“Tumben.” Katanya sambil tertawa kecil. Ya, tumben biasanya aku tak bilang apa-apa.
***
“Mana, yang kemarin ?” Dito meminta gambar cewe itu.
“Lho, katanya buat aku”
“Jangan dong, itu aku koleksi. Kembaliin dulu entar aku pinjamin yang lain, lebih serem!”
“Besok deh, kubawa”
Sampai di rumah Si Luki sedang main-main di taman sama pengasuhnya.
Sebentar aku ikut bermain dengan anak Oomku itu. Tinah sedikit lebih
putih dibanding Si Mar, tapi jangan dibandingkan dengan Tante, jauh.
Orangnya pendiam, kurang menarik. Dadanya biasa saja, pinggulnya yang
besar. Tapi aku tak menolak seandainya ia mau memperlihatkan miliknya.
Pokoknya milik siapa saja deh, Rika, Ani, Yuli, Mar, atau Tinah asal itu
kelamin wanita dewasa. Penasaran aku pada “barang” yang satu itu.
Apalagi milik Tante, benar-benar suatu karunia kalau aku “berhasil”
melihatnya! Di dalam ada Si Mar yang sedang nonton telenovela buatan
Brazil itu. Aku kurang suka, walaupun pemainnya cantik-cantik. Ceritanya
berbelit. Duduk di karpet sembarangan, lagi-lagi pahanya nampak.
Rasanya si Mar ini makin menarik.
“Mau makan sekarang, Mas ?”
“Entar aja lah”
“Nanti bilang, ya. Biar saya siapin”
“Tante mana mbak?”
“Kan senam” Oh ya, ini hari Rabu, jadwal senamnya. Seminggu Tante
senam tiga kali, Senin, Rabu dan Jumat. Ketika aku selesai ganti
pakaian, aku ke ruang keluarga, maksudku mau mengamati Si Mar lebih
jelas. Tapi Si Mar cepat-cepat ke dapur menyiapkan makan siangku. Biar
sajalah, toh masih banyak kesempatan. Kenapa tidak ke dapur saja
pura-pura bantu ? Akupun ke dapur.
“Masak apa hari ini ?” Aku berbasa-basi.
“Ada ayam panggang, oseng-oseng tahu, sayur lodeh, pilih aja”
“Aku mau semua” Candaku. Dia tertawa renyah. Lumayan buat kata pembukaan.
“Sini aku bantu”
“Ah, engga usah” Tapi ia tak melarang ketika aku membantunya. Ih,
pantatnya menonjol ke belakang walau pinggulnya tak besar. Aku ngaceng.
Kudekati dia. Ingin rasanya meremas pantat itu. Beberapa kali kusengaja
menyentuh badannya, seolah-olah tak sengaja. ‘Kan lagi membantu dia.
Dapat juga kesempatan tanganku menyentuh pantatnya, kayaknya sih padat,
aku tak yakin, cuma nyenggol sih. Mar tak berreaksi. Akhirnya aku tak
tahan, kuremas pantatnya. Kaget ia menolehku.
“Iih, Mas To genit, ah” katanya, tapi tidak memprotes.
“Habis, badanmu bagus sih”. Sekarang aku yakin, pantatnya memang padat.
“Ah, biasa saja kok”
Akupun berlanjut, kutempelkan badan depanku ke pantatnya. Barangku
yang sudah mengeras terasa menghimpit pantatnya yang padat, walaupun
terlapisi sekian lembar kain. Aku yakin iapun merasakan kerasnya
punyaku. Berlanjut lagi, kedua tanganku kedepan ingin memeluk perutnya.
Tapi ditepisnya tanganku.
“Ih, nakal. Udah ah, makan dulu sana!”
“Iya deh makan dulu, habis makan terus gimana ?”
“Yeee!” sahutnya mencibir tapi tak marah. Tangannya berberes lagi
setelah tadi berhenti sejenak kuganggu. Walaupun penasaran karena aksiku
terpotong, tapi aku mendapat sinyal bahwa Si Mar tak menolak kuganggu.
Hanya tingkat mau-nya sampai seberapa jauh, harus kubuktikan dengan
aksi-aksi selanjutnya!
Kembali aku menunda sarapanku untuk “aksi selanjutnya” yang telah
kukhayalkan tadi malam. Ketika ia sedang menyapu di kamarku, kupeluk ia
dari belakang. Sapunya jatuh, sejenak ia tak berreaksi. Amboi ..dadanya
berisi juga! Jelas aku merasakannya di tanganku, bulat-bulat padat.
Kemudian Si Marpun meronta.
“Ah, Mas, jangan!” protesnya pelan sambil melirik ke pintu. Aku
melepaskannya, khawatir kalau ia berteriak. Sabar dulu, masih banyak
kesempatan.
“Terima kasih” kataku waktu ia melangkah keluar kamar. Ia hanya
mencibir memoncongkan mulutnya lucu. Mukanya tetap cerah, tak marah.
Sekarang aku selangkah lebih maju!
***
Aku ingat janjiku hari ini untuk mengembalikan foto porno milik Dito.
Tapi di mana foto itu ? Jangan-jangan ada yang mengambilnya. Aku yakin
betul kemarin aku selipkan di antara buku Fisika dan Stereometri (kedua
buku itu memang lebar, bisa menutupi). Nah ini dia ada di dalam buku
Gambar. Pasti ada seseorang yang memindahkannya. Logikanya, sebelum
orang itu memindahkan, tentu ia sempat melihatnya. Tiba-tiba aku cemas.
Siapa ya ? Si Mar, Tinah, atau Tante ? Atau lebih buruk lagi, Oom Ton ?
Aku jadi memikirkannya. Siapapun orang rumah yang melihat foto itu,
membuatku malu sekali! Yang penting, aku harus kembalikan ke Dito
sekarang.
Siangnya pulang sekolah ketika aku masuk ke ruang keluarga, Si Mar
sedang memijit punggung Tante. Tante tengkurap di karpet, Si Mar menaiki
pantat Tante. Punggung Tante itu terbuka 100 %, tak ada tali kutang di
sana. Putihnya mak..! Si Mar cepat-cepat menutup punggung itu ketika
tahu mataku menjelajah ke sana, sambil melihatku dengan senyum penuh
arti. Sialan! Si Mar tahu persis kenakalanku. Aku masuk kamar. Hilang
kesempatan menikmati punggung putih itu. Tadi pagi aku lupa membawa buku
Gambar gara-gara mengurus foto si Dito. Aku berniat mempersiapkan dari
sekarang sambil berusaha melupakan punggung putih itu. Sesuatu jatuh
bertebaran ke lantai ketika aku mengambil buku Gambar. Seketika dadaku
berdebar kencang setelah tahu apa yang jatuh tadi. Lepasan dari majalah
asing. Di tiap pojok bawahnya tertulis “Hustler” edisi tahun lalu. Satu
serial foto sepasang bule yang sedang berhubungan kelamin! Ada tiga
gambar, gambar pertama Si Cewe terlentang di ranjang membuka kakinya
sementara Si Cowo berdiri di atas lututnya memegang alatnya yang tegang
besar (mirip punyaku kalau lagi tegang cuma beda warna, punyaku gelap)
menempelkan kepala penisnya ke kelamin Cewenya. Menurutku, dia
menempelnya kok agak ke bawah, di bawah “segitiga terbalik” yang penuh
ditumbuhi rambut halus pirang.
Gambar kedua, posisi Si Cewe masih sama hanya kedua tangannya
memegang bahu si Cowo yang kini condong ke depan. Nampak jelas separoh
batangnya kini terbenam di selangkangan Si Cewe. Lho, kok di situ
masuknya ? Kuperhatikan lebih saksama. Kayaknya dia “masuk” dengan
benar, karena di samping jalan masuk tadi ada “yang berlipat-lipat”,
persis gambar milik Dito kemarin. Menurut bayanganku selama ini,
“seharusnya” masuknya penis agak lebih ke atas. Baru tahu aku,
khayalanku selama ini ternyata salah! Gambar ketiga, kedua kaki Si Cewe
diangkat mengikat punggung Si Cowo. Badan mereka lengket berimpit dan
tentu saja alat Si Cowo sudah seluruhnya tenggelam di “tempat yang
layak” kecuali sepasang “telornya” saja menunggu di luar. Mulut lelaki
itu menggigit leher wanitanya, sementara telapak tangannya menekan buah
dada, ibujari dan telunjuk menjepit putting susunya. Gemetaran aku
mengamati gambar-gambar ini bergantian. Tanpa sadar aku membuka
resleting celanaku mengeluarkan milikku yang dari tadi telah tegang.
Kubayangkan punyaku ini separoh tenggelam di tempat si Mar persis gambar
kedua. Kenyataanya memang sekarang sudah separoh terbenam, tapi di
dalam tangan kiriku. Akupun meniru gambar ketiga, tenggelam seluruhnya,
gambar kedua, setengah, ketiga, seluruhnya..geli-geli nikmat… terus
kugosok… makin geli.. gosok lagi.. semakin geli… dan.. aku terbang di
awan.. aku melepas sesuatu… hah.. cairan itu menyebar ke sprei bahkan
sampai bantal, putih, kental, lengket-lengket. Enak, sedap seperti waktu
mimpi basah. Sadar aku sekarang ada di kasur lagi, beberapa detik yang
lalu aku masih melayang-layang. He! Kenapa aku ini? Apa yang kulakukan ?
Aku panik. Berbenah. Lap sini lap sana. Kacau! Kurapikan lagi celanaku,
sementara si Dia masih tegang dan berdenyut, masih ada yang menetes.
Aku menyesal, ada rasa bersalah, rasa berdosa atas apa yang baru saja
kulakukan. Aku tercenung. Gambar-gambar sialan itu yang menyebabkan aku
begini. Masturbasi. Istilah aneh itu baru aku ketahui dari temanku
beberapa hari sesudahnya. Si Dito menyebutnya ‘ngeloco’. Aneh. Ada
sesuatu yang lain kurasakan, keteganganku lenyap. Pikiran jadi cerah
meski badan agak lemas..
***
Sehari itu aku jadi tak bersemangat, ingat perbuatanku siang tadi.
Rasanya aku telah berbuat dosa. Aku menyalahkan diriku sendiri. Bukan
salahku seluruhnya, aku coba membela diri. Gambar-gambar itu juga punya
dosa. Tepatnya, pemilik gambar itu. Eh, siapa yang punya ya ? Tahu-tahu
ada di balik buku-bukuku. Siapa yang menaruh di situ ? Ah, peduli amat.
Akan kumusnahkan. Aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi, tidak akan
masturbasi lagi. Perasaan seperti ini masih terbawa sampai keesokkan
harinya lagi. Sehingga kulewatkan kesempatan untuk meraba dada Mar
seperti kemarin. Ia telah memberi lampu hijau untuk aku “tindaklanjuti”.
Tapi aku lagi tak bersemangat. Masih ada rasa bersalah.
Hari berikutnya aku “harus” tegang lagi. Bukan karena Si Mar yang
(menurutku) bersedia dijamah tubuhnya. Tapi lagi-lagi karena Si Putih
molek itu, Tante Yani. Siang itu aku pulang agak awal, pelajaran
terakhir bebas. Sebentar aku melayani Luki melempar-lempar bola di
halaman, lalu masuk lewat garasi, seperti biasa. Hampir pingsan aku
ketika membuka pintu menuju ruang keluarga. Tante berbaring terlentang,
mukanya tertutupi majalah “Femina”, terdengar dengkur sangat halus dan
teratur. Rupanya ketiduran sehabis membaca. Mengenakan baju-mandi
seperti dulu tapi ini warna pink muda, rambut masih terbebat handuk.
Agaknya habis keramas, membaca terus ketiduran. Model baju mandinya
seperti yang warna putih itu, belah di depan dan hanya satu pengikat di
pinggang. Jelas ia tak memakai kutang, kelihatan dari bentuk buah
dadanya yang menjulang dan bulat, serta belahan dadanya seluruhnya
terlihat sampai ke bulatan bawah buah itu. Sepasang buah bulat itu
naik-turun mengikuti irama dengkurannya. Berikut inilah yang membuatku
hampir pingsan. Kaki kirinya tertekuk, lututnya ke atas, sehingga
belahan bawah baju-mandi itu terbuang ke samping, memberiku “pelajaran”
baru tentang tubuh wanita, khususnya milik Tante. Tak ada celana dalam
di sana.
Tanteku ternyata punya bulu lebat. Tumbuh menyelimuti hampir seluruh
“segitiga terbalik”. Berwarna hitam legam, halus dan mengkilat, tebal di
tengah menipis di pinggir-pinggirnya. “Arah” tumbuhnya seolah diatur,
dari tengah ke arah pinggir sedikit ke bawah kanan dan kiri.
Berbeda dengan yang di gambar, rambut Tante yang di sini lurus, tak
keriting. Wow, sungguh “karya seni” yang indah sekali! Kelaminku tegang
luar biasa. Aku lihat sekeliling. Si Tinah sedang bermain dengan anak
asuhnya di halaman depan. Si Mar di belakang, mungkin sedang menyetrika.
Kalau Tante sedang di ruang ini, biasanya Si Mar tidak kesini, kecuali
kalau diminta Tante memijit. Aman!
Dengan wajah tertutup majalah aku jadi bebas meneliti kewanitaan
Tante, kecuali kalau ia tiba-tiba terbangun. Tapi aku ‘kan waspada.
Hampir tak bersuara kudekati milik Tante. Kini giliran bagian bawah
rambut indah itu yang kecermati. Ada “daging berlipat”, ada benjolan
kecil warna pink, tampaknya lebih menonjol dibanding milik bule itu. Dan
di bawah benjolan itu ada “pintu”. Pintu itu demikian kecil, cukupkah
punyaku masuk ke dalamnya ? Punyaku ? Enak saja! Memangnya lubang itu
milikmu ? Bisa saja sekarang aku melepas celanaku, mengarahkan ujungnya
ke situ, persis gambar pertama, mendorong, seperti gambar kedua, dan
…Tiba-tiba Tante menggerakkan tangannya. Terbang semangatku. Kalau ada
cermin di situ pasti aku bisa melihat wajahku yang pucat pasi. Dengkuran
halus terdengar kembali. Untung., nyenyak benar tidurnya. Bagian atas
baju-mandinya menjadi lebih terbuka karena gerakan tangannya tadi. Meski
perasaanku tak karuan, tegang, berdebar, nafas sesak, tapi pikiranku
masih waras untuk tidak membuka resleting celanaku. Bisa berantakan masa
depanku. Aku “mencatat” beberapa perbedaan antara milik Tante dengan
milik bule yang di majalah itu. Rambut, milik Tante hitam lurus, milik
bule coklat keriting. Benjolan kecil, milik Tante lebih “panjang”, warna
sama-sama pink. Pintu, milik Tante lebih kecil. Lengkaplah sudah aku
mempelajari tubuh wanita. Utuhlah sudah aku mengamati seluruh tubuh
Tante. Seluruhnya ? Ternyata tidak, yang belum pernah aku lihat sama
sekali : puting susunya. Kenapa tidak sekarang ? Kesempatan terbuka di
depan mata, lho! Mataku beralih ke atas, ke bukit yang bergerak
naik-turun teratur. Dada kanannya makin lebar terbuka, ada garis tipis
warna coklat muda di ujung kain. Itu adalah lingkaran kecil di tengah
buah, hanya pinggirnya saja yang tampak. Aku merendahkan kepalaku
mengintip, tetap saja putingnya tak kelihatan. Ya, hanya dengan sedikit
menggeser tepi baju mandi itu ke samping, lengkaplah sudah “kurikulum”
pelajaran anatomi tubuh Tante. Dengan amat sangat hati-hati tanganku
menjangkau tepi kain itu. Mendadak aku ragu. Kalau Tante terbangun
bagaimana ? Kuurungkan niatku. Tapi pelajaran tak selesai dong! Ayo,
jangan bimbang, toh dia sedang tidur nyenyak. Ya, dengkurannya yang
teratur menandakan ia tidur nyenyak. Kembali kuangkat tanganku.
Kuusahakan jangan sampai kulitnya tersentuh. Kuangkat pelan tepi kain
itu, dan sedikit demi sedikit kugeser ke samping. Macet, ada yang
nyangkut rupanya. Angkat sedikit lagi, geser lagi. Kutunggu reaksinya.
