Bandar Ceme Terpercaya - Bercinta Dengan Istri Sahabatku Sampai Hamil - Pada suatu pagi aku menerima sepucuk surat. Ternyata surat itu dari
sahabatku Nasem yang tinggal di Manado. Isinya dia mengundangku datang
ke sana untuk berkangen-kangenan. Maklum telah puluhan tahun kami
terpisah jauh. Nasem di Minahasa, Sulawesi Utara dan aku tetap di
Malang, Jawa Timur.
Bandar Ceme Online - Dalam suratnya, Nasem menceritakan pula tentang keadaan Hamid
(samaran, sahabat kami pula) di Tewah. Katanya, ia juga kangen padaku.
Yah, sesungguhnya aku pun juga kangen pada mereka. Kami adalah tiga
sahabat karib, yang dulu tak terpisahkan. Lahir di kampung yang sama,
tahun yang sama pula. Tak heran orang kampung menjuluki “Three
Brothers”. Cuma bedanya, Nasem dan Hamid sukses di kariernya. Kini Nasem
menjadi Kepala Cabang Dealer Mobil/Motor di Minahasa dan Hamid menjadi
pedagang antar pulau dan tinggal di Tewah. Sedang aku tidak. Tak banyak
yang bisa dilakukan anak petani macam aku ini.
Sayangnya, setelah
10 tahun menikahi gadis Minahasa, Nasem belum juga dikaruniai anak. Beda
denganku yang harus pontang-panting menghidupi isteri dan keempat
anakku. Kalau saja Nasem tidak membantu, mungkin aku sudah tidak
sanggup. Itulah yang membuatku terharu. Meski sudah makmur dan terpisah
oleh lautan, mereka masih memperhatikanku.
Kembali ke surat Nasem.
Ada satu hal penting yang disampaikannya, yaitu minta bantuanku. Tanpa
menjelaskan apa yang dimaksudkannya. Aku pun bingung, apa yang bisa
kuperbuat untuk membantu orang sekaya Nasem?
Dengan uang yang
dikirimkannya, aku pun berangkat memenuhi undangannya. Istriku harus
tinggal, untuk menjaga rumah dan anak-anak yang harus sekolah. Kepadanya
aku pamit untuk waktu barang satu dua minggu.
Lalu, setelah 5
hari 5 malam berlayar, aku pun sampai di tujuan. Di situ aku sudah
dijemput oleh Nasem dan istrinya. Begitu kapal bersandar, mataku
menangkap sepasang tuan dan nyonya melambai-lambaikan tangan. “Nduutt..,
Genduutt..!!” Teriak mereka. Nasem masih tetap memanggil dengan
julukanku dan bukan namaku. Dulu semasa kecil, aku memang paling gendut
dibanding Nasem Dan Hamid.
Begitu turun dari kapal, kami saling
berpelukan tanpa canggung. Kurasakan mereka memang rindu sekali padaku.
Acara kangen-kangenan berlanjut sampai di rumah. Rumah Nasem besar,
sedang dipugar dan mirip rumah pejabat. Apakah karena hal ini ia
memanggilku ke sini? Entahlah. Praktis seharian kami tak menyinggung
soal kedatanganku, karena keasyikan saling berkisah selama kami
berpisah.
Maka pada malam kedua itulah, sehabis makan malam, Nasem
dengan istrinya Sari memanggilku ke ruang tamu. Mulailah mereka
membicarakan soal “bantuan” itu.
“Kira-kira apa yang bisa kubantu, apakah mengerjakan rumahmu ini?” tanyaku.
Kulirik, Nasem menggelengkan kepala.
“Begini Ndut, kamu kan tahu kami sudah 10 tahun menikah, tapi belum juga
diberi momongan. Masalahnya, menurut dokter, aku ini memang mandul.
