Bandar Ceme Terpercaya - Kocokan Mbak Titin Yang Sangat Memuaskanku - Pak Kadus Jamal berjalan tanpa sandal, sesekali tangannya mengangkat
sarung kotak-kotak yang dipakai. Lelaki 60 tahun itu nampak tergesa
menuju perbatasan hutan di kampung, lokasinya cukup jauh dari pemukiman
warga. “Waduh.. maaf sekali pak, saya agak telat menyambut. Tadi ada warga
yang anaknya mau kawinan jadi saya urus sana-sini dulu,” Jamal menyalami
pak Supri, tuan tanah di kampung itu yang sudah sejak lama tinggal di
kota.
Bandar Ceme Terbaik - Pak Supri terkenal dermawan di dusun itu, banyak membantu pembangunan
tempat ibadah, sekolah rakyat, dan juga memberi sembako saat paceklik
melanda desa.
“Walah ya ndak apa-apa pak kadus, biasa saja. Oh ya ini Andi pak
kadus masih ingatkan.. sudah kelas 2 SMA sekarang.. dan ini
kawan-kawannya. Nah mereka saya antar ke dusun ini biar tahu kehidupan
desa, mumpung mereka masih libur,” kata Supri, lelaki tambun, usianya
sekitar 55 tahun.
“Wah.. wah den Andi sudah gede sekarang.. pangling saya den,” Jamal
menyalami Andi dan tiga kawan sebayanya, Hilman, Roni, dan Raju.
Pak Supri lalu menjelaskan pada Andi dan kawan-kawannya tentang
Jamal, kadus yang sangat rajin dan santun yang patut jadi panutan. Ia
juga menjelaskan pada Jamal bahwa Andi, anaknya akan berada di dusun itu
selama sepekan bersama tiga temannya itu, harapannya agar mereka tahu
tentang kehidupan desa dan menghargai orang desa.
“Saya hanya minta mereka dibolehkan mendirikan perkemahan di sini,
tolong pak kadus gembleng mereka untuk mandiri. Soal kebutuhan makan
biar mereka upayakan sendiri, ya mencari ikan, mancing di kali, nyari
sayuran, sampai masaknya jangan dibantu biar nggak manja. Nanti berasnya
saja disediakan,” kata pak Supri.
Andi dan kawan-kawannya mencari tempat datar mendirikan tenda, dan
mulai menyiapkan semua peralatan kamping. Pak Supri lalu meninggalkan
anaknya itu dan kembali ke kota.
Dua buah tenda berukuran 3 kali 3 meter berdiri saat menjelang
petang, Kadus Jamal ikut membantu anak-anak kota itu, sampai semua
beres.
Jamal lalu mengajak anak-anak itu mampir ke rumahnya di pemukiman
dusun. Di sana ia menjelaskan lokasi sungai di dalam hutan yang bisa
dipancing ikannya, juga lokasi kebun sayur miliknya di tumpangsari hutan
yang boleh mereka petik.
Malam itu Andi dan teman-temannya menginap di rumah Jamal dan
berkenalan dengan remaja sebaya mereka di dusun itu. Tapi, Jamal meminta
remaja kampung untuk tidak membantu apapun pada anak-anak kota itu
selama kamping agar mereka mandiri sesuai pesan pak Supri.
Pagi-pagi benar Andi dan tiga temannya kembali menuju perbatasan
hutan tempat tenda mereka berdiri, mereka membawa beberapa kilogram
beras dan perabotan masak-memasak dari rumah kadus Jamal.
“Ya elah.. benar-benar welcome to the jungle nih ndi.. elo sih pake
nurut segala sama bokap lo itu. Harusnya kita liburan ke Bali.. eh malah
jadi tarzan disini.. huh capek deh,” Hilman mengeluh sejadinya sambil
melempar panci yang dibawa.