Masih mendengkur. Aman. Terbukalah sudah.. Puting itu berwarna merah
jambu bersih. Berdiri tegak menjulang, bak mercusuar mini. Amboi .
indahnya buah dada ini. Tak tahan aku ingin meremasnya. Jangan, bahaya.
Aku harus cepat-cepat pergi dari sini. Bukan saja khawatir Tante
terbangun, tapi takut aku tak mampu menahan diri, menubruk tubuh indah
tergolek hampir telanjang bulat ini.
***
Aku jadi tak tenang. Berulang kali terbayang rambut-rambut halus
kelamin dan puting merah jambu milik Tante itu. Apalagi menjelang tidur.
Tanpa sadar aku mengusap-usap milikku yang tegang terus ini. Tapi aku
segera ingat janjiku untuk tidak masturbasi lagi. Mendingan praktek
langsung. Tapi dengan siapa ?
Hari ini aku pulang cepat. Masih ada dua mata pelajaran sebetulnya,
aku membolos, sekali-kali. Toh banyak juga kawanku yang begitu. Percuma
di kelas aku tak bisa berkonsentrasi. Di garasi aku ketemu Tante yang
siap-siap mau pergi senam. Dibalut baju senam yang ketat ini Tante jadi
istimewa. Tubuhnya memang luar biasa. Dadanya membusung tegak ke depan,
bagian pinggang menyempit ramping, ke bawah lagi melebar dengan pantat
menonjol bulat ke belakang, ke bawah menyempit lagi. Sepasang paha yang
nyaris bulat seperti batang pohon pinang, sepasang kaki yang panjang
ramping. Walaupun tertutup rapat aku ngaceng juga. Lagi-lagi aku
terrangsang. Diam-diam aku bangga, sebab di balik pakaian senam itu aku
pernah melihatnya, hampir seluruhnya! Justru bagian tubuh yang
penting-penting sudah seluruhnya kulihat tanpa ia tahu! Salah sendiri,
teledor sih. Ah, salahku juga, buktinya kemarin aku menyingkap
putingnya.
“Lho, kok udah pulang, To” sapanya ramah. Ah bibir itu juga menggoda.
“Iya Tante, ada pelajaran bebas” jawabku berbohong. Kubukakan pintu
mobilnya. Sekilas terlihat belahan dadanya ketika ia memasuki mobil.
Uih, dadanya serasa mau “meledak” karena ketatnya baju itu.
“Terima kasih” katanya. “Tante pergi dulu ya”. Mobilnya hilang dari pandanganku.
***
Selasai mandi hari sudah hampir gelap. Di ruang keluarga Tante sedang duduk di sofa nonton TV sendiri.
“Senamnya di mana Tante ?” Aku coba membuka percakapan. Aku memberanikan diri duduk di sofa yang sama sebelah kanannya.
“Dekat, di Tebet Timur Dalam”. Malam ini Tante mengenakan daster
pendek tak berlengan, ada kancing-kancing di tengahnya, dari atas ke
bawah.
“Tumben, kamu tidur siang”
“Iya Tante, tadi main voli di situ” jawabku tangkas.
“Kamu suka main voli ?”
“Di Kampung saya sering olah-raga Tante” Aku mulai berani
memandangnya langsung, dari dekat lagi. Ih, bahu dan lengan atasnya
putih banget!
“Pantesan badanmu bagus” Senang juga aku dipuji Tanteku yang rupawan ini.
“Ah, Kalau ini mungkin saya dari kecil kerja keras di kebun, Tante”
Wow, buah putih itu mengintip di antara kancing pertama dan kedua di
tengah dasternya. Ada yang bergerak di celanaku.
“Kerja apa di kebun ?”
“Mengolah tanah, menanam, memupuk, panen” Buah dada itu rasanya mau meledak keluar.
“Apa saja yang kamu tanam ?” tanyanya lagi sambil mengubah posisi duduknya, menyilangkan sebelah kakinya.
Kancing terakhir daster itu sudah terlepas. Waktu sebelah pahanya
menaiki pahanya yang lain, ujung kain daster itu tidak “ikut”, jadi 70 %
paha Tante tersuguh di depan mataku. Putih licin. Yang tadi bergerak di
celanaku, berangsur membesar.
“Macam-macam tergantung musimnya, Tante. Kentang, jagung, tomat” Hampir saja aku ketahuan mataku memelototi pahanya.
“Kalau kamu mau makan, duluan aja”
“Nanti aja Tante, nunggu Oom” Aku memang belum lapar. Adikku mungkin yang “lapar”
“Oom tadi nelepon ada acara makan malam sama tamu dari Singapur, pulangnya malam”
“Saya belum lapar” jawabku supaya aku tidak kehilangan momen yang bagus ini.
“Kamu betah di sini ?” Ia membungkuk memijit-mijit kakinya. Betisnya itu…
“Kerasan sekali, Tante. Cuman saya banyak waktu luang Tante, biasa
kerja di kampung, sih. Kalau ada yang bisa saya bantu Tante, saya siap”
“Ya, kamu biasakan dulu di sini, nanti Tante kasih tugas”
“Kenapa kakinya Tante ?” Sekedar ada alasan buat menikmati betisnya.
“Pegel, tadi senamnya habis-habisan”
Di antara kancing daster yang satu dengan kancing lainnya terdapat
“celah”. Ada yang sempit, ada yang lebar, ada yang tertutup. Celah
pertama, lebar karena busungan dadanya, menyuguhkan bagian kanan atas
buah dada kiri. Celah kedua memperlihatkan kutang bagian bawah. Celah
ketiga rapat, celah keempat tak begitu lebar, ada perutnya. Celah
berikutnya walaupun sempit tapi cukup membuatku tahu kalau celana dalam
Tante warna merah jambu. Ke bawah lagi ada sedikit paha atas dan
terakhir, ya yang kancingnya lepas tadi.
“Mau bantu Tante sekarang ?”
“Kapan saja saya siap”
“Betul ?”
“Kewajiban saya, Tante. Masa numpang di sini engga kerja apa-apa”
“Pijit kaki Tante, mau ?”
Hah ? Aku tak menyangka diberi tugas mendebarkan ini
“Biasanya sama Si Mar, tapi dia lagi engga ada”
“Tapi saya engga bisa mijit Tante, cuma sekali saya pernah mijit kaki
teman yang keseleo karena main bola” Aku berharap ia jangan membatalkan
perintahnya.
“Engga apa-apa. Tante ambil bantal dulu” Goyang pinggulnya itu…
Sekarang ia tengkurap di karpet. Hatiku bersorak. Aku mulai dari
pergelangan kaki kirinya. Aah, halusnya kulit itu. Hampir seluruh tubuh
Tante pernah kulihat, tapi baru inilah aku merasakan mulus kulitnya.
Mataku ke betis lainnya mengamati bulu-bulu halus.
“Begini Tante, kurang keras engga ?”
“Cukup segitu aja, enak kok”
Tangan memijit, mata jelalatan. Lekukan pantat itu bulat menjulang,
sampai di pinggang turun menukik, di punggung mendaki lagi. Indah.
Kakinya sedikit membuka, memungkinkan mataku menerobos ke celah pahanya.
Tanganku pindah ke betis kanannya aku menggeser dudukku ke tengah,
dan..terobosan mataku ke celah paha sampai ke celana dalam merah jambu
itu. Huuuh, sekarang aku betul-betul keras.
“Aah” teriaknya pelan ketika tanganku menjamah ke belakang lututnya.
“Maaf Tante”
“Engga apa-apa. Jangan di situ, sakit. Ke atas saja”
Ke Atas ? Berarti ke pahanya ? Apa tidak salah nih ? Jelas kok, perintahnya. Akupun ke paha belakangnya.
Ampuuun, halusnya paha itu. Kulit Tante memang istimewa. Kalau ada lalat hinggap di paha itu, mungkin tergelincir karena licin!
Aku mulai tak tenang. Nafas mulai tersengal, entah karena mijit atau
terangsang, atau keduanya. Aku tak hanya memijit, terkadang mengelusnya,
habis tak tahan. Tapi Tante diam saja.
Kedua paha yang diluar, yang tak tertutup daster selesai kupijit.
Entah karena aku sudah “tinggi” atau aku mulai nakal, tanganku terus ke
atas menerobos dasternya.
“Eeeh” desahnya pelan. Hanya mendesah, tidak protes!
Kedua tanganku ada di paha kirinya terus memijit. Kenyal, padat. Tepi
dasternya dengan sendirinya terangkat karena gerakan pijitanku. Kini
seluruh paha kirinya terbuka gamblang, bahkan sebagian pantatnya yang
melambung itu tampak. Pindah ke paha kanan aku tak ragu-ragu lagi
menyingkap dasternya.
“Enak To, kamu pintar juga memijit”
Aku hampir saja berkomentar :”Paha Tante indah sekali”. Untung aku masih bisa menahan diri. Terus memijit, sekali-kali mengelus.
“Ke atas lagi To” suaranya jadi serak.
Ini yang kuimpikan! Sudah lama aku ingin meremas pantat yang menonjol
indah ke belakang itu, kini aku disuruh memijitnya! Dengan senang hati
Tante!
Aku betul-betul meremas kedua gundukan itu, bukan memijit, dari luar daster tentunya. Dengan gemas malah! Keras dan padat.
Ah, Tante. Tante tidak tahu dengan begini justru menyiksa saya!
kataku dalam hati. Rasanya aku ingin menubruk, menindihkan kelaminku
yang keras ini ke dua gundukan itu. Pasti lebih nikmat dibandingkan
ketika memeluk tubuh mbak Mar dari belakang.
“Ih, geli To. Udah ah, jangan di situ terus” ujarnya menggelinjang
kegelian. Barusan aku memang meremas pinggir pinggulnya, dengan sengaja!
“Cape, To ?” tanyanya lagi.
“Sama sekali engga, Tante” jawabku cepat, khawatir saat menyenangkan ini berakhir.
“Bener nih ? Kalau masih mau terus, sekarang punggung, ya ?”. Aha, “daerah jamahan” baru!
Bahunya kanan dan kiri kupencet.
“Eeh” desahnya pelan.
Turun ke sekitar kedua tulang belikat. Lagi-lagi melenguh. Daster tak
berlengan ini menampakkan keteknya yang licin tak berbulu. Rajin
bercukur, mungkin. Ah, di bawah ketek itu ada pinggiran buah putih. Dada
busungnya tergencet, jadi buah itu “terbuang” ke samping. Nakalku
kambuh. Ketika beroperasi di bawah belikat, tanganku bergerak ke
samping.
Jari-jariku menyentuh “tumpahan” buah itu. Tidak langsung sih, masih
ada lapisan kain daster dan kutang, tapi kenyalnya buah itu terasa.
Punggungnya sedikit berguncang, aku makin terangsang.
Ke bawah lagi, aku menelusuri pinggangnya.
“Cukup, To..” Kedua tangannya lurus ke atas. Ia tengkurap total. Nafasnya terengah-engah.
“Depannya Tante ?” usulku nakal. Lancang benar kau To. Tante sampai
menoleh melihatku, kaget barangkali atas usulku yang berani itu.
“Kaki depannya ‘kan belum Tante” aku cepat-cepat meralat usulku.
Takut dikiranya aku ingin memijit “depannya punggung” yang artinya buah
dada!
“Boleh aja kalau kamu engga cape”. Ya jelas engga dong! Tante
berbalik terlentang. Sekejap aku sempat menangkap guncangan dadanya
ketika ia berbalik. Wow! Guncangan tadi menunjukkan “eksistensi”
kemolekkan buah dadanya! Aduuh, bagaimana aku bisa bertahan nih ? Tubuh
molek terlentang dekat di depanku. Ia cepat menarik dasternya ke bawah,
sebagai reaksi atas mataku yang menatap ujung celana dalamnya yang
tiba-tiba terbuka, karena gerakan berbalik tadi. Silakan ditutup saja
Tante, toh aku sudah tahu apa yang ada dibaliknya, rambut-rambut halus
agak lurus, hitam, mengkilat, dan lebat. Lagi pula aku masih bisa
menikmati “sisanya”: sepasang paha dan kaki indah! Aku mulai memijit
tulang keringnya. Singkat saja karena aku ingin cepat-cepat sampai ke
atas, ke paha.
Lutut aku lompati, takut kalau ia kesakitan, langsung ke atas lutut, kuremas dengan gemas.
“Iih, geli”. Aku tak peduli, terus meremas. Paha selesai, untuk
mencapai paha atas aku ragu-ragu, disingkap atau jangan. Singkap ?
Jangan! Ada akal, diurut saja. Mulai dari lutut tanganku mengurut ke
atas, menerobos daster sampai pangkal paha.
“Aaaah, Tooo ….” Biar saja. Kulihat wajahnya, matanya terpejam. Aku makin bebas.
Dengan sendirinya tepi daster itu terangkat karena terdorong
tanganku. Samar-samar ada bayangan hitam di celana dalam tipis itu.
Jelas rambut-rambut itu. Ke bawah lagi, urut lagi ke atas. Aaah lagi.
Dengan cara begini, sah-sah saja kalau jempol tanganku menyentuh
selangkangannya. Sepertinya basah di sana. Ah masak. Coba ulangi lagi
untuk meyakinkan. Urut lagi. Ya, betul, basah! Kenapa basah ? Ngompol ?
Aku tidak mengerti.
“To …” panggilnya tiba-tiba. Aku memandangnya, kedua tanganku
berhenti di pangkal pahanya. Matanya sayu menantang mataku, nafasnya
memburu, dadanya naik-turun.
“Ya, Tante” mendadak suaraku serak. Dia tak menyahut, matanya tetap
memandangiku, setengah tertutup. Ada apa nih ? Apakah Tante ….. ? Ah,
mana mungkin. Kalau Tante terrangsang, mungkin saja, tapi kalau mengajak
? Jangan terlalu berharap, To!
Aku meneruskan pekerjaanku. Kini tak memijit lagi, tapi menelusuri
lengkungan pinggulnya yang indah itu, membelai. Habis tak tahan.
“Uuuuh” desahnya lagi menanggapi kenakalanku. Keterlaluan aku
sekarang, kedua tanganku ada di balik dasternya, mengelus mengikuti
lengkungan samping pinggul.
“Too …. ” panggilnya lagi. Kulepas tanganku, kudekati wajahnya dengan
merangkak di atas tubuhnya bertumpu pada kedua lutut dan telapak
tanganku, tidak menindihnya.
“Ada apa, Tante” panggilku mesra. Mukaku sudah dekat dengan wajahnya.
Matanya kemudian terpejam, mulut setengah terbuka. Ini sih ajakan. Aku nekat, sudah kepalang, kucium bibir Tante perlahan.
“Ehhmmmm” Tante tidak menolak, bahkan menyambut ciumanku. Tangan
kirinya memeluk punggungku dan tangan kanannya di belakang kepalaku.
Nafasnya terdengar memburu. Aku tidak lagi bertumpu pada lututku,
tubuhku menindih tubuhnya. Menekan. Ia membuka kakinya. Aku menggeser
tubuhku sehingga tepat di antara pahanya yang baru saja ia buka.
Kelaminku yang keras tepat menindih selangkangannya. Kutekan. Nikmatnya!
“Ehhhmmmmmm” reaksinya atas aksiku.
Kami saling bermain lidah. Sedapnya!
Aku terengah-engah.
Dia tersengal-sengal.
Tangan kananku meremas dada kirinya. Besar, padat, dan kenyal! Ooooohhhh, aku melayang.
He!, ini Tantemu, isteri Oommu!
Iya, benar. Memangnya kenapa.
Mengapa kamu cium, kamu remas dadanya.
Habis enak, dan ia tak menolak.
Dua kancing dasternya telah kulepas, tanganku menyusup ke balik kutangnya.
Selain besar, padat, dan kenyal, ternyata juga halus dan hangat!
Tiba-tiba Tante melepas ciumanku.
“Jangan di sini, To” katanya terputus-putus oleh nafasnya.
Tanpa menjawab aku mengangkat tubuhnya, kubopong ia ke kamarnya. “Uuuuuhhh” lenguhnya lagi.
“Ke kamarmu saja”
Sebelum sampai ke dipanku, Tante minta turun. Berdiri di samping dipan. Aku memeluknya, dia menahan dadaku.