Jadi kami sepakat untuk minta tolong kamu. Itu sebabnya kami
mengundangmu datang kemari,” tutur Nasem, panjang-lebar. Tapi aku masih
bingung dengan ucapannya itu, hingga kuminta ia menjelaskan lagi.
“Jelasnya, kami ingin sekali punya anak walau seorang. Tapi kutahu pasti
dari dokter bahwa aku tidak bisa membuahi istriku karena aku mandul.
Maka kuminta bantuanmu untuk menggantikan diriku agar kami bisa punya
anak,” tuturnya lagi dengan jelas.
“Hah.. apa? Aku harus menggantikan dirimu agar bisa memberikan anak kepadamu,” tanyaku, penasaran.
“Yah.. begitulah maksudku,” jawabnya, membuat aku kian tak mengerti.
“Lalu dengan cara bagaimana aku menggantikanmu? Kamu kan tahu bahwa aku
ini bukan ‘Deddy Coubuzier’ atau dukun. Apakah aku bisa melaksanakan
permintaanmu itu Sem?” ucapku.
“Ah kamu ini memang nggak tahu atau pura-pura nggak tahu. Begini, kamu
ini memang bukan seorang dukun dan permintaanku ini tidak ada kaitannya
dengan perdukunan. Yang kuminta adalah kesediaanmu menggantikan diriku
sebagai suami dari istriku untuk membuahi rahim istriku agar kami bisa
punya anak. Sudah? Jelas tidak?” ucap Nasem merinci, dan nampak agak
kesal juga melihat kebodohanku.
“Oh begitu maksudmu. Tapi benarkah ucapanmu itu? Dan apakah Sari
menyetujuinya?” tanyaku meyakinkan, seraya memberi pertimbangan agar
Nasem mengadopsi anak saja.
Menurut mereka, semula memang berniat untuk mengadopsi anak.
“Tapi sebaik-baiknya mengadopsi anak, masih lebih baik punya anak dari
rahim istriku sendiri. Dan ini kalau bisa.. ya kan sayang?” ucap Nasem.
“Ya Mas Ndut, kami sudah berunding sebelumnya. Dan demi keinginan kami,
aku rela menyerahkan tubuhku untuk dibuahi Mas Ndut..” ucap Sari pelan.
Kini
aku paham maksud mereka. Tapi aku tak segera menjawab, mendadak
terpampang buah simalakama di mataku. Bila kuterima, ah.. itu berarti
aku harus melanggar pagar ayu. Apalagi ini istri sahabat sendiri. Dan
bila kutolak, Nasem pasti kecewa. Itu yang pertama. Yang kedua, aku
terlanjur datang jauh-jauh dari Jawa. Dan ketiga mengingat budi dan
jasanya yang kuterima selama ini, kapan lagi aku bisa membalasnya.
Tapi Nasem terus mendesakku.
“Yah.. bagaimana ini ya. Sem, kuterima atau tidak permintaanmu ini?” kataku.
“Sudahlah Ndut, kuharap kamu bersedia membantuku. Nggak usah risau, kami
pun tak ada perasaan apa-apa atas bantuanmu,” ucap Nasem meyakinkan.
Aku pun tanpa sadar berucap, “Yah baiklah. Tapi bagaimana nanti kalau gagal?” tanyaku.
“Seandainya gagal, itu bukan kesalahanmu. Nanti kami akan senantiasa
berdoa semoga keinginan kami ini dikabulkan,” ucap Nasem dengan arif.
Selanjutnya
dengan kesepakatan dan restu bersama, aku diminta untuk memulai malam
itu juga. Begitu mendengar kesediaanku mereka permisi hendak
mempersiapkan kamar tengah. Nasem sendiri nampaknya pindah ke kamar
depan. Bantal dan perlengkapan tidur lainnya dibawanya ke depan.