“Iya nih.. mana perut keroncongan lagi nih,” Raju menimpali. Raju bertubuh tambun dan doyan makan.
“Udah deh.. mendingan kita cari cara gimana biar ada lauk untuk makan…
mana belanja nggak bisa. Ada uang tapi orang desa nggak mau menjual
apa-apa pada kita karena perintah bokap gue. Ayo deh Raj.. cari ranting
atau apa kek yang bisa dibakar untuk masak,” kata Andi.
Keadaan terpaksa membuat mereka bergerak juga, daripada lapar. Tungku
disiapkan dari susunan batu, dan blar.. api pun menyala menanak nasi di
panci. Untung Raju membawa bekal beberapa bungkus mie instant yang bisa
menjadi lauknya.
“Tuh kan enak juga ternyata jadi tarzan begini.. ha ha..,” Andi menghibur teman-temannya itu.
“Enak.. tapi gue nggak kenyang nih makan segini,” gerutu Raju.
Biasanya dia makan dua piring, dobel porsi, tapi sekarang hanya dapat satu porsi.
Setelah sarapan keempat remaja itu menuju sungai untuk mandi dan
mencuci pakaian. Tapi sebelum mereka meninggalkan tenda, kadus Jamal
datang bersama Titin, anak perempuannya.
“Lho aden pada mau kemana? Sudah pada sarapan belum?,” tanya Jamal.
Ia lalu mengenalkan Titin pada 4 remaja itu. Titin anak pertama
Jamal sudah empat tahun ini menjanda ditinggal mati suaminya kecelakaan,
belum punya anak.
“Malam kemarin Titin belum sempat ketemu kalian karena dia membantu
acara warga yang mau kawinan. Nah sekarang untuk urusan masak dan makan
biar Titin yang membantu ya.. ndak apa-apa, bapak nggak akan bilang ke
juragan Supri kok..,” Jamal merasa iba juga melihat Andi dan
teman-temannya harus berusaha masak sendiri.
Lagipula di rumah Titin tidak terlalu banyak pekerjaan, karena kembali numpang di rumah ortunya.
“Waduh.. jadi ngeropotin mbak Titin nih. Tapi oke deh pak, dari pada
bobot saya susut seminggu di sini.. ha..ha,” Raju senang karena
kebutuhan makan bakal terjamin.
“Iya. Nggak apa-apa dik, mbak biasa masak dan nyuci kok,” kata Titin.
Titin berpenampilan khas wanita desa, pakai kain dan baju berkancing
dari kain bahan kebaya. Wajahnya cantik dan sebagai janda yang masih
muda tubuhnya juga semakin subur dan semok. Tingginya 165 cm dengan
porsi tubuh yang ideal, sedikit montok. Payudaranya membusung menantang,
pinggul lebar dan pantatnya padat terbentuk dibalik kain yang
dipakainya.
Hilman dan Roni tak lepas memandangi postur tubuh Titin saat itu.
Andi juga kadang mencuri pandang ke dada Titin. Hanya Raju yang
pikirannya makan terus
Kadus Jamal kemudian pamit pulang . Titin kemudian mengantar Andi dan
teman-temannya ke sungai sambil membawa pakaian empat remaja itu yang
akan dicuci.
4 remaja itu langsung mencebur ke sungai dengan riang. Usia mereka
rata-rata baru 16 tahun, tapi badannya bongsor tidak seperti anak di
desa. Tinggi mereka melebihi tinggi Titin .
“Eh.. adik-adik ini mandinya dicopot dong bajunya biar sekalian mbak
Titin cucikan,” katanya melihat Andi dan kawan-kawannya mencebur tanpa
melepas pakaian.
“Wah.. telanjang pakai kolor aja nggak apa-apa kan mbak? Kan sepi
disini?,” Hilman menyahut senang sambil melepas baju dan celananya. Tiga
lainnya juga melepas pakaiannya.