“Kunci dulu pintunya” Okey, beres.
Kulepas seluruh kancingnya, dasternya jatuh ke lantai. Tinggal kutang
dan celana dalam. Buah dada itu serasa mau meledak mendesak kutangnya!
Kupeluk lagi dia. Dadanya merapat di dadaku.
“Tooo, hhehhhhhhh” katanya gemas seperti menahan sesuatu.
Kami berciuman lagi. Main lidah lagi.
Tangannya menyusup ke celanaku, meremas-remas kelaminku di balik celana.
“Eehhmmmmmm” dengusnya
Dengan kesulitan ia membuka ikat pinggangku, membuka resleting celanaku, merogoh celana dalamku, dan mengeluarkan “isinya”
“Eehhh” Ia melepas ciuman, melihat ke bawah.
“Ada apa Tante” Tanyaku disela-sela dengus nafasku.
“Besar sekali”
Ia mempermainkan penisku. Menggenggam, meremas.
Geli, geliii sekali.
Stop Tante, jangan sampai keluar. Aku ingin pengalaman baru, Tante. Ingin memasuki kelaminmu..sekarang!
Kutarik tangannya dari penisku. Untung Tante menurut. Aku tak jadi “keluar”
Kulepas tali kutangnya, tapi yang belakang susah dilepas. Tante
membantu. Buah dada itu terbuka. Wow.luar biasa indahnya. Belum sempat
aku menikmat buah itu, Tante memelukku. Meraih tangan kananku,
dituntunnya menyelip ke celana dalamnya. Dibawah rambut-rambut itu
terasa basah. Diajarinya aku bagaimana jariku harus bermain di sana :
menggesek-gesek antara benjolan dan pintu basah itu.
“Uuuuuuhhhhhh, Tooo..”
Dilepasnya bajuku, singletku, celanaku luar dalam. Aku telanjang
bulat. Kutarik juga celana dalamnya. Ia telanjang bulat juga. Luar
biasa. Pinggang itu ramping, perut itu rata, ke bawah melebar
lengkungannya indah. Rambut-rambut halus itu menggemaskan, diapit oleh
sepasang paha yang nyaris bulat. Seluruhnya dibalut kulit yang putih dan
mulusnya bukan main!.
Ditariknya aku ke dipan. Ia merebahkan diri. Kakinya ditekuk lalu
dibuka lebar. Dipegangnya kelaminku, ditariknya, ditempelkannya di
selangkangan. Rasanya terlalu ke bawah. Ah, dia ‘kan yang lebih tahu.
Aku nurut saja. Tangannya pindah ke pantatku. Ditariknya aku mendekat
tubuhnya. Sesuatu yang hangat terasa di ujung penisku.
Tangannya memegang penisku lagi. Belum masuk ternyata.
Disapu-sapukannya kepala penisku di pintu itu. Sementara ia menggoyang
pantatnya. Geliii, Tante. Aku manut saja seperti kerbau dicucuk hidung.
Memang belum pengalaman! Didorongnya lagi pantatku. Meleset!
Pernah kupikir waktu pertama kali aku melihat kelamin Tante beberapa
hari lalu, mana cukup lubang sesempit itu menampung kelaminku yang lagi
tegang ?
Tante membuka pahanya lebih lebar lagi, mengarahkan penisku lagi, dan
aku sekarang yang mendorong. Kepalanya sudah separoh tenggelam, tapi
macet!
“Kelaminmu besar, sih!”keluhnya. Padahal barusan ia mengaguminya.
Ia menggoyang pantatnya dan…bless. Masuk separoh.
“Aaaaahhh” teriak kami berbarengan. Terasa ada sesuatu yang menjepit penisku, hangat, enak!
Pantatnya bergoyang lagi, tumitnya mendorong pantatku.
Blesss..masuk lagi. Makin hangat, makin sedap, dan geli.
Goyang lagi, aku dorong sekarang. Masuk semuanya
Seedaaaaaaaaap!
Tante bergoyang.
Nikmaaaaaaaat!
Tante menjepit.
Geliiiiiiiiiiiiiiii!
Kutarik pelan. Terasa gesekan, enak. Ya, digesek begini enak. Tarik sedikit lagi, dan kudorong lagi.
“Idiiiiiiiiiiih, sedaaaaapp Too” Tante berteriak, agak keras.
Geli di ujung sana. Tariik, dorooong
Makin geli..
Geli sekali…
Tak tahaaaaaann…
“Tahan dulu, To”
Tak mungkin, sudah geli sekali.lalu..
Aku melambung, melayang, melepas..
“Aaaaaahhhhhhh” teriakku. Nikmatnya sampai ke ubun-ubun.
Mengejang, melepas lagi, berdenyut, enak, melepas lagi, nikmat sekali..!
“Genjot lagi, To” teriaknya
Mana bisa.
“Ayo, To”
Aku sudah selesai!
Tante masih menggoyang
Aku ikut saja, pasif
“Tooooo, ..”
Tante gelisah, goyangnya tak kubalas. Aku sudah selesai!
“Eeeeeeeeehh” keluhnya, sepertinya kecewa.
Bergerak-gerak tak karuan, menendang, menggeliat, gelisah..
Penisku mulai menurun, di dalam sana.
Tante berangsur diam, lalu sama sekali diam, kecewa.
Tinggal aku yang bingung.
Beberapa menit yang lalu aku mengalami peristiwa yang luar biasa,
yang baru kali ini aku melakukan. Baru kali ini pula aku merasakan
kenikmatan yang luar biasa. Kenikmatan berhubungan kelamin.
Nikmatnya susah digambarkan.
Hubungan kelamin antara pria yang mulai menginjak dewasa dengan wanita dewasa muda.
Sama-sama diinginkan oleh keduanya.
Keduanya yang memulai.
Berdua pula yang melanjutkan, keterusan dan…kepuasan.
Kepuasan ? Aku memang puas sekali, tapi Tante ?
Itulah masalahnya sekarang.
Aku menangkap wajah kecewa pada Tante.
Perilakunya yang gelisah juga menandakan itu.
Aku jadi merasa bersalah. Aku egois.
Aku mendapatkan kenikmatan luar biasa sementara aku tak mampu memberi kepuasan kepada “lawan mainku”, Tante Yani.
Terlihat tadi, ia ingin terus sementara aku sudah selesai.
Aku bingung bagaimana mengatasi kebisuan ini.
Aku masih menindih tubuhnya. Penisku masih di dalam.
Buah dadanya masih terasa kencang mengganjal dadaku.
Pandangannya lurus ke atas melihat plafon.
Aku harus ambil inisiatif.
Kucium pipinya mesra, penuh perasaan.
“Maafkan saya, Tante”
Tante menoleh, tersenyum dan balas mencium pipiku.
Sementara aku agak lega, Tante tak marah.
“Kamu engga perlu minta maaf, To”
“Harus Tante, saya tadi nikmat sekali, sebaliknya Tante belum
merasakan. Saya engga mampu, Tante. Saya belum pengalaman Tante. Baru
kali ini saya melakukan itu”
“Betul ? Baru pertama kamu melakukan ?”
“Sungguh Tante”
“Engga apa-apa, To. Tante bisa mengerti. Kamu bukannya tidak mampu.
Hanya karena belum biasa saja. Syukurlah kalau kamu tadi bisa menikmati”
“Nikmaaat sekali, Tante”
Tante diam lagi, mengelus-elus punggungku. Nyaman sekali aku seperti ini.
“To ” panggilnya.
“Ya, Tante”
“Ini rahasia kita berdua saja ya ? Tante minta kamu jangan katakan hal ini pada siapapun”
“Tentu Tante, tadinya sayapun mau bilang begitu” Tiba-tiba aku ingat sesuatu. Mendadak aku jadi cemas.
“Tante ”
“Hhmm”
“Gimana kalau Tante nanti ..” Aku tak berani meneruskan.
“Nanti apa ?”
“Akibat perbuatan tadi, lalu Tante ..”
“Hamil ?” potongnya.
“Ya ”
“Engga usah kamu pikirkan. Tante sudah jaga-jaga”
“Saya engga mengerti Tante”
“To, lain kali saja ya Tante jelasin. Sekarang Tante harus mandi, Oommu ‘kan sebentar lagi datang”
Ah, celaka. Sampai lupa waktu. Aku bangkit hendak mencabut.
“Pelan-pelan To” katanya sambil menyeringai, lalu matanya terpejam
“Eeeeeehhh” desahnya hampir tak terdengar, ketika aku mencabut kelaminku.
Kubantu ia mengenakan kutangnya. Buah dada itu belum sempat aku nikmati. Lain kali pasti!
“Tante ” aku memanggil ketika ia sudah rapi kembali.
Kupeluk ia erat sekali, kubisikkan di dekat kupingnya
“Terima kasih, Tante” lalu kucium pipinya.
“Ya ” jawabnya singkat.
“Sana mandi, cuci yang bersih niih” katanya lagi sambil menggenggam penisku waktu bilang ‘niih’
Ooohhh, nikmatnya hari ini aku.
Malam ini pertama kali aku ciuman dengan nikmat, pacaran sampai
“keterusan”. Pertama kali penisku memasuki kelamin wanita. Pertama kali
aku menumpahkan “air” ku ke dalam tubuh wanita, tidak ke perut atau ke
lantai.
Lebih istimewa lagi, wanita itu adalah Tante Yani.
Wanita dengan tubuh yang luar biasa.
Bentuknya, potongannya, halusnya, padatnya, putihnya, bulunya…..
Padahal wanita itu sudah 26 tahun, sepuluh tahun di atas usiaku. Tapi
lebih padat dari Si Ani yang 17 tahun, lebih manis dari Si Yuli yang
sepantaranku, lebih indah dari Si Rika yang seumurku.
Yang masih mengganjal, wanita itu Tanteku, isteri Oom Ton. Ya, aku
meniduri isteri Oomku! Aku mendapatkan pengalaman baru dari isterinya!
Aku memperoleh kenikmatan dari meniduri isterinya. Isteri orang yang
membiayai sekolahku, yang memberiku makan dan tempat tinggal!
Betapa jahatnya aku. Betapa kurangajarnya aku.
Aku sekarang jadi pengkhianat!
Mengkhianati adik misan ayahku!
Tapi, keliru kalau semua kesalahan ditimpakan kepadaku.
Siapa yang menyuruh memijat ?
Okey, seharusnya memijat saja, kenapa pakai mengelus ?
Pakai meremas pantat ? Habis, siapa yang tahan ? Aku masih 16 tahun,
masih sangat muda, tapi sudah matang secara seksual, mudah terrangsang.
Tante sendiri, kenapa tidak menolak ? Bisa saja ia menempelengku
ketika aku mau mencium bibirnya di karpet itu. Bisa saja ia menolak
waktu aku membopongnya ke kamarku. Dan aku, bisa saja memberontak waktu
ia merogoh celana dalamku, waktu ia menggenggam kelaminku dan diarahkan
ke kelaminnya….
Kesimpulannya : salah kami berdua!
Tapi, aku ingin mengulangi ……….!
***
Paginya, kami sarapan bertiga, Aku, Oom, dan Tante. Aku jadi tidak
berani menatap mata Oom waktu kami berbicara. Mungkin karena ada
perasaan bersalah. Sedangkan Tante, biasa-biasa saja. Sikapnya kepadaku
wajar, seolah tak terjadi apa-apa. Tak ada pembicaraan penting waktu
makan.
Tante bangkit menuangkan minuman buat Oom. Kupandangi tubuhnya. Aku
jadi ingat peristiwa semalam. Rasanya aku tak percaya, tubuh yang ada di
depanku ini, yang sekarang tertutup rapat, sudah pernah aku tiduri. Aku
ngaceng lagi..
Susah sekali aku berkonsentrasi menerima pelajaran hari ini.
Pikiranku ke rumah terus, ke Tante. Bagaimana ia “menuntunku” masuk.
Bagaimana aku mulai belajar “menggesek”, terus keenakkan. Aku ingin
lagi…!
Tante bagaimana ya, apakah ia ingin lagi ? Aku meragukannya,
mengingat semalam ia tidak puas. Jangan-jangan ia kapok. Tadi pagi
sikapnya biasa saja. Mestinya sedikit lebih mesra kepadaku. Memangnya
kamu ini siapa.
Lebih baik begitu, wajar saja, ‘kan ada suaminya.
***
Dua hari kemudian ketika aku pulang sekolah, kulihat ada mobil Oom di
garasi. Apakah Oom Ton tak ke kantor hari ini ? Atau jangan-jangan Oom
tahu kalau aku ..
Ah, jangan berpikir begitu. Dua hari terakhir ini sikap Oom kepadaku
tak ada perubahan apa-apa. Sikap Tante juga wajar-wajar saja. Justru aku
yang kelimpungan. Bayangkan. Setiap hari ketemu Tante. Aku selalu
membayangkan “dalam”-nya, walau pakaian Tante tertutup rapat. Lalu,
terbayang, aku sudah pernah menjamah tubuh itu, dan terangsang lagi.
Selama dua hari ini aku betul-betul tersiksa. Terlihat paha Tante
yang sedikit tersingkap saja, aku langsung “naik”. Ooh..! Aku ingin
lagiiiiii.
Siang ini aku makan sendirian. Kamar Tante tertutup rapat. Oom pasti
ada di dalam, mobilnya ada. Tante juga tentunya. Mungkin mereka sedang
…? Siang-siang ? Biar saja, toh suami-isteri. Sekejap ada rasa tak
nyaman. Tanteku sedang ditiduri suaminya…! Aku iri! Memangnya kamu siapa
?
Baru saja aku selesai menyantap sendok terakhir makananku, kemudian
mengangkat gelas, ketika tiba-tiba pintu kamar terbuka, Tante keluar,
mengenakan baju tidur. Aku terpana. Tanganku yang sedang memegang gelas
berhenti, belum sempat minum, terpesona oleh Tante dengan baju tidurnya.
Kelihatan ia baru bangun tidur, melihatku.
“Sudah pulang, To”
“Udah dari tadi Tante”
Ia tutup pintu kamarnya kembali lalu mendekatiku, dan tiba-tiba
mencium pipiku erat, lenganku merasakan lembutnya sesuatu yang
menandakan Tante tak memakai kutang.
Hampir saja aku menumpahkan air minum karena kaget.
“Ada kabar gembira.”katanya berbisik. Sebelum aku berreaksi atas aksinya itu, Tante sudah beranjak ke belakang meninggalkanku.
Aku jadi penasaran. Penasaran pada benda lembut yang mendesak lenganku tadi, serta pada kabar gembira apa ?
Ketika Ia kembali lagi, aku berdiri untuk memuaskan rasa penasaran tadi.
Tante menempelkan telunjuknya ke mulut sambil matanya melirik ke kamar. Aku mengerti isyarat ini. Jangan ganggu, ada suaminya.
Sejam kemudian kulihat Oom Ton duduk di sofa ruang tengah bersama
Tante. Oom Ton berpakaian rapi berdasi, seperti hendak ke kantor,
sedangkan Tante mengenakan daster pendek tak berlengan berkancing
tengah, daster kesukaanku. Terlihat segar, baru saja mandi, mungkin.
“Tarto” Oom Ton memanggilku.
“Ya, Oom”
“Oom mau ke Bandung, dua hari. Kamu jaga rumah ya ?”
Ini rupanya kabar gembira itu!
“Baik, Oom, kapan Oom berangkat ?”
“Sebentar lagi, jam tiga”
Dua hari Oom tak ada di rumah, tentunya dua malam juga. Dua malam aku menjaga rumah, bersama Tante.
Dua malam bersama Tante ? Bukan main!. Eit, jangan berharap dulu, ya. ‘Kan tadi Ia bilang kabar gembira ?
Kok kamu yakin kabar gembiranya Tante adalah karena Oom ke Bandung ? Jangan sok pasti ya!
Aku melirik Tante, Ia biasa-biasa saja.
Pak Dadan datang membawa tas di bahunya, masuk garasi menghidupkan mesin mobil.
“Papa berangkat ya, Ma”
“Ya, Pa, hati-hati di jalan, ya ?”
“Mama juga hati-hati di rumah”
Oom mencium pipi Tante, lalu menciumi Si Luki.