Tepat
pukul 22:00 WITA, aku dipersilakan Sari masuk ke kamar tengah yang
sudah bersih, indah dan harum. Terasa berat kakiku melangkah, hingga
Nasem dan Sari membimbingku masuk. Habis itu, Nasem pun keluar,
meninggalkan aku dan Sari berdua di kamar.
“Sari, apakah kamu yakin aku bakal bisa memberi anak nantinya..?” tanyaku.
“Mas Ndut, secara pribadi aku yakin kamu bakal bisa memberi anak untukku nantinya.” ucapnya manja.
“Aku tidak tega tubuhku yang kotor ini nantinya akan ‘mengobok-obok’ tubuhmu yang mulus itu.”
“Mas Ndut, aku kan sudah bilang ini demi keinginan kami berdua. Jadi
tubuhku yang mulus ini kuserahkan padamu Mas. Ayo dekatlah kemari Mas
Ndut. Tak usah malu-malu, aku siap bertempur Mas..” ucapnya lagi sambil
menarik tanganku ke pembaringan.
Sayup-sayup kudengar pintu jendela depan ditutup dan dikunci.
“Lho siapa yang menutup pintu dan jendela di luar sana itu Sar?” tanyaku, sembari duduk di bibir ranjang.
“Oh itu pasti Mas Nasem sendiri kok Mas Ndut,” jawabnya, seraya
menjelaskan bahwa 2 pembantunya terpaksa dipulangkan agar rencana ini
berjalan mulus.
“Oh begitu!” ucapku.
“Mas Ndut aku sudah nggak tahan nich?” ucapnya sambil membuka seluruh
pakaian yang melekat di tubuhnya yang mulus itu. Tubuhnya yang mulus
dengan susunya yang begitu montok dan vaginanya yang menantang. Panas
dingin aku memandangnya. Lutut ini gemetar dan tubuhku meriang bak kena
setrum listrik 1000 watt. Aku yang biasa melihat istriku bugil, kini
jadi lain.
Di rumah aku biasa tidur dengan beralaskan tikar. Kini
aku berhadapan dengan ranjang mewah beraroma wangi, plus tubuh mulus
tergolek di atasnya. Tapi badanku terus menggigil seperti terjangkit
malaria berat. Eh, Sari tiba-tiba bangun menghampiriku dan melepaskan
seluruh pakaianku yang sejak tadi belum kubuka. Aku cuma
terbengong-bengong saja. Lalu..
“Sekarang.. coba Mas Ndut berbaring..” ucapnya sambil mendorong tubuh
telanjangku. Aku menurut saja. Penisku segera menegang ketika merasakan
tangan lembut Sari mulai beraksi.
“Wah.. wahh.. besar sekali
penismu, Mas Ndut.” tangan Sari segera mengusap-usap penis yang telah
mengeras tersebut. Segera saja penisku yang sudah berdenyut-denyut itu
masuk ke mulut Sari. Ia segera menjilati penisku itu dengan penuh
semangat. Kepala penisku dihisapnya keras-keras, hingga membuatku
merintih keenakan.
“Ahh.. ahh.. ohh..” aku tanpa sadar merintih
merasakan nikmat sesaat. Menyadari keringatku yang mengucur dengan deras
sehingga menimbulkan bau badanku yang kurang sedap, buru-buru aku
mendorong kepala Sari yang masih mengulum penisku itu untuk pamit mau
mandi dulu. Lalu, kuguyur badanku dengan segala macam sabun dan parfum
yang ada di situ kugosokkan agar badanku harum.
Tiga kran yang ada
di situ kubuka semua dan kurasakan mana yang berbau sedap, kupakai
untuk menyegarkan badan. Bukankah sebentar lagi aku mesti melayani sang
putri bak bidadari?! Mungkin sudah terlalu lama aku di kamar mandi,
terdengar Sari mengetuknya. Begitu pintu kubuka, ah. Sari berdiri dengan
tubuh montoknya. Ohh.. Seandainya yang pamer aurat di depanku itu
istriku aku tak akan menanti lama-lama pasti langsung kudekap dia. Tapi
dia adalah istri sahabatku.”Malaria”-ku yang sempat sembuh waktu mandi
tadi, kini kumat lagi. Cepat-cepat aku masuk lagi dan menguncinya. Di
dalam kamar mandi aku bimbang bagaimana sebaiknya, kulaksanakan atau
kubatalkan saja?
