Agen Capsa Terbaik - Cerita Sex Ibu Mertua Selalu Mengajakku Bersetubuh - Menjelang kelahiran anak pertama saya, ayah mertua meninggal. Keluarga
besar istri saya sangat terpukul. Terutama ibu mertua dan Rosi. Kedua
perempuan ini memang yang paling dekat dengan almarhum. Rumah ini terasa
murung berhari-hari lamanya. Tetapi segalanya berangsur pulih setelah
selamatan 40 hari dilaksanakan. Semuanya sudah bisa menerima kenyataan,
bahwa semua pada akhirnya harus kembali. Apalagi semenjak anak saya
lahir, tiga bulan setelah kematian almarhum.
Agen Capsa Terpercaya - Rumah ini kembali menemukan kehangatannya. Seisi rumah dipersatukan
dalam kegembiraan. Bayi lucu itu menjadi pusat pelampiaskan kasih
sayang. Saya juga semakin mencintai istri saya. Tapi dalam urusan tempat
tidur tidak ada yang berubah. Seringkali saya tergoda untuk mencari
pelampiasan dengan wanita PSK terutama jika teman-teman sekantor
mengajak. Namun saya tak pernah bisa. Sekali waktu saya diajak kawan ke
sebuah salon esek-esek. Saya pikir tidak ada salahnya untuk sekedar
tahu. Salon itu terletak di sebuah kompleks pasar. Kapsternya sekitar 15
orang. Masih muda-muda, cantik, dan seksi dengan celana pendek dan tank
top di tubuhnya. Para pengunjung seluruhnya laki-laki, walaupun di
papan nama tertulis salon itu melayani pria dan wanita.Di salon itu para pria minta layanan lulur, dan konon, di dalam ruang
lulur itulah percintaan dilakukan. Sungguh aneh, saya tidak birahi.
Benak saya dipenuhi pikiran bahwa perempuan-perempuan itu telah dirajam
oleh puluhan penis laki-laki. Mungkin ketika seorang pria
menyetubuhinya, saat itu masih ada sisa-sisa sperma milik pria-pria
lain. Inilah yang membuat saya tak pernah bisa menerima diri saya
bersetubuh dengan perempuan PSK. Jadi bukan alasan moral. Saya lebih
suka onani sambil membayangkan perempuan-perempuan lain.
Ketika anak saya berumur tiga bulan, istri saya sudah mulai masuk
kerja dan kegiatan luar kota tetap dijalankan seperti biasa. Dia sudah
dipromosikan dalam jabatan supervisor. Istri saya tampak senang dengan
jabatan barunya, dan makin giat bekerja.
Tioap kali ke luar kota anak saya diasuh tante-tantenya. Rosi atau
Mayang atau kadang-kadang Mak Jah. Hanya jika makan (bubur bayi) saja
tante-tantenya tidak sabaran. Mereka tak sanggup menyuapi bayi. Saya
sendiri geli melihat bayi makan. Bubur itu sepertinya tidak pernah mau
masuk ke dalam perut. Hanya keluar masuk dari bibirnya. Ibu mertua saya
yang paling telaten. Kadang-kadang satu mangkuk kecil masih nambah jika
ibu yang menyuapi.
Jika siang saya sering tidur dengan anak saya. Saya senang sekali
menatap wajah mungilnya, Saya juga mulai pintar mengganti popok dan
memberinya susu. Hanya kalau malam anak saya tidur dengan ibu mertua.
Soalnya kalau tidur malam, saya susah bangun. Biar anak menangis
keras-keras saya sulit bangun.
Siang itu, sepulang dari kantor, seperti biasa saya cuci muka dan
tangan lalu rebahan di kamar. Badan saya agak meriang. Mungkin saya akan
terkena radang tenggorokan. Kerongkongan saya agak sakit buat menelan.