“Jaga baik-baik, ya To”
“Ya, Oom”
Seisi rumah mengantar Oom sampai depan pintu pagar, melambai sampai mobilnya berbelok ke jalan Tebet Timur Raya.
Semuanya masuk ke rumah kembali. Hatiku bersorak. Dadaku penuh berharap dan kepalaku penuh rencana.
Luki dibawa pengasuhnya ke rumah sebelah. Mbak meneruskan
pekerjaannya di belakang. Aman. Tinggal aku dan Tante. Kuberanikan
diriku. Kupeluk Tante dari belakang. Betul ‘kan, Tante tak memakai
kutang. Wah, sudah lama sekali aku tak menyentuhnya.
Tante sedikit kaget, lalu berbalik membalas pelukanku. Cuma sebentar, melepaskan diri.
“Sabar, dong To”
“Tante …” Serak suaraku.
“Nanti malam saja ”
Aha, rencana di kepalaku bisa terlaksana malam ini.
Kami duduk berdampingan di sofa, sedikit berjarak. Aku nonton TV, Tante membaca.
Aku tak tahan lagi, penisku sudah tegang dari tadi. Sekarang baru jam
setengah empat sore. Berapa jam lagi aku mesti menunggu ? Oh, lama
sekali.
Tante, tolonglah aku. Aku tak sanggup lagi menunggu.
Kulihat sekeliling meyakinkan situasi. Luki masih sama si Tinah di tetangga. Mbak Mar menyetrika di belakang. Aman!
Kupegang tangan Tante yang sedang ada di pahanya. Dengan begini aku
bisa meremas-remas tangannya sambil merasakan lembutnya paha. Ia
sesekali membalas remasanku, tetap membaca.
Ditariknya tangannya untuk membuka halaman buku bacaannya, tanganku “tertinggal” di pahanya. Kesempatan.
Kuusap lembut pahanya. Paha itu masih seperti yang kemarin, padat, kenyal, halus, berbulu lembut. Masih tetap membaca.
Aku makin berani, tanganku bergerak ke atas menyusup dasternya.
Kuusap celana dalamnya. Nafasnya mulai terdengar meningkat “volume”nya.
Diletakkannya buku itu sambil menghela nafas panjang.
“To., kamu engga sabaran, ya ?” katanya sambil memegang tanganku di bawah sana.
“Maafkan saya Tante, saya.. saya ..engga kuat lagi Tante, saya ingin
lagi, Tante” Kataku terputus-putus menahan birahi yang mendesak.
Kelaminku juga mendesak.
“Masih sore, To”
“Tolonglah., Tante, saya membayangkan terus setiap ..hari” kataku
setengah memohon. Aku yakin Tantepun sebenarnya telah terangsang,
terlihat dari nafasnya dan aku merasakan basah di celananya. Aku sudah
sampai pada titik yang tak mungkin surut kembali. Situasi sekeliling
aman. Jadi, apa lagi selain berlanjut ?
“Saya mohon, Tante” kini aku betul-betul memohon.
Ditariknya tanganku dari paha, lalu dituntun ke dadanya. Permohonanku diterima.
Kuremas buah dada itu yang hanya ditutupi selembar kain daster.
“Eeeeeeehhh” desahnya.
Tiga hari lalu, waktu aku pertama kali meniduri Tante (memang baru
pertama kali aku berhubungan sex), aku belum sempat menikmati buah dada
ini. Waktu itu kami sudah sama-sama terangsang sehabis aku memijatnya.
Aku baru sempat meremasnya, itupun dibalik kutang. Lalu ketika kutangnya
sudah terbuka, Tante sudah keburu menuntun kelaminku memasukinya.
Sekaranglah kesempatan untuk menikmati dada itu.
Kubuka kancing dasternya, satu, dua, tiga.
Dada itu mengagumkan.
Putih, besar, menonjol, bulat, bergerak maju mundur seirama nafasnya,
putingnya kecil agak panjang tegak lurus ke depan berwarna merah jambu.
Aku berlutut di depannya, kusingkirkan daster itu, kucium belahan dadanya yang seperti parit kecil di antara dua bukit.
Halusnya buah itu dapat kurasakan di kedua belah pipiku.
Mulutku bergerak ke kiri, ke dada bagian atas, terus turun,
kutelusuri permukaan bukit halus itu dengan bibir dan lidahku. Sementara
tangan kananku mengusapi buah kirinya. Luar biasa, kulit itu haluuus
sekali! Tangannya mengusap-usap belakang kepalaku. Penelusuranku
berakhir di puncaknya. Kumasukkan putting itu kemulutku, kukemot.
“Aaaaaaaahhh” lenguhnya pelan sekali.
Tangannya menekan kepalaku.
Kukemot lagi, kuhisap, kupermainkan dengan lidahku, putting itu
mengeras. Puting satunya lagi juga mengeras, terasa di antara telunjuk
dan ibujari tangan kananku.
Ada kesamaan gerak antara mulut dan tangan kananku. Kalau mulutku
mengulum puting, jari-jariku memilin puting sebelahnya. Bila bibir dan
lidahku merambahi seluruh permukaan buah yang sangat halus itu, telapak
tanganku merambah pula. Seluruh permukaan dada itu demikian halus,
sehingga ada sedikit yang tak halus di sebelah puting agak ke bawah
menarik perhatianku.
Kulepaskan muluku dari dadanya, ingin memeriksa. Di sebelah puting
dada kiri Tante ada bercak merah. Kuperhatikan dan kuraba. Seperti bekas
gigitan. Oh. Aku ingat tadi siang waktu makan. Ini pasti “hasil kerja”
Oom Ton di kamar yang terkunci tadi..
Akupun ingin. Betapa enaknya menggigit buah kenyal ini.
Dada kanan bagianku. Kucium puting itu kembali, geser sedikit, aku mulai menggigit.
Tiba-tiba Tante mendorong kepalaku.
“Jangan, To. Kamu..mikir, dong” katanya sambil terengah-engah.
Ah, bodohnya aku. Kalau kugigit tentu nanti berbekas, jelas pemilik sahnya, Oom Ton, akan curiga!
“Maafkan saya Tante, habis gemas sih.”
“Yahhh.engga apa-apa. Kamu harus ingat, ini rahasia kita saja”
Dipegangnya dadanya sendiri lalu disodorkannya ke mulutku. Gantian,
sekarang dada kiri dengan mulutku, yang kanan dengan tangan kiriku….
Sudah saatnya untuk pindah ke kamar.
Aku bangkit berdiri. Tante masih tergolek duduk. Kancing tengah
dasternya sudah semuanya terlepas, menyibak kesamping, tinggal celana
dalamnya saja. Dada itu rasanya makin besar saja.
Kutarik kedua tangan Tante, tapi ia melepaskannya. Dibukanya
gesperku, lalu kancing celanaku, dan ditariknya resleting dan celana
dalamku. Penisku yang tegang itu keluar dengan gagahnya persis di depan
mukanya.
“Uuuuuuuuuhhhh” Tante melenguh pelan memegang kelaminku, dielusnya.
“Kok besar sekali sih To, punyamu ini”
Kuraih badannya, kubimbing ia ke kamarku sambil masih memegang senjataku, tertatih-tatih kami berdua.
Kukunci pintu kamarku, kurebahkan Tante perlahan di dipanku, kulucuti pakaianku, dengan bertelanjang bulat kudekati Tante.
Dengan perlahan kupelorotkan celana merah jambu itu. Kembali aku
bertemu dengan rambut halus hitam mengkilat itu. Ada cairan bening di
sana. Kutindih tubuhnya lalu kakinya menjepit tubuhku. Kamipun
berciuman, saling menggigit lidah. Lalu akupun tak tahan lagi.
Aku bangkit. Kubuka kakinya lebar. Lubang sempit itu terbuka sedikit,
merah. Sekarang aku tak perlu dituntun lagi. Aku sudah tahu.
Kutempelkan kepala penisku ke lubang sempit itu, lalu kudorong
hati-hati.
“Aaaaaaaaaaahhhhh, To, sedaaaaaap”
Kepalanya sudah masuk. Nikmaaaaaaaaaat!
Aku heran, lubang sesempit itu bisa “menelan” kepala penis besarku. Kenapa kupikirkan ? Yang penting enak.
Sambil memegangi kedua belah dadanya, aku mendorong lagi. Enak-enak
geli atau geli-geli enak. Entah mana yang benar. Kudorong lagi, Aaah
lagi, enak lagi, geli lagi.
Lagi kudorong, sampai habis, sampai mentok.
“Idiiiiiiiiiiiiih, Toooo, enak sekali”
Nyaman, sudah didalam seluruhnya.
Pinggul Tante mulai berputar. Aku tahu tugasku, menarik dan
mendorong. Mulut Tante mengeluarkan bunyi-bunyian setiap aku mendorong.
Melenguh, mendesah, kadang menjerit kecil, atau kata-kata yang tak
bermakna.
Kejadian tiga hari lalu berulang. Baru beberapa kali “tusuk” aku
sudah merasakan geli luar biasa. Nampaknya aku tak mampu menahan lagi.
Ah, kenapa begini ? Aku tak bisa tahan lama. Aku cemas jangan-jangan
Tante nanti kecewa lagi. Tapi bagaimana lagi, aku sudah hampir tiba di
puncak.
Aku coba berhenti bergerak sambil menahan agar jangan sampai keluar
dulu, persis kalau aku menahan kencing. Tapi begitu aku diam, pantat
Tante langsung berputar. Seluruh bagian tubuh yang di dalam sana
memeras-meras kelaminku. Oh, aku tak akan berhasil menahan diri.
Langsung saja aku bergerak lagi, makin cepat malah. Ocehan Tantepun
makin ngawur.
Aku jadi cepat, makin cepat dan semakin cepat, lalu ……. badanku
bergetar hebat, mengejang, berulang, memuntahkan, mengejang lagi, muntah
lagi…
Tante berhenti berputar, lalu menjepit kakiku, menerima pelepasanku.
Rasanya aku mengeluarkan banyak sekali
Lalu akupun ambruk di atas tubuh Tante.
Aku selesai. Selesai menggetar, selesai mengejang, selesai melepas,
selesai semuanya. Tanteku selesai terpaksa. Aku yakin ia kecewa lagi.
“Tante, gimana Tante, saya engga bisa menahan lagi …”
“Hmmm, To”
“Maafkan lagi saya, Tante. Saya gagal”
“Sudahlah, To”
“Saya hanya memuaskan diri sendiri”
“Tante bilang sudahlah, kamu lumayan tadi”
“Lumayan gimana Tante ?”
“Ada kemajuan dibanding yang lalu. Tante merasa enak, tadi”
“Tante bohong! Tante cuma menghibur saya”
“Benar, To. Memang Tante merasa belum “tuntas”, tapi kocokanmu tadi bisa Tante nikmati”. Aku agak tenteram.
“Ini karena kamu belum biasa, To. Tante yakin, lama-lama kamu akan mampu. Barangmu kerasnya luar biasa”
“Gimana caranya supaya saya bisa lama, Tante ?’
“Nanti kamu akan tahu sendiri”
“Ajarin saya ya, Tante”
Tante tak menjawab. Akupun berdiam diri. Lama kami berdua membisu.
Tante melihat jam, pukul empat sore, lalu bangkit mencari-cari pakaiannya yang berserakan.
“Tante mandi dulu, ya ?”
Aku membantunya berpakaian.
Merapikan karet celana dalamnya, mengkaitkan kutangnya, mengancingkan
dasternya. Ada sesuatu yang lain kurasakan. Aku merasa demikian “mesra”
membantunya berpakaian. Aku serasa membantu isteriku!
Ya, barusan aku merasa meniduri isteriku.
Kupeluk Tante erat sekali, agak lama. Lalu kucium pipinya dalam-dalam.
“Tante”
“Apa, To ?”
“Tarto sayang Tante” kataku tiba-tiba.
Dipandangnya mataku lurus-lurus.
“Apa maksudmu To”
“Engga tahu Tante, pokoknya saya sayang sama Tante. Tante jangan kapok, ya ? Tarto ingin kita terus begini”
“Oh, itu maksudmu. Asal kamu bisa jaga rahasia”
“Bisa, Tante”
“Juga harus hati-hati”
“Iya,Tante”
Tanpa kusadari, penisku bangun lagi.
“Sudah, mandi sana” Tante ke luar kamarku
***
Malam itu aku nonton TV sendirian. Tante ada di kamarnya, tertutup.
Aku kesepian. Aku mengharapkan Tante akan ke luar dari kamar menemaniku
di sini. Kemudian aku mendekatinya, lalu ciuman, raba-raba, dan
…diakhiri dengan hubungan suami-isteri.
Heran aku, baru tadi sore aku dipuaskan oleh Tante di kamarku, malam
ini aku ingin lagi! Aku ingin kenikmatan itu lagi. Aku tetap menunggu.
Jam 9 malam. Tante belum juga muncul.
Pukul 9.30, tidak juga.
Kemarilah Tante, aku merindukanmu.
Malam ini adalah malam pertama Oom tak ada di rumah. Ayolah Tante, ini kesempatan yang tak boleh dilewatkan.
Atau kuketuk saja pintunya, lalu aku masuk ?
Ah jangan. Itu kurang ajar, namanya.
Tubuh indah itu sendirian di kamar.
Buah dada putih itu tak ada yang mengelusnya.
Kelamin berambut halus itu tak ada yang memasukinya malam ini.
Kenapa engkau tidak ke luar ?
Barangkali Tante memang tidak membutuhkannya. Paling tidak malam ini.
Ya, kalau ia butuh tentunya akan mendekatiku.
Jam 10, belum ada tanda-tanda.
Aku putuskan, malam ini memang Tante tak mau diganggu. Biar sajalah.
Toh besok siang, sore, atau malam masih ada kesempatan. Oom Ton menginap
di Bandung dua malam. Yah, besok sajalah.
Tapi aku ingin malam ini!
Aku ingin malam ini kelaminku masuk dan kemudian mengeluarkan cairan dengan nikmat!
Kemudian aku mengeluarkan penisku yang sudah tegang itu. Kata Tante
punyaku ini besar. Entah benar-benar besar, aku tak tahu. Sebab aku
belum pernah lihat punya orang lain.
Karena tidak ada Oom Ton, aku jadi makin berani menggoda Tanteku.
Seperti waktu sarapan tadi. Aku mengelus-elus bahu dan lengan atasnya
yang terbuka di meja makan. Bahkan mencium pipinya.
“Hati-hati, To”
“Ya, Tante, Kan saya lihat-lihat keadaan dulu”
“Mar ada di belakang” katanya.
“Tante”
“Ehm ?”
“Tarto sayang Tante”
“Aku udah ada yang punya, To” katanya sambil mencubit pahaku. Aku senang.
“Ya. Pokoknya saya sayang” Jangan-jangan aku jatuh cinta benar-benar sama Tanteku ini.
“Semalam Tante ke mana. Saya tunggu-tunggu”
“Ya. Tante tahu, kamu nonton TV. Kamu masuk kamar jam 10 ‘kan ? Masa’
mau terus-terusan”. Aku lega, Tante tak tahu perbuatanku semalam yang
menyelinap ke kamar Mbak Mar.
“Iya dong. Mumpung ada kesempatan. Sekarang juga saya mau” kataku nakal.
“Gila, kamu To. Awas jangan sampai mengganggu sekolahmu!”
“Habis Tante betul-betul menggemaskan” Aku ngaceng lagi!
“Udah ah, berangkat sana, nanti telat”
“Tapi nanti lagi ya Tante, janji dulu”
“Lihat dulu nanti”
Bagaimana tidak mengganggu sekolah, seharian aku ingat Tante terus. Membayangkan apa yang akan kuperbuat nanti bersama Tante.
***
Di kelas aku jadi sering melamun, membayangkan waktu aku menyelusuri
seluruh permukaan dada Tante dengan mulut dan lidahku. Membayangkan
bagaimana kelaminku secara perlahan memasukinya…
Bel tanda pulang berbunyi. Aku bersorak. Ingat ke rumah, ingat malam
ini Tante menjadi milikku. Akan kureguk semua kenikmatan dari tubuh
Tante. Pokoknya nanti akan kunikmati seluruhnya, mulai dari ujung rambut
sampai ujung kaki, sampai puas.