Akhirnya malam itu terpaksa gagal. Hingga pukul
lima pagi aku masih belum berani melakukannya. Melihat Sari bak bidadari
turun dari kahyangan, memang membuatku tergiur. Tapi ketika berhadapan
dengannya nyaliku jadi ciut.
Esoknya rupanya Sari melapor pada suaminya. Dan aku ditegur Nasem.
“Ndut, kenapa tidak kamu laksanakan? Bukankah sudah kami katakan.” ucapnya.
Aku cuma diam saja. Agar tidak kecewa lagi, malam ini tekadku akan kulipatgandakan untuk melakukannya.
Pukul
22.00 WITA, Nasem meninggalkan kami berdua di ruang tamu. Sejurus
kemudian, “Ayo Mas Ndut kita tidur yuk,” ucap Sari manja sembari meraih
tanganku dan ditariknya ke kamar. Setelah mengunci pintu kamar, dia
menyuruhku duduk di tepi ranjang dan jari-jarinya yang lentik mulai
memijat pundakku. Aneh, setelah dipijat aku menjadi lebih rileks. Dia
sorongkan wajahnya dekat sekali dengan wajahku dan tiba-tiba bibir kami
sudah merapat dan saling menghisap. Lama juga kami berciuman dan juga
saling memilin lidah sementara tangan kami saling membelai dan mengusap.
Kami
masih duduk berhadapan. Lalu Sarilah yang mulai membuka semua
pakaianku. Dia kecup leherku turun ke bawah ke dada dan ke puting
dadaku. Sampai disini, dia menjulurkan lidahnya dan putingku
dijilat-jilat. penisku langsung menegang, sangat keras dan semakin keras
karena diremas-remas olehnya.
Singkat kata, kami pun sudah
bertelanjang bulat dan aku pun segera menindih badannya yang kenyal dan
padat. Karena ada sisa kegugupan, maka aku langsung coba memasukkan
penisku ke dalam vaginanya.
“Tunggu, pelan-pelan saja Mas Ndut,”
bisiknya sambil mengelus kepala kemaluanku di depan lubangnya.
Pelan-pelan sekali. Lalu tugasnya kuambil alih dan kulanjutkan menyentuh
dan menggosokkan kepala penisku itu. Pelan dan pelan sekali. Terasa
olehku lubangnya semakin basah dan licin. Tiba-tiba.. “Slepp..” masuklah
penisku ke dalam sangkarnya.
Aku mulai menggenjot perlahan-lahan.
Naik turun, naik turun. Sementara itu bibir kami berdua tetap bertaut.
Saling kecup, saling hisap. Tangan Sari mengusap-usap punggungku
terkadang turun ke bawah ke pantat dan jarinya mempermainkan lubang
pantatku, geli campur enak. Tanganku sibuk mengelus kepalanya dan
rambutnya. Semua kami lakukan dengan pelan dan lembut.
Setiap aku
hampir sampai ke puncak, Sari selalu memelukku erat-erat sehingga aku
tidak bisa bergerak. Tepatnya, kami berdua diam tak bergerak sambil
saling peluk dan penisku tertanam dalam di kemaluannya. Setelah agak
reda kembali aku memompa naik turun.