Ketika ibu hendak menaruh anak saya untuk tidur (kalau siang anak saya
biasa tidur dua-tiga kali), dengan terbata-bata saya bilang, “Bu, boleh
Nisa tidur sama Ibu?”
Nisa anak saya terlanjur ditaruh di sebelah saya.
“Ya boleh tho. Memangnya kenapa?” tanya ibu melepas selendang gendongan.
“Badan saya agak meriang, saya ingin istirahat,” kata saya.
“Rosi dan Niken sudah pulang Bu?”
Ibu tidak menjawab. Punggung tangannya ditempelkan ke dahi saya.
“Wah, badan kamu panas. Ya sudah Nisa biar tidur di kamar Ibu. Kamu istirahat saja. Ayuk cucu, bobo sama eyang ya?”
Ibu pelan-pela mengangkat Nisa. Lega rasanya saya. Saya benar-benar ingin istirahat tanpa diganggu tangisan anak.
Setelah Ibu keluar dari kamar, saya segera tidur mendekap guling.
Benar-benar sakit semua badan saya. Kepala juga mulai berat. Saya
mencoba mengurangi rasa sakit dengan memijit-mijit dahi dan kening.
“Nak Andy sudah minum obat?” tanya Ibu di ambang pintu.
“Belum, Bu. Nggak usah. Nanti saja.”
Dengan badan seperti ini rasanya saya pengin dikerik. Dulu waktu masih
bujang saya sealu minta kerik ibu saya. Jika sudah dikerik badan terasa
ringan dan bugar. Tapi mau minta kerik sama ibu mertua sungkan. Dulu
memang pernah sih dikerik ibu mertua. Tapi itu karena setelah ibu
melihat saya dan istri saya bersitegang soal kerik-mengerik. Istri saya
tidak mau mengerik saya. Bukan apa-apa, dia tidak suka cara itu. Katanya
itu berakibat buruk bagi tubuh. Istri saya memang doctor minded. Maklum
dia dealer obat-obatan, Dia lebih mempercayai dokter dan obat daripada
cara-cara penyembuhan tradisional.
Melihat kami bersitegang ayah mertua saya membela saya, dan menyuruh ibu mengerik saya.
Kini saya sebenarnya sangat ingin dikerik. Seolah tahu pikiran saya, ibu menawarinya.
“Mau ibu kerik?”
“Mm terserah ibu saja,” kata saya.
Dalam hati saya bersorak. Ibu memanggil Mak Jah minta diambilkan minyak
bayi (baby oil) dan ulang logam. Sejurus kemudian Mak Jah datang.
“Kamu lagi ngapain?” tanya mertua saya.
“Setrika baju, Bu”
“Ya sudah..” Ibu duduk di tepi ranjang.
“Lepaskan bajunya,” kata ibu.
Saya melepas baju dan celana panjang saya. Saya bungkus bagian bawah
tubuh saya dengan kain sarung, lalu tengkurap. Ibu mulai mengerik bagian
punggung. Nikmat rasanya. Kadang-kadang saja terasa sakit. Mungkin itu
karena di daerah situ ada penyumbatan aliran darah. Entahlah.
“Merah semua nih Nak Andy,” komentar ibu mertua. Saya hanya bergumam.
Ibu mertua memang pandai mengerik. Bahkan lebih pandai dibanding ibu
saya. Secara keseluruhan tidak menimbulkan rasa pedih. Bahkan seperti
dipijat utur. Saya benar-benar rileks dibuatnya, Apalagi kalau ngerik
ibu ini sangat sabar. Hampir tiap jengkal badan saya dikerik. Ibu
menarik kain sarung, dan sedikit menurunkan CD saya, lalu mengerik
bagian pantat. Sudah itu bagian paha. Selesai paha aku diminta
membalikkan badan. Dikeriknya dada saya. Yang ini agak berat. Saya
banyak gelinya. Alalagi kalau arah kerikan menuju bagian ketiak. Uhh
seperti digelitik. Saya berkali-kali merapatkan tangan saya menahan
geli. Ibu tersenyum melihatnya. Setelah beberapa saat badan saya mulai
beradaptasi. Rasa geli berkurang. Saya mulai membuka mata yang tadi ikut
terpicing menahan geli. Saya liat wajah ibu mertua saya.