Memang aku bisa puas, tapi bagaimana dengan Tante ? Dua kali aku
berhubungan kelamin dengan Tante, dua-duanya aku bisa mengeluarkan
spermaku ke dalam lubang kelamin Tante, sampai puncak, sampai puas. Tapi
Tante tidak. Aku jadi cemas, jangan-jangan nanti aku juga begitu. Tapi
aku ingat, yang kedua kemarin tante bilang aku ada kemajuan. Hal ini
sedikit menghiburku. Mudah-mudahan yang ketiga nanti dengan bertambahnya
pengalamanku, ada kemajuan lagi. Aku agak tenang sekarang.
Di rumah sepi-sepi saja. Tak ada siapapun, juga Tante. Aku makan
siang sendirian. Tante mungkin ada di kamar, pintu kamarnya tertutup.
Kuselesaikan makan siangku dengan cepat, lalu duduk saja di meja makan,
berharap Tante akan keluar dari kamarnya. Setengah jam berlalu, masih
sendiri. Aku ke ruang keluarga nonton TV. Duduk di sofa lalu ingat,
kemarin di sini aku menikmati buah dada Tante dengan tuntas. Diam-diam
punyaku mulai tegak, padahal hanya membayangkan yang kemarin. Ditambah
lagi acara TV menyajikan fashion show di Sydney, Australia. Peragawati
cantik-cantik yang berlenggok di catwalk itu umumnya tak memakai kutang.
Kalau model bajunya berdada rendah, belahan dadanya jelas. Kalau
bahannya tipis, putingnya menonjol. Apalagi peragawati yang punya dada
besar, buahnya berguncang waktu ia melenggang. Aku tambah tegang, makin
pusing karena terangsang. Oh. Tante sayang, kemanakah engkau. Aku
membutuhkanmu sekarang!
Tiba-tiba pintu kamar Tante terbuka. Aku menoleh. Kepala Tante nongol
memberi isyarat padaku dengan mengangguk-angguk. Nasibku memang
beruntung. Jelas ini isyarat ajakan masuk. Tapi masak di kamar itu,
kamar pribadi Oom dan Tante. Aku ragu, bengong saja belum bereaksi atas
isyaratnya. Sekali lagi Tante mengangguk, kali ini sambil mengedipkan
kedua matanya. Dengan pasti aku melangkah menuju kamarnya. Kepala Tante
lenyap. Aku masuk langsung menutup pintu kamarnya dan mengunci.
Di ranjang besar itu Tante terlentang. Mengenakan baju tidur tipis,
sehingga samar-samar celana dalam dan kutangnya terlihat. Matanya sayu
memandangku, berkaca-kaca. Kutang itu bergerak naik-turun menandakan
nafas Tante sudah memburu.
Aku tak tahan melihat pemandangan yang menggairahkan ini, segera saja aku menghampirinya. Tapi…
“Tunggu dulu. Buka dulu dong, pakaianmu” perintahnya. Okey, tanpa
dimintapun aku akan membuka. Sementara aku membuka pakaian sampai
telanjang bulat, Tante memelorotkan celana dalamnya dengan posisi masih
terlentang. Kini di balik baju tidur tipis itu nampak rambut-rambut
halus yang menggemaskan itu.
Belum sempat aku bergerak, ada lagi ‘ulah’ Tante.
Ditariknya gaun tidur tipis itu perlahan, memperlihatkan paha bulat
itu. Ditarik lagi keatas sampai pusarnya nongol. Kelamin berambut halus
dan perutnya terbuka terhidang di depanku. Luar biasa. Tante menyajikan
’strip tease show’ di depanku! Ada-ada saja Tante ini.
Dengan ’senjata’ yang tegak keras aku menghampiri tubuh indah ini.
Kucium rambut-rambut halus itu sebentar. Gemasnya aku.
“Aaaaaaaahhhh” teriak Tante.
Aku berpindah ke atas, kulumat bibirnya sambil meremas sebelah
dadanya. Kutang itu perlu disingkirkan dulu seharusnya, tapi aku tak
sempat. Tanganku sebelah lagi bergerak ke bawah. Eh, Tante sudah basah!
Benjolan dan pintu itu licin.
“Hhhhhhhhmmmmmmmm..” Tante tak mampu melenguh karena bibirnya aku kunci dengan bibirku.
Disingkirkannya tanganku yang sedang asyik di bawah, dipegangnya
kelaminku, lalu diarahkannya ke ‘pintu’. Rupanya Tante ingin memulai
sekarang. Mungkin sama dengan aku, sudah sama-sama terangsang lebih dulu
sebelum bergumul. Aku terrangsang oleh bayanganku dan peragawati tadi,
Tante terangsang entah oleh apa.
Aku mulai ‘masuk’
“Aduhh! Pelan-pelan, To!” Tante mengaduh, memang masukku tadi agak kasar.
“Maaf Tante, habis engga tahan sih..”kataku tersengal.
Kamipun saling menggenjot. Lucu kelihatannya kali ini. Tante masih
mengenakan gaun tidur dan kutangnya, kelamin kami sudah saling pagut…
Hasilnya, seperti kemarin.
Aku ‘keluar’ lebih dulu, sementara Tante belum terpuaskan benar.
Kentara dari pinggulnya yang masih mencoba menggoyang sambil kakinya
menjepit pinggangku.
Kembali aku kecewa.
Kalau kelaminku sudah bergesekan dengan kelamin Tante, disamping rasa
nikmat, juga rasa geli luar biasa. Jika sudah geli begitu, aku tak
sanggup lagi menahan untuk jangan sampai ke puncak dulu.
Kembali aku gagal memuaskan Tante.
Kembali aku berusaha menetralkan suasana yang tak enak ini.
Kuelus buah dada yang putingnya masih tegang itu dengan penuh
perasaan, lalu kucium perlahan. Tante mengusap kepalaku. Kucium pipinya
dengan mesra.
“Tante..”
“Hmmm”
“Saya..engga..”
“Udahlah..Tante tahu. Kamu engga usah merasa apa-apa. Tante maklum kok. Kamu tadi lumayan, sudah ada kemajuan”
“Tapi Tante kan belum …”
“Engga usah kamu pikirin. Tante mengerti” katanya menentramkan sambil mengelus-elus dadaku.
“Saya engga bisa bertahan lama, Tante”
“Sudah lumayan, kok. Tante tadi juga merasa nikmat. Kamu udah mulai pintar mengocok tadi”
“Saya bisa merasakan Tante tadi belum puas”
“Iya, memang wanita membutuhkan waktu yang lebih lama dibanding laki-laki. Tapi kamu tadi ada kemajuan dibanding kemarin”
“Tak adil rasanya. Saya merasakan kenikmatan luar biasa, sedangkan Tante belum”
“Sudahlah, To. Tak perlu kamu pikirkan. Tante mengerti”
“Terima kasih Tante” Kupeluk tubuhnya erat. Erat sekali.
Diciumnya pipiku, lalu merebahkan kepalanya di dadaku. Aku mengelus rambutnya.
“Tubuhmu atletis sekali. Dadamu bidang” katanya sambil tangannya menelusuri dadaku.
“Iya, Tante. Dulu saya kerja di kebun. Saya juga sering olahraga”
Tiba-tiba tangan Tante ke bawah menggenggam punyaku.
“Kelaminmu besar sekali”
“Ah, masa Tante. Saya kira biasa-biasa saja”
“Apalagi kalau lagi tegang”. Kulirik punyaku, sudah agak surut.
“Tubuh Tante luar biasa” balasku.
“Kalau lagi tegang keras dan panas” komentarnya lagi masih tentang penisku, mengabaikan pujianku.
“Buah dada Tante indah sekali”
“Ah, masa. Dibanding punya siapa” pancingnya.
“Siapa saja” Aku pura-pura terpancing.
“Berarti kamu sering lihat buah dada, ya” Kubalikkan badannya.
“Besar, bulat, kenyal, putih, licin, halus lagi” kataku sambil melihat dekat-dekat buah itu.
“Buah dada siapa yang kamu lihat” tanyanya sambil menggoyang-goyang kelaminku yang masih berada digenggamannya.
“Cuma baru ini” jawabku sambil mulai merabai permukaan dadanya.
“Jujur aja, To. Dada siapa yang pernah kamu lihat” katanya lagi. Tante penasaran rupanya.
“Sungguh mati Tante. Cuma punya Tante yang pernah saya lihat”
“Yang bener, To” tangannya tidak menggenggam lagi, tapi mengelus kelaminku.
“Benar Tante”
“Kok tahu bagus ?”
“Saya hanya lihat punya teman-teman sekolah. Itupun dari luar”
“Pernah kamu pegang ?” Tangannya masih mengelus, aku mulai terangsang.
“Ih, engga lah, Tante. Bisa gempar, dong”
“Jadi, tahunya punya Tante bagus, dari mana ?”
“Pokoknya, dari luar, punya Tante paling besar” Ujung jariku mempermainkan putingnya. Putting itu mulai mengeras.
“Tante”
“Hmm ?”
“Apa setiap buah dada ujungnya begini ?’
“Begini gimana”
“Panjang, mungil, tapi keras”
“Mungkin. Punyamu mulai keras”
Aku seperti disadarkan. Memang aku sudah terangsang akibat percakapan
tentang dada dan elusan Tante pada kelaminku. Aku mau lagi. Kenapa
tidak ? Mumpung masih ada kesempatan. Oom Ton paling cepat besok siang
pulangnya. Segera saja kukulum putting yang sejak tadi kupermainkan.
“Eeeeehhhhhmmmmmmm..” Tante melenguh panjang.
Tanganku ke bawah mencari-cari di antara ‘rambut-rambut’. Basah di sana. Kugosok yang basah itu.
“Uuhmmmm….Aaahhhhhhh..Uuhhmmmmm” desahnya agak keras, mengikuti irama gosokanku. Kelaminku diremas-remas. Enak.
“To… Hhheeeehhhggh..sedap, To..Hhheeeeeghh”
Tante makin ribut, aku khawatir kalau sampai terdengar dari luar
kamar. Ah, tak ada orang ini. Aku makin giat menggosoki tonjolan kecil
di bawah sana.
Tante makin ribut, menceracau tak karuan
Gosok lagi.
Teriak dia lagi. Akhirnya…
“Udah, To.ampun..Ayo To, sekarang To, sekarang…!”
Aku bangkit. Kelaminku yang sudah keras kupegang pangkalnya,
kuarahkan. Tante membuka kakinya lebar-lebar. Demikian lebarnya sampai
kedua lututnya ke atas, menyuguhkan kelaminnya yang membasah, tepat di
depan kelaminku.
Aku masuk.
Kudorong perlahan.
“Oooohhh, To..sedapnya….”
Sudah tenggelam separoh. Kudorong lagi.
“Aduuuuhhhh, mamaaaa, nikmatnya…” teriaknya lagi.
Kudorong lagi.
Sudah masuk seluruhnya.
Kurebahkan tubuhku menindih tubuhnya. Tanganku ke belakang
punggungnya. Kudekap erat tubuhnya, lalu aku mulai menggenjot.
Sedaaaaaaaapp.
Bertumpu pada kedua lututku, aku menarik dan mendorong pinggulku.
Nikmaaaaaaaaaattt.
Entah kata apa saja yang keluar dari mulut Tante aku tak peduli. Terus saja menggenjot, naik-turun, keluar-masuk.
Aku nikmati benar gesekan kelaminku pada dinding vagina Tante.
Kadang selagi punyaku didalam, Tante “mengikat” pahaku dengan kakinya
sambil memutar pantatnya. Kurasakan sentuhan seluruh relung kelaminnya
pada kelaminku.
Luar biasa sedapnya.
“To…hhehh.kamu…hhehh..kok..hhehh..”Tante mencoba bicara disela-sela nafasnya yang memburu.
“Keenaapaa . hheehh.. Taanntee…hhehh”
“Kamu….kok…lama…”
Baru aku menyadari, sudah puluhan kali kelaminku kugenjot keluar-
masuk-putar, tapi aku tak merasakan geli seperti biasanya. Yang
kurasakan hanya nikmat. Rasa geli yang tak bisa kutahan yang kemudian
membuat aku ke ‘puncak’, kali ini tak kurasakan! Heran!
“Engga …tahu.. Tante..”
“To, Oh my God..heeeehhhhhh”
“Enak…Tante…?”
“Wooow….luar biasa…”
Genjot dan genjot lagi
“Kamu..masih…lama..To..?”
“Masih…Tante.”
Memang aku belum merasakan “geli menuju puncak”
“Diam. dulu,.. To”
Aku menghentikan genjotanku. Posisiku masih “di dalam”.
Tangan Tante memeluk erat punggungku, sementara kakinya mengikat
pahaku. Lalu tubuhnya bergerak miring hendak merobohkan tubuhku. Aku
bertahan, tak tahu maksudnya.
“Gantian, To…Tante di atas.”
Baru aku tahu maksud gerakan Tante ini. Kuikuti gerakannya, tapi..
“Jangan.sampai…lepasss”
Rupanya gerakan robohku terlalu cepat, sehingga kelaminku sedikit
tercabut. Untung Tante cepat mengimbangi gerakanku, hingga punyaku
“masuk lagi”.
Sekarang kami sudah sempurna berbalik posisi. Tante yang menindihku.
Hanya sebentar. Tante lalu perlahan bangkit mendudukiku. Kelamin kami
tak terlepas. Tante mulai bergerak. Aneh, gerakannya maju-mundur!
Rasanya lain pula, tapi sama sedapnya! Dengan posisi begini gesekannya
terasa lain. Kadang diputar, seperti diperas. Kadang Tante “jongkok”,
pantatnya naik-turun, sedap juga.
“Aaaahhhh..kamu..nakal” teriaknya ketika dia berjongkok membenamkan kelaminku, aku mengangkat pantatku.
Kedua tanganku diraih, dituntun ke dadanya. Kuremas dada yang tambah licin kena keringat.
Entah sudah berapa lama akhirnya Tante capek juga. Dia rebahkan
tubuhnya. Kupeluk. Kumiringkan, aku ingin di atas lagi. Tante menurut.
Dengan hati-hati kami mengubah posisi, agar jangan terlepas. Aku
berhasil.
“Kamu…udah..pintar..”pujinya.
Dengan posisi di atas aku jadi bebas menggenjot. Lagi-lagi Tante teriak.
“Terus..To.., Tante…hampir…”
Terus. Tusukanku makin menggila. Teriakannya makin keras.
Rasa geli datang, dimulai dari ujung penis, terus menjalar ke seluruh
tubuh. Makin geli. Makin cepat aku menarik-tusuk.
Kesemutan…mengambang..melayang..dan…….
“Aaaaaaaaaaaaaaahhhhhhhh….”
Seeeerrr, denyut-denyut, seeerrr, bergetar, serrrrr,
berguncang..seer. Entah sudah berapa kali seerr, yang jelas setiap kali
keluar aku merasakan kenikmatan yang tak bisa kugambarkan dengan
kata-kata. Begitu nikmat. Aku sampai lupa memperhatikan tingkah Tante.
Badannya telah bergeser ke atas karena ku”dorong” dengan tusukanku.
Bantalnya bukan lagi di kepala, tapi di punggung. Sedangkan kepala
terkulai, mata melihat ke atas, bibir terkatub rapat seluruh tubuh
gemetaran. Teriakannya ? Tak perlu kuceritakan. Agak lama juga aku dan
Tante bergetaran begini, merasakan puncaknya kenikmatan hubungan
kelamin…….
Lalu, hanya nafas kami berdua yang terdengar, seolah berebut mengisap oksigen untuk mengembalikan enerji yang keluar.
Lalu barangsur pelan, makin beraturan.
Tante masih “terkapar”
Aku lunglai di atas tubuhnya.
Ini keempat kalinya aku bersetubuh dengan Tante. Yang terakhir inilah
kurasakan sangat berbeda dibanding tiga kali yang terdahulu. Lebih
nikmat, lebih memuncak, lebih lama, lebih banyak aku mengeluarkan
“air”ku, lebih bergetar, pokoknya …..susah diceritakan. Pengalaman baru
tentang rasa nikmat.
Dan lagi, mudah-mudahan pengamatanku tak salah, Tante begitu
menggelepar, mengerang, teriak, berbeda dengan sebelumnya, Tante kali
ini kelihatan “selesai”. Semoga begitu.