Selang beberapa saat, Sari
ganti di atas. Rupanya dia amat menyenangi posisi ini. Ganti sekarang
dia yang memeluk dan menciumiku sementara pantatnya bergoyang dan
berputar dengan penisku tertancap di dalam kemaluannya. Semakin lama
semakin semangat. Sampai akhirnya ia pun mengejang dan mulutnya
berdesis-desis dan kepalanya bergoyang-goyang liar ke kiri dan ke kanan,
kupeluk dia dan kutekan pantatnya sehingga sampailah ia pada puncak
kepuasannya. Lemaslah tubuh Sari dan dia menciumi seluruh wajahku sambil
mengucapkan, “Terima kasih ya Mas? Mas telah melakukan tugas dengan
baik.. aku sungguh tidak menyangka Mas bisa membuatku melayang sampai ke
langit yang ke-tujuh.. (ucapnya sambil mengecup bibirku, terus
tangannya memegang penisku yang menurut dia jauh lebih besar dan panjang
dari punya Nasem)”.
Selesai tugasku maka aku pun membalikkan
badannya dan ganti aku di atas. Kuangkat kedua kakinya dan kubelitkan di
kedua pahaku lalu kumasukkan penisku dan kukocok perlahan-perlahan
untuk makin lama makin cepat dan akhirnya menyemburlah air maniku ke
dalam lubang vagina Sari. Sari memeluk tubuhku erat-erat dan kami pun
berciuman lama. Sempat sekitar sepuluh menit kami diam tak bergerak
dalam posisi aku di atas badannya dan tubuh kami tetap jadi satu
bersambung dari bawah.
Tak terasa ‘pekerjaan’ yang kulaksanakan ini sudah menginjak malam ke dua belas.
“Mas Ndut, sebenarnya menurut perhitungan saya, haid saya sudah lewat 7
hari yang lalu,” kata Sari pada suatu malam setelah kami kelelahan. Tapi
Nasem masih belum yakin istrinya hamil. Aku dimintanya ‘bersabar’
barang sepuluh hari atau dua minggu lagi. Bersamaan dengan itu ia
mengirimkan uang belanja untuk istriku dan anak-anakku.
Hingga
pada suatu hari, terhitung hampir sebulan aku di sana. Nasem membawa
istrinya ke dokter ahli kandungan. Tak berapa lama mereka pun pulang
dengan wajah yang cerah. Berhasil!
“Oh Ndut, istriku hamil!” katanya gembira.
Kiranya ‘pekerjaanku’ tak sia-sia. Kusarankan pada mereka untuk menjaga
kandungan Sari, hingga kelak si jabang bayi lahir. Aku sendiri sudah
kangen pada keluargaku di kampung. Maklum hampir sebulan aku
meninggalkan mereka. Tapi aku berjanji kepada Nasem bersedia diundang
lagi seandainya hasilnya gagal. Nasem pun tak keberatan melepaskanku
pulang. Kebetulan dua hari lagi ada kapal berangkat ke Surabaya. Sorenya
mereka belanja oleh-oleh untuk keluargaku di rumah. Aduh bukan main
senangnya hati mereka. Setelah itu aku pun berangkat naik kapal pulang
ke kampung.
Singkat cerita, sesampainya di rumah kukatakan pada
istriku bahwa aku diminta menyelesaikan bangunan rumahnya. Dan istriku
percaya saja. Tapi dalam hati, aku merasa berdosa kepadanya. Delapan
bulan kemudian aku menerima surat dari Nasem bahwa ‘anaknya’ telah
lahir, wanita, cantik lagi, dan diberinya nama Ratih. “Ah syukurlah,”
gumamku.
Begitulah yang terjadi. Rahasia ini masih kusimpan demi
ketenangan keluargaku. Tapi satu hal yang tak dapat kupungkiri, bahwa
darah dagingku pun terpisah di sana. Disatu sisi aku bangga dapat
membahagiakan sahabatku dan membalas budinya. Tapi disisi lain soal
akibat dosanya, kuserahkan kepada Yang Di Atas. Aku hanya dapat berucap
mohon ampun pada-Nya.
Posted By : www.tugupoker.net
No comments:
Post a Comment