“Ya ndak apa, wong nggak ada yang lihat di tengah hutan gini. Lagi pula
warga desa jarang ke sini karena sungai ini di kawasan hutan, mereka
lebih dekat ke sungai di desa,” kata Titin, ia memungiuti baju empat
remaja itu di batu dan mulai mencuci di temat berjarak empat meter dari
lokasi mandi mereka.
4 remaja itu mandi sambil gembira saling siram, Titin memperhatikannya dengan gembira juga, ia ikut senang melihatnya.
“Mbak Titin… mbak ikutan mandi dong.. biar rame..,” teriak Hilman polos.
Seketika Raju berlari mendekati Titin yang masih jongkok mencuci dan
mendorongnya terceur ke sungai. Byurr.. tubuh Titin tenggelam di sungai
yang cukup dalam, saat tubuhnya naik kancing baju atasnya terlepas
sehingga payudaranya yang tidak tertutup BH sempat terlihat.
“Aduhhh Raju.. kamu nakal ya..,” Titin bersungut-sungut sambil membenahi bajunya.
Raju ikut mencebur dan mulai menyirami Titin dengan air, mereka
tertawa dan saling siram. Andi, Hilman dan Roni kemudian bergabung
mendekat dan ikut saling siram.
Titin protes karena kain dan bajunya basah terendam bersama tubuhnya.
Sebab dia tidak membawa baju lain, masak pulang dengan basah kuyup.
“Ya sudah mbak Titin bajunya dibuka aja, terus dijemur,”kata Hilman mejawab protes Titin.
“Iya mbak. Bajunya dijemur aja biar kering, jadi pas selesai mandi bisa dipakai lagi,”tambah Andi.
Titin berpikir sejenak. Benar juga usul mereka, lagipula meski
telanjang tubuhnya tak mungkin terlihat karena terendam di sungai,
kebetulan sungai juga agak keruh karena hujan kemarin.
“Ini tolong dijemurkan dik Andi..,” Titin menyodorkan kain dan bajunya ke Andi agar Andi menjemurnya di bebatuan.
“Ya sudah kalian teruskan mandinya.. mbak sambil nyuci ya,” kata Titin.
Sambil berendam badan sebatas bawah leher, Titin melanjutkan mencuci
pakaian dengan hanya tangannya di atas batu sisi sungai. Sementara empat
remaja itu kembali saling siram, bernyanyi dan berteriak-teriak gembira
menikmati dinginnya air sungai dengan jarak menjauh dari Titin karena
tak ingin mengganggunya.
Hilman menoleh Titin yang membelakangi mereka, pikirannya tiba-tiba
teringat film porno milik ayahnya yang pernah ditontonnya dengan
curi-curi. Selama ini ia hanya bisa membayangkan bagaimana bentuk tubuh
wanita bugil yang dilihat secara langsung. Ia mulai membayangkan tubuh
telanjang Titin di balik air sungai.
“Hey bro.. gimana ya bentuk susu dan mekinya cewek yang asli? Gue
penasaran nih..? gimana kalau kita minta mbak Titin liatin dikiiiit
aja,” pikiran Hilman yang mulai nakal disalurkan ke teman-temannya.
Roni setuju, tapi Andi dan Raju masih bertahan melarang, mereka takut Titin melaporkan ke bokap Andi dan kadus ayah Titin.
Akhirnya mereka memutuskan membuat strategi. Andi, Raju dan Roni
kemudian berenang menjauh, cukup jauh dari posisi Titin yang msih sibuk
mencuci, sementara Hilman menjalankan aksinya.
“masih lama nyucinya mbak…,” sapa Hilman dari belakang Titin.
“Eh dik Hilman ngaggetin aja. Ini celana kalian kok kotor banget sih,
jadi lama nyikatnya,” Titin sempat terkejut melihat kehadiran Hilman.
“Sini saya bantuin mbak,” Hilman meraih tangan Titin di batu sisi sungai.