“Ooh..To., kamu hebat” Diciumnya pipiku dengan gemasnya.
“Apanya yang hebat, Tante”
“Kamu betul-betul lelaki” tambahnya
“Memang dari dulu saya laki-laki. Ini buktinya” Kusodorkan kelaminku, menusuk perutnya.
“Laki-laki yang jantan” diremasnya penisku dengan gemas.
“Auu” teriakku
“To…luar biasa..” Tak putus-putusnya ia memujiku.
“Enak engga tadi, Tante ?”
“Wow. bukan main. Sangat!”
Kupeluk tubuhnya. Aku merasa bahagia sekali.
“Tante sayang..” Aku berbisik semesra mungkin.
Agak kaget Tante memandangku, lalu tersenyum. Manis sekali!
“Ada apa ‘yang ?” Wuih, mesra banget. Tante memanggilku ‘yang’.
“Saya sayang Tante” Kucium bibirnya.
“Hhmmmmmmm” lenguhnya.
“Kalau lama, enak sekali ya Tante”
“Kok kamu tadi bisa lama”
“Engga tahu, Tante. Mungkin karena tadi ronde kedua”
“Atau mungkin karena kamu udah mulai pandai”
“Yang pandai gurunya”
“Huuuu” cibirnya sambil mencubit kontolku. Aku senang.
“Guruku yang cantik”
Dicubitnya hidungku.
“Dan berpengalaman” godaku lagi.
“Aaah, udahlah, To”
Kami diam lagi.
“To.” panggilnya tiba-tiba.
“Ya.sayang”
“Jangan tinggalin Tante, Ya”
“Oo, engga dong. Masa Tante yang jelita begini mau ditinggalin”
“Tante serius, To”
“Saya juga serius, Tante. Saya membutuhkan Tante. Saya ingin begini setiap hari, Tante”
“Saya butuh kamu” Nah ini baru pernyataan. Ini pernyataan baru. Tante membutuhkanku ? Bukankan ia punya suami ?
“Oom Ton gimana Tante”
Tiba-tiba wajah Tante berubah, agak sedih kulihat.
“Tante….ah engga. Pokoknya kita harus hati-hati, To. Ingat pesanku
‘kan ? Tante juga senang kita bisa begini terus. Tapi hati-hati, ya ?”
“Pasti, Tante. Saya akan hati-hati. Tapi Tante mau kan, tiap hari”
“Nanti kamu bosan”
“Saya sudah bilang, Tarto sayang Tante. Tarto butuh Tante. Tarto
ingin menikmati setiap hari. Tadi Tante bilang membutuhkan Tarto.
Maksudnya gimana Tante ?”
“Iya.sama seperti kamu, Tante juga ingin setiap hari”
Klop ‘kan ? Keinginan yang sama, saling membutuhkan, saling
memuaskan, dan….saling menyayangi. Apakah ini yang dinamakan cinta ? Ya,
apakah kami saling mencintai ? Aku memang tak ingin kehilangan Tante,
tapi Tante sendiri bagaimana ? Apakah ia membutuhkanku karena mencintai
keponakannya ini ? Atau karena aku baru saja memuaskannya ? Bagaimana
dengan suaminya ? Jangan-jangan ia tak mendapatkan kepuasan dari Oom Ton
? Aku ingin mendapatkan jawaban dari pertanyaan terakhir ini, tapi mana
berani aku menanyakan langsung kepada Tante. Ah, itu tak penting. Yang
penting, aku sekarang punya kekasih yang luar biasa, yang bisa membuatku
melayang-layang di puncak kenikmatan.
Lelah benar aku malam ini. Bayangkan, malam ini dua kali aku
“bertempur”. Terutama yang terakhir tadi, permainan lama yang
betul-betul menguras tenagaku. Aku sekarang ingin istirahat.
Masih agak sempoyongan aku bangkit mengumpulkan pakaianku.
“Mau ke mana To ?”
“Saya ingin tidur, Tante”
“Sudah tidur sini aja, temanin Tante”
“Saya senang sekali Tante, tapi besok Oom ‘kan pulang ?”
“Paling cepat besok siang” Aku memperhatikan Tante yang dengan malas
bangkit. Tubuh wanita ini memang luar biasa. Aku benar-benar beruntung
mendapatkannya. Masih telanjang bulat Tante berjalan menuju kamar mandi.
Tak lepas mataku menatapnya.
“Kenapa, To” Tante merasa aku tatap begitu.
“Tante memang indah” kataku sambil bergantian menatap dada dan ‘rambut’ bawahnya.
“Kamu memang nakal. Sudahlah, bersih-bersih dulu baru kita tidur”
Di dalam kamar tidur Tante yang luas ini ada kamar mandi yang luas
pula. Ada dua wastafel cermin lebar, bath-tube, dan tempat untuk
mengguyur (douce) yang berpintu kaca agak buram.
Di bath-tube kami saling membersihkan, Tante menyabun tubuhku sementara aku mengguyur tubuhnya, lalu gantian. Ah, mesra sekali.
Lalu berdua kami tidur berpelukan dibawah selimut yang hangat, tanpa
pakaian. Tante yang punya ide begini. Enak juga. Jam dinding menunjuk
waktu 11.32. Dua ronde permainan makan waktu hampir 3 jam. Pantas saja
aku lelah.
Dengan tergagap aku terbangun. Dimana aku in ? Tante masih ada di
pelukanku. Kulihat sekeliling, ah aku tidur di kamar pribadi Oom Ton dan
Tante Yani!
Ada rasa enak di bawah sana. Ooh, Tante sedang asyik mengelus-elus
penisku yang tegang. Setiap bangun pagi, tanpa dieluspun penisku memang
tegang. Elusan ini yang membuat aku terbangun. Kulihat jam dinding,
pukul 05.17. Ah , sudah pagi, aku harus siap-siap. Tapi Tante ini..
Tante memandangku, tersenyum, seperti biasa : manis.
“Punyamu udah keras, To” Buah dada itu menyembul karena terpepet dadaku. Aku terangsang.
Langsung saja aku raih buah indah itu. Putingnya sudah keras. Kami
berpagutan. Aku ingin tahu kesiapan Tante pagi ini, tanganku ke bawah
sana. Sudah basah rupanya. Mengingat waktu, aku ingin segera mulai.
Tantepun paham.
Kembali aku melakukan ‘pertempuran’ panjang melawan Tante.
Rasanya jalan ke puncak masih lama.
Aku mempercepat “pompaan”ku
Belum juga.
Aku terus melumat bibir Tante, mencegah “kicauan”nya yang makin keras, khawatir terdengar Mar yang sangat mungkin sudah bangun.
Ganti posisi
Percepat lagi.
Hampir
Ubah posisi
Akhirnya, aku makin yakin seperti yang Tante katakan, bahwa aku lelaki tulen, jantan, hebat….
Pagi yang melelahkan sekaligus menyegarkan……!
Tante memberikan bukti, bukan hanya janji. Kami bersetubuh hampir
tiap hari, kecuali kalau Tante senam. Waktu yang dipilihnya adalah siang
hari, waktu saya baru pulang sekolah, di kamarku. Ini demi keamanan.
Siang hari adalah saat yang paling aman. Saat Si Mar sedang sibuk
bekerja di belakang, Si Luki bermain dengan pengasuhnya di rumah
sebelah, dan saat Oom Ton belum pulang kantor. Siang hari memberikan
Tante cukup waktu untuk membersihkan diri, menghilangkan “bekas”.
Aku jauh dari bosan, seperti yang dikhawatirkan Tante. Karena aku
memang sangat menikmati hubungan ini. Faktor lain yang membuat aku tak
bosan adalah kreativitas Tante. Seperti yang kukemukakan di awal tulisan
ini, ada saja ide Tante untuk membuat kejutan untukku setiap
berhubungan kelamin. Entah itu posisi berhubungan, atau acara
“pembukaan”, tambahan ronde, dan lain-lain yang membuat aku merasa
“lain”.
Pernah sekali waktu ketika aku pulang sekolah, ia sudah siap di
dipanku memakai selimutku sebatas dada dan tak memakai apa-apa lagi di
balik selimut itu. Kejutan yang membuatku “terbakar”.
Lain kali lagi ia memintaku “masuk” dari belakang. Bertumpu pada
lututnya ia ‘nungging’, aku bermain sambil memegangi pantatnya yang
bahenol itu.
Saat yang lain lagi, kami ‘bertempur’ di atas meja belajarku. Ia
duduk di pinggiran meja membuka kaki, aku ‘masuk’ sambil tetap berdiri.
Pernah juga di kursi belajarku. Aku duduk di kursi yang dirapatkan ke
dinding, ia duduk di atas pahaku berhadapan. Dengan posisi begini ia
bebas “memilih” posisi tusukan kelaminku di vaginanya. Posisi atau gaya
apapun, yang jelas membuat kami berdua menuju puncak bersamaan atau
hampir berbarengan.
Kejutan yang susah kulupakan serta merupakan pengalaman baru bagiku adalah seperti yang akan kuceritakan di bawah ini.
Seperti yang sudah-sudah, pulang sekolah setelah ganti baju, aku
langsung menemui Tante meminta “jatah” bersetubuh. Aku sebut jatah
karena kalau malam hari Tante bukan milikku lagi, tapi jatah suaminya.
Siang itu ruang tengah sepi, Tante mungkin ada di kamarnya, kulihat
pintunya sedikit terbuka. Aku ingin masuk ke kamarnya, kali ini aku
ingin main di kamarnya, karena sejak “semalam 3 ronde” itu aku tak
pernah lagi making love di kamar itu, selalu di kamarku. Kuperiksa
keadaan sekeliling dulu. Aman.
Aku masuk kamarnya. Tante mengenakan kimono sedang mengikat
rambutnya. Kukunci pintu, kupeluk Tante dari belakang, menggerayangi.
Tak ada apa-apa lagi di balik kimono itu.
“Hhmmmmm..sebentar ya ‘yang, Tante mau mandi dulu”
“Engga usah mandi juga Tante tetap wangi” kataku terus menjelajahi tubuhnya.
“Entar biar segar. Sabar dulu ya..” Aku menghentikan aksiku.
“Saya ikut mandi Tante” kataku bercanda.
“Ayolah, kita mandi bareng” Tak kusangka Tante menganggapnya serius. Ayo, kalau begitu.
Aku langsung bertelanjang, menuntun Tante memasuku kamar mandi. Tante
membuka kimononya, bertelanjang bulat juga, masuk ke ruang douce. Tak
bosan-bosannya aku memandangi tubuh indah ini, padahal hampir tiap siang
aku menggumulinya.
“Ayo, To” ajaknya.
“Kita main di sini Tante ?” nakalku timbul.
“Hush, sekarang kita mandi dulu, kapan-kapan bolehlah”
Tanganku yang bersabun menggosoki dadanya. Di bagian putting sengaja
kutekan-tekan. Tante juga menggosok dadaku dengan sabun. Lalu perutnya,
dan ke bawah lagi. Tangan Tante juga ke bawah. Diusapnya dengan sabun
‘rambut’ bawahku, kemudian dipegangnya batang kelaminku, digosok juga.
Karuan saja batang itu membesar.
“Hiiiiii, bangunnya cepet bener” Aku menikmati gosokannya. Tante
benar-benar teliti, semua bagian dari alat vitalku itu dibersihkan
dengan sabun lalu diguyur. Enak.
Aku ikut-ikutan. Seluruh bagian kelaminnya aku bersihkan. Kalau aku
lagi menggosok “pintu” kelaminnya, kulihat mata Tante merem-melek
keenakan.
Selesai mengeringkan badan aku langsung menubruk Tante.
“Heee, jangan disini To, ingat dong” Oh ya. Siang begini terkadang si
Luki suka masuk ke kamar, tentu diikuti si Tinah. Berbahaya.
Aku berpakaian, hanya pakaian luar saja, pakaian dalam aku bawa, menyingkat waktu.
“Hiiiii, lucu.” kata Tante mengomentari tonjolan di celanaku. Tantepun hanya memakai daster, tanpa pakaian dalam.
Aku masuk kamarku duluan, langsung berbugil. Sejurus kemudian Tante
menyusul, juga langsung bertelanjang bulat. Kami langsung bersatu,
saling raba dan saling pagut. Kali ini mungkin tak ada kejutan yang
dibuat Tante. Atau ya itu tadi, mandi dulu sebelum main. Betul juga kata
Tante, lebih segar.
Aku meringkik kegelian ketika Tante menciumi pusarku. Ini mungkin kejutannya, tak biasanya Tante begitu.
Tapi, Tante terus ke bawah menciumi ‘rambut’ku. Lebih kaget lagi,
tangannya menggenggam kelaminku dan mulai menciumi barang yang sudah
mengeras itu! Bukan main! Geli-geli nikmat. Bahkan..
“Aaaaaaaahhhh” aku mengerang ketika kepala penisku dimasukkan ke mulutnya!
Luar biasa nikmatnya. Ini rupanya mengapa Tante begitu teliti membersihkan kelaminku waktu mandi tadi.
“Tante…”
Tante seolah tak mendengar panggilanku, terus saja asyik melahap
barangku. Tante sanggup memasukkan barang itu hingga separohnya. Sewaktu
di dalam, jelas kurasakan lidah Tante ikut bermain menggelitiki
penisku. Woooow sedapnya tak terkira .!
Sungguh ini pengalaman baru bagiku. Nikmatnya terasa lain. Entah apa
yang dirasakan oleh Tante. Kok mau-maunya ia melakukan ini. Aku sih
keenakan. Aku perhatikan bagaimana ia sibuk mengeluarkan-memasukkan
penisku, kepalanya naik-turun berirama.
“Aaaahhhhhhh…hhmmmmmmmm…ssssshhhhhhhh..sed ap, .. Tante.,
…Tante..pintar .sekali…” celotehku menahan nikmat. Bagaimana nanti kalau
aku tak mampu menahan diri ? Masa aku menyemprotkan spermaku ke mulut
Tante ? Ah, bagaimana nanti saja, yang penting sekarang….sedaaaaaaaaaap.
Tiba-tiba Tante melepas “makanan”nya, disapunya barangku dengan kain
dasternya yang tergeletak di dipan. Aku merasa kehilangan sesuatu.
Dikeringkan. Lalu…dikulum lagi…! Nikmaaaaat..
Dilepaskannya lagi, barangkali mau dilap lagi. Ternyata tidak, badannya digeser sehingga kaki Tante berpindah ke arah kepalaku.
“To, .. ayo cium, To..”katanya terengah. Sejenak aku bengong tak mengerti permintaannya.
“Kamu cium ini…” katanya kemudian sambil menunjuk ke selangkangannya.
Okey, Tante, toh aku sudah sering mencium ‘rambut-rambut’ halusmu itu.
Aku mulai mencium.
“Ke bawah lagi, dong To..” Ke bawah ? berarti disitunya ? Hal baru, kenapa tidak ?
Kucium tonjolan kecil yang sudah keras itu. Asin rasanya.
“Aaaaaaaahhhhhhhh, sedap To, terus…”
Kini lidahku yang menyapu-nyapu pintu dan tonjolan tadi
“Yaaaahhh. yaaaaaa…begitu enak…” katanya sambil mulutnya menyergap lagi batang kelaminku.
Ada cairan yang asin rasanya.
Di kemudian hari aku baru tahu bahwa yang sedang aku dan Tante lakukan sekarang ini namanya “posisi 69″
Dalam mengulum ini Tante pintar sekali, banyak variasinya.
Keluar-masuk, kadang menyedot-nyedot, bermain lidah, sesekali menggigit
(aku langsung teriak).
Akupun diajarinya bermain. Menggelitik ‘lubang’ dengan lidahku,
menggigit kelentitnya (pelan, tentu saja), menyapu bibirku ke
“bibir”nya.
Asyik juga bermain seperti ini. Masing-masing sibuk, masing-masing merasakan nikmatnya.
Entah sudah berapa lama kami bermain begini. Untung saja aku berhasil
menahan diri untuk tidak keluar. Aku sekarang memiliki ketrampilan baru
untuk mengontrol diri, mengatur diri kapan saatnya ‘keluar’. Kalau
tidak, masa aku menyiram mulut Tante dengan maniku.