Mungkin kalau tua nanti istri saya akan seperti ini ya. Umur ibu
sekitar 50 tahun. Masih ada sisa-sisa kecantikan. Bagian wajahnya masih
terlihat kencang. Hanya bagian leher dan lengan yang tampak
memperlihatkan usianya. Kasihan sebenarnya, usia segitu sudah ditinggal
suami.
Tiba-tiba badan saya tergelinjang. Refleks saya mencengkeram lengan
ibu. Rupanya ibu mulai mengerik bagian perut. Ini yang membuat saya
geli. Bahkan sangat geli. Bulu kuduk saya ikut berdiri. Ibu terus
mengerik perut saya, dan saya terus mencengkeram lengan ibu. Sesekali
saya mengangkat bagian perut dan pinggul saya hingga menyentuh tubuh
ibu. Gesekan-gesekan itu ternyata mnimbulkan rangsangan pada penis saya.
Sedikit demi sedikit penis saya mengembang. Tegang. Gila. Nafsu saya
juga muncul perlahan-lahan. Saya bahkan dengan sengaja menempelkan
bagian penis saya ke pinggang ibu. Sedikit menekannya dengan
berpura-pura geli oleh kerikannya. Padahal tidak. Saya sudah mulai
beradap tasi lagi. Tangan saya masih mencengkeram lengan ibu.
Jantung saya berdebar-debar ketika ibu menurunkan sarung. Di
hadapannya tubuh bawah saya terbungkus CD dengan isi yang menegang
dengan sempurna. Maksimal. Sesekali saya lihat ibu melirik ke arah penis
saya. Diturunkannya bagian atas CD saya. Hanya sedikit. Ahh padahal
saya berharap seluruhnya ditanggalkan. Saya rasakan ujung penis saya
tersembul keluar. Mustahil ibu tak meihatnya. Saya tatap wajahnya.
Wajahnya tak menampakkan reaksi apa-apa. Mungkinkah perempuan ini sudah
tawar terhadap seks? Ataukah dia menganggap saya tak lebih dari anaknya
sendiri? Apakah dia pernah melihat penis lain selain milik suaminya?
Kerikan di bagian bawah perut menimbulkan sensasi yang luar biasa.
Sesekali secara tak sengaja tangan ibu menyentuh ujung penis saya.
Seperti dikocok dengan lembut. Saya telah benar-benar terangsang. Birahi
saya membakar kepala saya. Saya beranikan diri mengelus lengan ibu.
“Ibu makasih sudah mau mengerik badan saya,” kata saya gemetar.
Ibu cuma tersenyum. Saya tak tahu artinya. Ia terus mengerik. Saya
memberanikan diri menurunkan sedikit lagi CD saya, sehingga separuh
penis saya keluar.
“Bagian sini juga kan Bu?” kata saya menunjuk selangkangan.
“Iya,” suara ibu bergetar.
Sentuhan tangannya ke arah penis saya makin sering. Makin nikmat
rasanya. Saya makin tak tahan. Saya turunkan sedikit lagi CD saya, dan
kini terbukalah seluruhnya. Saya rasakan kerikan ibu sudah mulai kacau.
Saya tahu ibu mulai terpengaruh oleh pemandangan di depannya. Ya.
Mustahil kalau tidak. Bagaimana pu dia perempauan biasa, dan saya
laki-laki asing.
Saya pegang tangan ibu, saya bimbing dengan pelan dan cemas menuju
penis saya. Saya taruh tangan itu di sana. Tak ada reaksi. Tangan itu
hanya diam. Saya berusaha menggerak-gerakan penis saya. Sekali waktu
saya sentakkan.