“Ah nggak usah dik.. kamu mandi saja sana, nanti saya dimarahi bapak.
Kan saya disuruh membantu kalian,” Aish berusaha menahan tangan Hilman
yang hendak mengambil sikat dan celana panjang Raju yang dicuci Titin.
Mereka sempat saling rebut, dan hal ini membuat tubuh Hilman
menyentuh tubuh Titin yang sama-sama telanjang. Titin merasakan getaran
saat siku Hilman menyengol susunya, ia baru sadar kalau keadaannya
sedang bugil
“Uh.. maaf ya mbak.. saya nggak sengaja, kena deh itunya,” Hilman
pura-pura malu, tapi tubuhnya tidak menjauh dari Titin. Titin mendadak
tersipu malu.
“Eh.. oh.. nggak apa dik.., asal jangan disengaja ya. Ndak baik itu,” kata Titin seolah menTitinati.
“Eng.. mbak.. saya boleh tanya, tapi jangan marah ya?,” kata Hilman.
“Tanya apa sih?,” jawab Titin sambil berbalik membelakangi Hilman dan kembali sibuk menyikat celana yang dicucinya.
“Anu mbak.. apa kira-kira anunya cewek di desa sama dengan cewek kota ya?,” Hilman melanjutkan dengan ragu-ragu.
“Ih dik Hilman ini. Anunya apanya? Susunya maksud adik?,” Titin berbalik lagi menghadap Hilman.
Hilman malu sambil mengangguk.
“Ya sama saja dong dik.. anunya dik Hilman juga sama saja dengan remaja di desa sini kan?,” jawab Titin.
Diam-diam Titin merasa lucu juga mendengar pertanyaan itu.
“Eh.. anu mbak.. maksud saya…,”
“Hayo.. dik Hilman pernah ngintip cewek di kota mandi ya?,” kelakar
Titin membuat Hilman salah tingkah dan semakin malu. Tapi ia merasakan
pancingannya sudah mulai mengena pada Titin.
“Ah.. nggak kok mbak. Saya malah belum pernah lihat cewek telanjang
sekalipun, hanya pernah di pelajaran biologi liat gambarnya aja. Makanya
penasaran mbak..,” aku Hilman.
Mendengart itu Titin jadi kTitinan pada Hilman. Di desanya rata-rata
remaja pria sudah semua pernah melihat payudara wanita secara langsung,
meskipun hanya wanita setengah baya yang sedang mandi di sungai. Ia lalu
berpikir memperlihatkan susunya kepada Hilman untuk mengobati penasaran
anak kota itu. Lagi pula ia kan bukan gadis lagi, dan selama empat
remaja itu di dusunnya ia diminta kadus ayahnya membantu mereka
mengenali lingkungan dan kehidupan desa.
“Ya sudah.. kalau mbak liatin susu mbak gimana?,” tanya Titin.
“Ehhhmm.. mau mbak.. tapi mbak nggak marah kan?,” kata Hilman senang.
Titin tersenyum dan beranjak ke sisi sungai yang lebih dangkal agar
tubuh atasnya terentas, ia kemudian berdiri bersandar di batu sisi
sungai. Mata Hilman seperti tak percaya melihat susu montok Titin
terpampang di hadapannya, kental dan berwarna kuning langsat dengan
puting coklat muda.
“Tuh sudah liat kan.. sudah ya,” kata Titin.
“Tu..tunggu bentar mbak…, emhh boleh dipegang ya mbak.. bentaaar aja..
ya.. boleh ya,” rengek Hilman, tangannya lalu menyentuh perlahan susu
Titin mulai dari pangkalnya diraba hingga puting susunya dijepit ringan
dua jari.
“Hmm.. gimana.. sudah ya dik.., sama saja kan dengan di gambar?,” Titin
merasa merinding disentuh susunya, sebab selama empat tahun ini ia tidak
pernah lagi merasakannya sejak ditinggal mati suami.