Sampai akhirnya….
“Ayo, To….sekarang.To….”
Aku memutar tubuhku, sementara Tante rebah terlentang membuka kakinya, siap menerima tusukanku.
Aku masuk dengan gemas.
Tante menerima dengan antusias.
Untuk kesekian kalinya kami saling menggenjot.
Bersama menuju puncak.
Berbarengan menggelepar.
Sudah itu
Sama-sama lemas
Sama-sama puas.
Oh, betapa bahagianya aku.
Kebutuhan lahir dan batin terpenuhi.
Kurang apa lagi ?
***
Tak ada yang kurang pada diri Tante. Cantik, putih, tubuh bagus,
permainan di tempat tidur luar biasa, dan kreatif. Kreativitas Tante
tercermin dari cara bersetubuh. Ada saja yang dilakukannya yang
membuatku merasa bersetubuh dengan orang baru. Selalu ada hal baru dalam
setiap permainannya. Sejak Tante memperkenalkan “posisi 69″, aku selalu
minta dikulum penisku sebagai acara pembukaan. Tante juga amat
menikmati permainan lidahku di vaginannya.
Seperti biasa sepulang sekolah aku mendekati Tante untuk melaksanakan ‘tugas’ rutin, bersetubuh.
Aku sudah membuka resleting celanaku, mengeluarkan penisku yang
tegang di dekat Tante yang sedang duduk di tepi ranjang, masih
berpakaian lengkap, di kamar Tante yang sudah kukunci. Yah, semacam
pemberitahuan bahwa aku sudah siap. Tapi tante menyambut dengan dingin,
tak seperti biasanya. Ia hanya mengelus-elus. Ketika dengan kurang ajar
aku mendekatkan kelaminku ke mulutnya, ia hanya mengecup lembut
kepalanya, tidak dikulum seperti biasanya, paling-paling hanya
menggenggam.
“Tante engga bisa sekarang, To”
“Kenapa Tante ?”
“Tante lagi …itu..”
“Lagi apa, Tante ?”
“Lagi mens.”
“Mens ? Apa itu Tante ?”
“Kamu engga tahu ?”
“Bener, Tante. Saya sungguh engga tahu” Memang aku tidak tahu.
“Begini, setiap bulan wanita yang sudah dewasa mengalami masa menstruasi. Wanita yang normal pasti mengalami”
Lalu Tante memberiku kuliah tentang menstruasi itu. Bahkan ditunjukkannya kepadaku celana dalamnya yang berbalut itu.
“Kalau begitu, besok saja ya, Tante” pertanyaan bodoh memang.
“Engga bisa To. Masa mens biasanya sekitar seminggu. Tapi kalau Tante sekitar 4 – 5 hari.”
Wah, menunggu 4 – 5 hari, mana tahan ?
“Tapi Tante, saya ingin …”
“Engga, To. Sabar aja ya, yang…”
Aduh, pusing juga aku, keinginan sudah sampai ke kepala.
“Bagaimana kalau begini saja Tante..” Kataku sambil menempelkan penisku ke bibir Tante, minta dikulum.
“Engga bisa juga, To. Itu namanya kamu egois. Kamu bisa puas, tapi kalau Tante terangsang, gimana ?” Benar juga kata Tante.
“Maafkan saya, Tante. Saya sungguh-sungguh belum tahu” kataku sambil memeluknya dengan mesra.
“Engga apa-apa, To. Tante maklum”
Dimasukkannya penisku, celana dalamku dibetulkan letaknya, lalu ditutupnya resleting celanaku. Mesra sekali.
“Awas, ya. Jangan cari sasaran lain” katanya.
Kucium kedua belah pipi Tante, dengan mesra juga.
“Engga dong, Tante. Emangnya apaan.”
Ternyata ada yang belum aku ketahui tentang wanita
Sekarang masalahku, mana bisa aku menunggu 4 – 5 hari tanpa bersetubuh, setelah hampir tiap hari menikmati.
Pulang sekolah agak kaget aku mendapati Tante duduk di sofa, membaca. Kucium pipinya.
“Engga senam, ‘yang ?”
“Engga, lagi banyak-banyaknya”
“Apanya yang banyak ?”
“Ah, kamu. Ya mens-nya” Aku mengerti. Tapi berarti hilang juga
kesempatanku siang ini menyatroni mBak Mar. Paling tidak aku harus
menunggu 2 hari lagi, jadwal senam Tante berikutnya, atau menunggu
sampai Tante “bersih”.
Malamnya, terkantuk-kantuk aku menunggu Oom Ton dan Tante masuk
kamar. Pukul 10.15 mereka masih asyik menonton TV. Aku masuk kamar
duluan, gelisah. Setengah jam berikutnya kudengar TV dimatikan, lampu
tengah juga, lalu kudengar suara pintu ditutup dan dikunci.
***
Sengaja aku datang ke sekolah lebih pagi. Hari in ada ulangan Fisika
dan aku merasa belum siap. Di rumah aku tak bisa konsentrasi belajar,
ingatanku ke Tante melulu. Apalagi sekarang udah beberapa hari aku tak
bersetubuh, pusing aku, mana bisa belajar di rumah. Pagi ini kesempatan
terakhirku untuk belajar Fisika menghadapi ulangan nanti. Belum banyak
kawan yang datang, cuma ada Tono, Edi dan Rika yang lagi ngrumpi. Dito
belum nongol. Aku ambil bangku paling belakang, mojok, lalu mencoba
berkonsentrasi. Lumayanlah dalam setengah jam aku bisa memecahkan
soal-soal yang kuperkirakan akan keluar nanti. Juga beberapa rumus
sempat “masuk’ ke otakku, sampai seseorang datang menghampiriku dengan
senyuman yang amat manis. Yuli memang manis, apalagi kalau senyum. Masih
ingat dengan Yuli, pembaca ? Yuli teman sekelasku yang kugambarkan
badannya biasa-biasa saja, dadanya menonjol wajar dan wajahnya manis.
Akhir-akhir ini kami makin akrab, sebatas dalam pelajaran lho! Sering
saling meminjam buku catatan, diskusi soal-soal PR, atau cuma ngomongin
guru-guru. Makin dekat kurasakan Yuli makin menarik, dadanya makin
menonjol aja. Aku sudah berada di pelukan Tante sih, jadi aku kurang
memperhatikan Yuli. Entah ini hanya ge-er saja, kulihat Yuli begitu
ceria kalau berdekatan denganku.
“Rajin bener. belajar Fisika ya..?” tegurnya sambil duduk di sebelah kananku.
“Ah engga. Justru karena aku males, baru sempet belajar sekarang” sahutku
“Pinjam catatan Matematiknya dong Tar”
“Matematik ? Kan entar ulangan Fisika”
“Iyyaa. Tapi kemarin gua engga sempet nyatet jawaban soal kemarin”
Aku ulurkan buku Matematik, sambil memgang tangannya. Yuli membiarkan
tanganku meremas tangannya, meskipun kemudian dia tarik tangannya,
without any words. Tanda “penerimaan”. Tangannya halus bener .. Lalu dia
dengan serius memelototi catatanku itu. Anak ini memang serius banget
kalau belajar. Mataku tak lepas memperhatikannya. Dia mungkin tahu aku
melihatnya, tapi pura-pura tidak tahu. Ah .. Ini dia. Di sela-sela
kancing bajunya, aku sempat “mencuri” keindahan sebelah buah yang tumbuh
di dadanya. Hanya sedikit sih, tapi cukup membuatku “berdiri”. Apalagi
daging itu terlihat sedikit naik-turun seirama tarikan nafasnya. Ah
seandainya ..khayalanku melayang tinggi. Kuperiksa keadaan sekeliling.
Masih sepi, memang masih pagi sih. Hanya ada 2 kawan yang tadi, lagi
asyik menulis. Sekaranglah waktunya! Toh 2 teman tadi menghadap ke depan
kelas, tak akan melihat bila aku “menggarap” Yuli.
Segera saja tangan kananku merangkul bahu Yuli. Tak ada reaksi. Aksi
kuteruskan dengan memegang dagu dan menariknya. Mata Yuli sedikit
membelalak, agak kaget mungkin, tapi tak ada tanda-tanda penolakan. Ah.
bibir merah membasah yang menggairahkan. Kucium bibirnya. Dan … Yuli
membalas ganas ciumanku..!
Tanganku mulai membuka kancing baju putih itu, lalu empat jariku
menyusup ke balik BH-nya. Halus, padat, dan lumayan besar. Aku meremas.
Yuli melenguh. Jariku mencari-cari putingnya. Mengeras. Tangannya
kepangkuanku. Meremas juga. Sambil masih berciuman, aku melirik dua
temanku tadi, mereka masih tak acuh sibuk sendiri. Aman!
Bibirku menelusuri lehernya yang licin, terus kebawah. Kancing
bajunya sudah terbuka semuanya. Kulepas baju seragamnya, lalu kudorong
Yuli hingga rebah di bangku sekolah!
Aku menindihnya hingga tubuh kami “lenyap” dari pandangan teman-teman
tadi kalau mereka menengok ke belakang. Kuciumi habis-habisan kedua
bukit perawan itu. Aku yakin bukit kembar ini belum tersentuh oleh
“pendaki” manapun. Keras, dan padat. Aku tak sanggup menahan lagi.
Walaupun pakaianku masih lengkap nempel di badan, tapi meriamku sudah
nongol tegak dari rits celana, siap. Kusingkap rok abu-abu itu jauh-jauh
ke atas. Kupelorotkan celana dalam krem-nya…
Amboi … bulu-bulu halus, merata di seluruh permukaan kewanitaanya..
Luar biasa.. Masa aku kerjain di sini, di kelas ? Biar saja. Kalau nanti
ketangkap basah gimana ? Peduli amat. Kalau sudah begini, mana bisa
“delay”, apalagi “cancel”. Lagi pula Yuli sudah merintih-rintih sambil
membuka pahanya agak lebar. We got the point no return!
Mulai sekarang ? Ya, tunggu apa lagi. BH-nya masih nempel. Biar saja,
tak ada waktu lagi. Kutempatkan penisku ke “tempat yang layak”.
Menyapu-nyapu sebentar di seputar pintu-basahnya, lalu mulai menusuk.
“Uuuuhhhhhh ..” Yuli melenguh.
Mentok. Padahal baru “kepala”ku yang tenggelam. Tusuk lagi dengan menambah tekanan.
“Aaaahhhhh .pelan ..pelan ..sakiiit…” Desahnya pelan dan terbata-bata.
Buset! Susah bener. Vagina yang satu ini sempit benar. Apa betul,
Yuli masih perawan .? Mungkin juga. Sebab biasanya kalau sama Tante Yani
tusukan begini sudah mampu mencapai “dasar”.
Aku tusuk lagi lebih kuat, bahkan sekuat tenagaku. Dan …..
“Heh! ngelamun aja!”kudengar suara agak membentak. Suara Yuli!
Aku tersadar.
Aku kembali ke alam nyata.
Kembali dari lamunan nakal.
Lamunan bersetubuh dengan gadis yang duduk di sebelahku ini.
Gadis yang baru saja mengagetanku!
Ah.sialan. Kenapa aku begini ?
Gara-gara mengintip sedikit buah Yuli, aku jadi melayang..
***
Hari berikutnya aku kurang beruntung. Tante ada di rumah mengajakku
ngobrol. Hanya ngobrol. Sayang sekali tubuh molek ini belum bisa
“dipakai”. Sembulan dada bagian atas Tante dan sedikit belahannya cukup
membuatku kepingin.
“Tante…” panggilku dengan suara serak”
“Hmm ?”
“Saya pengin, Tante”
“Kamu itu, engga sabaran, engga pernah puas”
“Bukan begitu, Tante. Saya puas, puas sekali. Cuma ketagihan, habis enak sih. Udah biasa setiap hari…”
“Sabar, dong” katanya sambil menggenggam selangkanganku.
“Eh, udah keras..” katanya lagi.
“Iya, Tante. Saya siap setiap saat” kataku meniru iklan
“Dasar…….! Dua hari lagi”
“Lama bener..”
Besok siangnya lagi, ada kejutan baru untukku. Tidak bersetubuh sih, tapi menyenangkan.
Tante sedang duduk di sofa menyulam. Begitu datang aku langsung
menyingkirkan kain sulamannya, lalu kucium pipi dan kemudian bibirnya.
Aku langsung tahu bahwa dibalik gaun merah jambu, warna kesukaannya,
Tante tak memakai BH.
“Mandi dulu sana, To”
“Udah bisa, Tante ?” tanyaku cerah.
“Ih, kesitu aja pikiranmu. Belum, belum bersih” jawabnya sambil menuntun tanganku ke bawah perutnya. Masih ada pembalut di sana.
“Jadi, gimana dong Tante” kuremas dadanya yang tak berkutang.
“Pokoknya kamu mandi dulu”
Aku mandi dan mengganti baju dengan penuh harap, barangkali ada kreativitas baru dari Tante.
Aku keluar kamar. Ini dia kejutannya. Tante masih duduk di situ,
hanya kancing gaunnya telah dibuka sampai perut, mempertontonkan
sepasang buah dada yang mengagumkan. Luar biasa. Berani benar Tante ini,
bertelanjang dada di ruang tengah. Jelas belum bisa bersetubuh, tapi
kelakuan Tante ini menandakan ada permainan apa lagi nih.
Langsung saja kuserbu buah dada itu.
“Eeeeehhhhmmmmmm” Dengan gemasnya aku mengacak-acak buah indah itu dengan mulut dan tanganku.
Belum puas aku bermain dengan dada, Tante mendorongku sampai aku berdiri di depannya. Lalu.Tante membuka kancing jeans-ku!
“Tante… Si Mar nanti…..”
“Engga ada, lagi pergi…”
Dibukanya resleting celanaku, diturunkannya celana dalamku, lalu
dikeluarkannya penisku yang langsung tegang, digenggam pangkalnya, terus
diciumi ‘kepala’-nya, lalu masuk mulutnya!
Ooooohhh, nikmat sekali permainan baru ini. Suasana baru. Bayangkan.
Di ruang tengah, berdua masih berpakaian, aku hanya mengeluarkan
kelaminku, Tante mengulumnya dengan bertelanjang dada! Oh, indahnya
dunia ini.
“Ooohhhhhhhhh, Tante, …sedaaaaappp.”
Kepala Tante bergerak maju-mundur, sangat perlahan. Terasa sekali bibirnya menjepit dan bergerak menelusuri permukaan penisku.
“Tante..Tante…enaaaaaaaak, Tante..”
Tante terus saja. Tanganku dituntun ke buah dadanya. Aku sampai lupa
diri tak berbuat apa-apa pada Tante. Habis sedap sekali sih!
Kedua tanganku meremasi sepasang buah kenyal itu. Tante terus bekerja. Geli, Tante…!
Ya, geli. Aku hampir ke puncak. Entah mengapa kali ini aku cepat
mendaki. Mungkin karena pintarnya bibir dan lidah Tante merayapi
permukaan kulit kelaminku, atau karena suasana yang aneh ini.
Aku tak mampu menahan lebih lama lagi.
Tante rupanya tahu kalau aku hampir sampai, ia mempercepat
gerakannya. Bagaimana kalau keluar, aku tak tega kalau sampai menumpahi
mulut Tante dengan spermaku.
Segera..ya..segera sampai….
Dilepasnya kulumannya, tangannya yang memegang sapu tangan secepat kilat menutupi kelaminku dan digenggam.
“Aaaaaaaaaahhhhhh” sambil berteriak aku muncrat. Sedaaaaaaap.
Tante meremas.
Muncrat lagi, enak, meremas lagi, muncrat, nikmat, remas, sedap, muncrat, remas….
Beberapa detik aku terbang, kakiku goyah, lalu mendarat ditubuh
Tante. Kucium mulutnya. Masih ada muncratan lagi, tertampung di
saputangan. Ada lagi, makin sedikit…..
Beberapa saat aku masih menubruk Tante, ia masih menggenggam dengan saputangan.
“Terima kasih, Tante…”
“Enak, To ?”
“Sedaaaaaaap, Tante. Tapi lebih nikmat ke sini…” jawabku sambil memegang benda yang masih berpembalut itu.
“Masih pusing ?”
“Hilang, Tante. Lepas sudah…” Keteganganku memang lepas.