“Bu..” saya mendesis dan menggerak-gerakkan pinggul saya.
Ibu sudah tak konsentrasi lagi di kerikan. Gerakannya sudah bukan lagi
gerakan mengerik, tapi lebih menyerupai garukan. Saya usap punggung ibu.
Saya telusuri lekuk badannya. Dia mengenakan daster. Saya rasakan tali
BH di punggungnya. Saya jadi penasaran seperti apa rupa payudara
perempuan 50 tahun. Ibu meremas-remas penis saya, mengocoknya perlahan.
Saya buka resluiting dasternya. Saya buka kancing BH-nya. Saya remas
kulit punggung. Memang tidak sekenyal istri saya atau Rosi. Tapi
putihnya tetap membuat saya makin terangsang. Saya rebahkan tubuh ibu,
saya cium pipinya, telinga, leher dan bibirnya. Kami berciuman penuh
nnafsu. Saya lepaskan dasternya di bagian atas. Hmm, payudara yang
kendur. Tapi apa peduli saya. Saya telah dikuasai oleh nafsu. Saya ciumi
payudara itu, saya hisap, saya remas. Ibu menggeliat-geliat dan
mengocok penis saya. Saya turukan CD-nya. Ahh seperti apakah rupa memek
perempuan 50 tahun? Seperti apakah rasanya?
Memek itu dibalut rambut yang amat lebat. Sepintas tak ada bedanya
dengan milik istri saya. Sama-sama kenyalnya. Perbedaan baru saya ketahu
setelah penis saya menyentuh lubang vaginanya. Terasa kendurnya. Tetapi
gerakan-gerakan yang dilakukan ibu memberikan efek yang fantastis bagi
saya. Saya belum pernah merasakan yang seperti itu. Istri saya seperti
telah saya ceritakan, tidak enjoy dengan seks. Tampaknya seks adalah
bagian dari kewajiban rumah tangga, sehingga persetubuhan kami pun lebih
mirip formalitas. Orgasme yang dia dapatkan tampakya tak pernah
mengubah sikapnya terhadap seks.
Kini di bawah saya, ibu mertua seperti mengajarkan kepada saya,
bagaimana seorang perempuan sejati di atas ranjang. Penis saya seperti
diputar-putar, diremas-remas oleh memeknya. Luar biasa. Saya lebih
banyak diam. Hanya bibir dan tangan saya yang bergerak ke sana-kemari,
sedangkan bagian pinggul hanya diam menerima semua perlakukan ibu.
Ibu merintih-rintih, mengerang, lalu mendekap saya. Gerakannya makin
hebat, membuat saya tak tahan lagi. Saya menggenjot pinggul sekuat
tenaga, dengan kecepatan penuh. Kedua kaki ibu menekan betis saya,
bibirnya mencium dan mengisap leher saya. Lalu diciumnya bibir saya
dengan rakus. Hampir digigitnya. Dan srrt srtt srtt sperma saya memancar
di dalam vaginanya. Saya tahu ini akan aman bagi rahim ibu. Senyap di
dalam kamar. Tubuh saya lemas, tapi pikiran jadi jernih. Ibu bergegas
membetulkan letak dasternya, mengenakan CD, dan menghilang dari hadapan
saya. Saya tertidur. Malas mau ke kamar mandi.
Peristiwa itu membuat hubungan saya dengan ibu menjadi kaku. Ibu
berusaha menghindari berdua dengan saya. Beliau juga hanya bicara
seperlunya. Tampaknya beliau amat terpukul atau malu. Saya sendiri
berusaha bersikap wajar. Apa yang telah terjadi antara saya dengan Mbak
Maya dan Rosi telah mengajarkan saya bagaimana bersikap wajar setelah
terjadinya skandal. Beda dengan ibu dan Mbak Maya yang berubah drastis.
Mereka cenderung murung.
Posted By : www.tugupoker.net
No comments:
Post a Comment