“Tante sendiri, gimana dong, Tante ?”
“Engga apa-apa. Ini ‘kan cuma membantu kamu”
Kupeluk lagi Tante lebih erat. Aku makin sayang saja sama Tanteku ini.
“Terima kasih, Tante. Tarto makin sayang sama Tante” kataku jujur.
“Sudah, cuci dulu sana. Ih, banyaknya….”
“Iya, habis sudah tiga hari engga keluar.”.
***
Sejak peristiwa ‘penguluman di ruang tengah’ kemarin itu aku jadi
makin berani ‘kurang ajar’ kepada Tante. Seperti siang ini. Waktu Tante
sedang duduk membaca di ruang tengah, aku mendekatinya dari belakang
dengan kelaminku sudah kukeluarkan, terjulur kutempelkan di pipi Tante.
“He, ngawur kamu.!” Tante kaget. Ditariknya punyaku.
“Aauuu” aku teriak.
“Masukkin, engga aman!”
“Iya Tante, saya tahu. Cuma bercanda”
Di hari berikutnya Tante membalas.
Sewaktu aku sedang makan siang sendiri, Tante mendekatiku, sangat
dekat sehingga perutnya hanya berjarak beberapa senti dari pipiku.
Kucium bawah perutnya. Lalu Tante meraih tanganku, dimasukkan ke balik
gaunnya, langsung vaginanya terpegang. Tak ada celana dalam di balik
gaun Tante.
“Sudah bersih, Tante ?”
“Sudah..”
Kuangkat gaun itu sehingga ‘rambut’ yang menggemaskan itu nampak. Aku
langsung tegang, berarti siang ini bisa. Aku langsung berdiri
meninggalkan makanku, memeluknya.
“Tunggu dulu” kata Tante sambil mendorongku terduduk kembali.
“Kali ini Oommu dulu, ya..” Katanya sambil meninggalkanku masuk ke
kamarnya. Kurang ajar! Oom Ton ada di kamar. Seharusnya aku tahu,
mobilnya ada di garasi. Tante masih sempat melihatku sambil tersenyum,
sebelum ia mengunci kamar.
Aku makin tegang ketika setengah jam kemudian lamat-lamat mendengar suara erangan Tante dari kamar..
Aku masuk kamar, tak tahan di situ.
Tante sudah selesai mens-nya, seharusnya siang ini ia milikku. Tapi Oom Ton merebutnya. Merebut ? Memang Oom Ton pemilik sah.
Aku gagal mencoba berkonsentrasi membaca Fisika, besok ulangan. Bayangan Tante disetubuhi suaminya yang muncul. Ah, sialan..
Setelah mencoba menyadari posisiku, aku jadi agak tenang. Aku ‘kan
hanya kemenakannya yang dibantu, lahir dan batin, kenapa musti sewot ?
Kelaminku mulai surut.
Tapi itu tak lama.
Tiba-tiba Tante masuk, langsung mengunci pintu kamarku. Disodorkan
buah dadanya ke mulutku. Buah itu masih berkeringat, juga wajahnya. Tak
peduli. Aku serbu dada itu, masih duduk di kursi belajarku. Kelaminku
langsung membesar lagi. Tante dengan tergopoh-gopoh membuka resleting
celanaku, mengeluarkan isinya yang sudah keras menjulang. Ia melangkah
naik ke pahaku. Mengarahkan kelaminku ke vaginanya, dan….blessss aku
langsung masuk…! Gila! Tanpa pemanasan dulu Tante langsung main. Di
kursi lagi. Untung aku cepat siap. Jadilah kami ‘berkudaan’ di kursi.
Tante semangat sekali nampaknya. Dengan posisi berpangku berhadapan ia
di atas, Tante leluasa mengeksplorasi penisku. Aku lebih pasif. Hanya
kadang-kadang saja menusuk, soalnya berat, harus mengangkat tubuhnya
dengan pinggulku.
Edan! Setengah jam yang lalu aku mendengar Tante mengerang di
kamarnya bersama Oom Ton, sekarang ia berkudaan denganku, sementara
suaminya (mungkin) sedang pulas di kamar sebelah!
Seakan ia tak ada puasnya. Atau jangan-jangan ia belum puas dengan
suaminya lantas melanjutkan di sini ? Hanya Tante yang tahu. Betapa
trampilnya ia menggenjot. Vaginanya begitu menjepit dan mengurut
penisku, berulang-ulang. Begitu rupa ia menstimulasi kelaminku, membuat
aku cepat naik. Geli sekali. Makin cepat dia, makin geli aku. Tiba-tiba
tangannya mencekram kepalaku kuat sekali. Tubuhnya bergetar hebat,
mengejang. Di dalam sana berdenyut-denyut. Bahuku digigitnya. Getaran
tubuhnya makin hebat, lalu mendadak berhenti menggenjot. Mengerang.
Tante sedang melayang di puncak..
Akupun hampir sampai. Aku sekarang yang menggenjot. Tante teriak.
Vaginanya menjepitku teratur menandakan Tante telah orgasme. Aku tak
peduli, sebab aku belum, cuma hampir sampai, terus menggenjot. Tante
masih mencekeram erat, secara pasif mengikuti gerakan tusukanku yang
naik-turun, lalu…akupun mengejang, melepas. Heran, Tante mengerang lagi,
seharusnya aku yang teriak. Tante ikut menikmati ejakulasiku.
Sejurus kemudian kami diam, masih berpelukan, Tante belum mencabut. Hanya nafas kami berdua yang masih berkejaran.
“Tante hebat…” aku membuka percakapan
“Apanya yang hebat, justru kamu yang hebat. Tante tadi ‘kan duluan”
“Ah, kita hampir bersamaan kok tadi”
“Jadi apa maksudmu hebat”
“Tante bisa dua kali berturutan”
“Ooh itu, engga juga sih..”
“Tadi saya mendengar, waktu Tante sama Oom”
“Ah, masa.?”
“Iya, Tante mengerang, saya jadi ngiri.”
“Kan kamu dapat juga”
“Itulah makanya Tante bisa dua kali”
“Kamu juga bisa dua kali, waktu malam itu.”
“Iya, tapi ‘kan ada jarak waktu”
“Sebenarnya Tante tadi cuma sekali”
“Yang benar, Tante. Barusan Tante ‘kan sampai puncak..”
“Iya. Cuma itu. Sama kamu”
“Tadi sama Oom..” aku mulai menyelidik tentan hubungan Oom dan Tanteku ini.
Tante diam saja.
“Kok diam, Tante” aku benar-benar ingin tahu.
“Ini kan masalah Tante dengan Oom-mu, rahasia dong”
“Please, Tante, cerita dong. Tante kan isteri ku juga” buah dadanya kucium, putingnya masih keras.
“Kamu engga usah tahu”
“Ayolah, Tante”
Tante diam lagi agak lama. Lalu….
“Sama Oommu Tante belum sampai …..” Kaget juga aku. Jadi, tak berhasil orgasme dengan suaminya lalu melanjutkan denganku.
“Ah masa, Tante”
“Itulah kenyataannya, To. Oom-mu engga bisa memuaskan Tante”
Mungkin inilah sebabnya, Tante tiap siang tak menolak aku setubuhi, bahkan menikmati.
“Pantesan……”
“Pantesan apa ?” tanya Tante
“Tadi Tante langsung masuk, engga pemanasan dulu”
“Tante tadi senewen, To. Ada rasa menggantung, ada yang harus dituntaskan”
“Untung saya tadi udah siap”
“Sory ya To…”
“Engga apa-apa, Tante. Saya tadi juga puas. Cuma lebih nikmat kalau pemanasan dulu”
“Kamu harus mulai terbiasa begini, To. Seperti yang Tante bilang
dulu, Tante butuh kamu. Jangan kaget kalau tiba-tiba Tante pengin. Tante
harus mencapai orgasme. Kalau tidak Tante bisa gila..”
“Saya siap, Tante, Betul. Kapanpun Tante butuh saya, silakan saja
Tante. Saya juga menikmatinya, Tante. Tanpa pemanasanpun saya engga
apa-apa. Tadi saya bilang begitu, itu hanya akan lebih nikmat kalau
dengan pemanasan. Kalau tidakpun engga apa-apa”
“Syukurlah, To. Pemanasan gimana yang kamu inginkan, To ?”
“Seperti inilah Tante” jawabku sambil menciumi dadanya.
“Itu kalau kita sempat. Kalau kaya tadi, gimana ?” tanyanya lagi.
“Kan saya siap, Tante”
“Iya sih. Maksud Tante supaya kamu lebih nikmat, kamu perlu pemanasan”
“Yang biasanya kita lakukan sudah dengan pemanasan ‘kan. Cuma tadi
saja, yang tidak” jawabku sekenanya. Pertanyaan Tante sulit kujawab.
“Waktu kamu denger Tante sama Oom tadi, kamu gimana”
“Saya terangsang, Tante”
“Okey, Tante ada ide buat pemanasan kamu, To. Tapi ide gila, mungkin”
“Silakan, Tante. Saya senang sekali. Tante kreatif, saya menikmatinya”
‘Jangan kaget, ya. Kamu tahu kamar si Luki ?”
“Tahu Tante” kamar Luki bersebelahan dengan kamar Tante.
“Disitu kan ada pintu yang tembus ke kamar Tante”
“Saya engga perhatikan, Tante”
“Kalau kunci pintu itu Tante cabut, kamu bisa lihat ke kamar Tante dari lubangnya….kamu ngerti apa yang Tante maksud ?”
“Belum, Tante”
“Lubang kunci itu lurus ke tempat tidur..”
Amboi. Berarti, kalau aku mengintip lewat lubang itu, aku bisa lihat
kejadian tempat tidur Tante. Hubungannya dengan pemanasan,
berarti….hebat, ide yang hebat. Kucium bibir Tante dengan gemas.
“Ide brilian! Setuju banget tante!” kataku gembira.
“Ntar dulu, setuju apa ?”
“Aku akan mengintip Tante sama Oom, sebagai pemanasan”
“Kamu cerdas. Menurut kamu ini gila, engga”
“Engga! Saya mau Tante. Kita coba nanti malam ya.?”
“Semangat banget”
“Pengalaman baru” Aku sangat ingin melihat bagaimana Tante melayani Oom, bagaimana permainan Oom Ton!
Tante diam lagi. Hanya sekejap, lalu.
“To, Tante ingin main sama kamu di tempat terbuka…” kaget lagi aku.
Tempat terbuka ? Aneh. Ini sih hebat banget. Aku ingat kemarin, Tante
mengulumiku di ruang tengah. Nikmat.
“Ide Tante memang hebat-hebat. Saya suka Tante. Tapi aman engga ?
“Itu masalahnya”
“Kita cari kesempatan, Tante. Pasti nikmat deh”
Tante pelan-pelan bangkit, melepas.
“Eeeeeeeeeehhhhhhhhh” lenguhnya mengiringi pencabutan ini.
Di pintu kamarku Tante nengok kanan-kiri sebelum keluar. Aku ke kamar mandi.
Selesai dari kamar mandi aku lihat kamar Luki, kosong. Luki sedang
dibawa pengasuhnya keluar. Pelan-pelan aku masuk, hati-hati pintunya
kukunci. Ini dia pintu penghubung tadi. Aku mengintip. Tak melihat
apa-apa, kuncinya masih menggantung. Aku kecewa. Kuncinya hanya bisa
dicabut dari arah kamar Tante. Ia harus membantuku. Aku mencari Tante,
lagi di kamarnya. Lebih baik aku makan dulu sambil menunggu Tante
keluar.
Benar, Tante keluar, segar sekali nampaknya.
“Tante, cabut dulu kuncinya, saya mau coba” bisikku. Tante tersenyum, masuk lagi ke kamarnya.
Dari lubang kunci di kamar Luki aku bisa melihat dengan jelas dari
arah kaki, Oom sedang tidur pulas, hanya bercelana tidur. Kubayangkan,
dari arah bawah ini aku akan bisa lihat kelamin mereka berdua, baik
posisi ‘biasa’, Tante di bawah, atau Tante di atas. Kecuali kalau mereka
memutar posisi dengan kakinya ke arah bantal, aku hanya bisa melihat
kepala mereka, paling-paling dada Tante.
***
Malam itu sekitar pukul 10, aku sudah berada dalam kamar Luki yang
sudah pulas. Dari lubang kunci aku lihat mereka sedang membaca. Hanya
sekali-sekali mereka bicara. Oom Ton mengenakan pakaian tidur lengkap,
Tante memakai daster. Aku menyadari sebenarnya berbahaya aku disini.
Bisa saja tiba-tiba Oom membuka pintu ini untuk melihat anaknya. Jadi
setiap Oom bangkit, aku harus siap-siap. Kalau Tante sih, aku engga
perlu bereaksi. Tegang juga aku.
Ah, ternyata Tante juga berpakaian ‘lengkap’. Sekarang aku bisa
dengan jelas melihat celana dalam merah jambu itu, karena Tante
mengangkat sebelah kakinya. Kecil kemungkinannya mereka akan main malam
ini. Setengah jam aku capek menunggu, Oom mematikan lampu baca, lalu
tidur. Kamar itu walaupun hanya diterangi lampu tidur, tapi cukup jelas
aku bisa melihat tubuh mereka.
Dengan kecewa aku kembali ke kamar dan tidur….
Esok siangnya, ketika kami baru saja melaksanakan ‘tugas’ nikmat dan
masih terlentang berdua tanpa busana, kutanyakan pada Tante tentang
semalam aku tak jadi menyaksikan ‘pertunjukan’ Tante dan Oom main.
“Yaa.itulah To, Oom-mu memang jarang meminta, paling dua kali atau
bahkan cuma sekali seminggu. Makanya Tante butuh ini” jawabnya sambil
mencekal kelaminku.
“Kenapa engga Tante yang minta”
“Ah, Tante ‘kan melayani Oom-mu”
“Tak ada salahnya Tante yang mulai”
“Betul, memang. Tapi, sering Tante malah kecewa. Oom-mu kan hobinya
kerja, jadi mungkin capek. Lebih baik Oom-mu yang mulai, itu artinya dia
betul-betul butuh”
“Sayang, memiliki badan sebagus ini tak optimal dimanfaatkan” kataku
sambil mengelus buah dadanya. Tak bosan-bosannya aku pada buah kembar
yang indah ini.
“Sekarang sudah optimal”
“Ya. Dan sayalah yang beruntung”
“Tante juga beruntung punya kamu”
Kamipun berpelukan erat. Kalau sudah begini, aku bisa lupa semuanya. Lupa pada Yuli, Rika, atau mBak Mar.
Aku berguling, jadi menindihnya.
Pahaku mendesak di antara pahanya.
Penisku mencari-cari.
Dan….aku masuk lagi.
“Heeeeh!’ Tante teriak kaget.
Aku mendorong.
“Eeeeeeeehhhhhh” lenguhnya. Sekarang ia tak kaget lagi.
Aku menarik dan mendorong.
Aku menikmati.
Tante juga.
Aku tak ingat bahwa ia tanteku.
Tante lupa bahwa aku kemenakannya.
Bahkan lupa bahwa kami berdua manusia.
Begitu ‘gila’nya kami bermain, kami lebih mirip hewan.
Hewan yang sedang menikmati reproduksi.
Reproduksi bukan untuk mendapatkan keturunan, cuma untuk kenikmatan.
Dan..kenikmatan kami dapatkan secara bersamaan.
Gila! Sesiang ini kami telah dua kali bersetubuh!
Memang edan.
“Edan kamu, To…” komentar sesudahnya.
“Supaya optimal, Tante..” komentarku juga.
Kurasakan bagian dalam vaginanya berdenyut-denyut meremas penisku.
Permainan yang melelahkan. Aku jadi lemas, penisku jadi pegal.
Pegal-pegal nikmat ….!
Nah itulah cerita panas dewasa yang bisa saya berikan kepada anda
semua dan sekedar tambahan jika ada kesamaan nama serta tempat kejadian
itu hanyalah kebetulan saja serta baca juga artikel yang lain dari
berita terbaru yang tidak kalah serunya yaitu cerita dewasa tante girang
sekian dan terima kasih.
Untuk Melihat Video Selengkapnya Klik Dibawah Ini :
Posted By : www.tugupoker.net