Mata Titin mengawasi teman-teman Hilman lainnya, jangan-jangan yang
sedang terjadi terlihat oleh mereka. Tapi ia lega, tiga teman Hilman
cukup jauh dan terhalang pandangannya dengan batu di tengah sungai.
Saat Titin terlihat sibuk mengawasi temannya, Hilman menggunakan kesempatan itu, ia semakin nekat meremasi susu Titin.
“Mbak.. kenyalnya enak ya..,” katanya sambil terus memijati putting Titin.
“Enghhmm.. sudah ah dikhh.., sudah ya,” pinta Titin sambil menepis tangan Hilman.
Tapi Hilman masih saja meremasi susu Titin.
“Eh mbak.. kok begitu megang susu mbak.. burung saya bangun sih?,” Hilman bertanya kekanak-kanakan sambil terus meremasi Titin.
Titin kembali merasa lucu dengan pertanyaan Hilman, namun mendengar
kata burung mebuat pikiran Titin tak karuan dan merindukan melihat
burung suaminya. Tadinya ia berpikir empat remaja ini masih sangat
kanak-kanak tapi mendengar Hilman mengaku burungnya berdiri Titin jadi
penasaran juga, sebesart apa sih burung anak usia belasan ini.
“”Apa.. emang burung dik Hilman bangun sekarang?,” tanya Titin.
“Iya mbak.. nggak tau nih kenapa.., nih mbak pegang coba,” Hilman
segera menuntun tangan Titin ke penisnya yang terbungkus kolor.
Titin merasakan nafasnya memberat saat tanganya menyentuh penis
Hilman. Remaja ini bongsor dan atletis dibanding usianya yang masih
belia. Penisnya juga sudah sebesar penis pria dewasa umumnya.
“Tuh kan mbak.. bangun.. kenapa ya mbak?,” rengek Hilman.
“Emhh.. oh.. ini wajar dik.. normal. Kan di pelajaran biologi juga adik sudah tahu..,” kata Titin.
Sambil tangannya terus mengusapi penis Hilman, Titin seolah menggurui
menjelaskan kalau penis pria berdiri karena terangsang apalagi jika
menyentuh vital wanita.
“Sini dik.. nah kalau diginiin rasanya gimana?,” Titin menyusupkan
tangannya ke balik CD Hilman dan mulai mengocok pelan penis Hilman.
“Aduhh.. mbaakkhh enakhh..,”lenguh Hilman.
“Itu wajar dik.. nanti kalau sudah kawin baru deh dik Hilman rasain
enaknya. Karena kalau sudah punya istri, burungnya dik Hilman bisa
bersarang di sarangnya,” kata Titin.
Ia tak sadar penjelasannya justru membuat pertanyaan-pertanyaan menyusul yang menuntut dari Hilman.
“Sarangnya apa tuh mbak.., enghh.. terusin digituin mbak.. enakhh
nih..,” Hilman merasa penisnya sudah sangat tegang, tangannya terus
meremasi susu Titin. Nafas Titin mulai menyesak.. ia membayangkan penis
itu penis suaminya yang sudah siap mengantar kenikmatan padanya.
“Hhh.mmmm.. sarangnya namanya memek dik.. seperti punya mbak ini..sini
dik Hilman pegang ya..,” Titin menuntut tangan kanan Hilman ke
selangkangannya.
Hilman bisa merasakan lembutnya permukaan vagina Titin.
“Wah.. lembut sekali ya mbakhh.. kalau dipegangin gini mbak merasa
enak juga nggak kayak saya,” Hilman terus melancarkan tanya, sambil
tangannya mulai membelai-belai permukaan vagina Titin.
Titin sedikit mengangkangkan kakinya memberi ruang bagi tangan Hilman.
“Ngghhh.. sstt.. yahh enakhh dikhh.., sama enaknya..,” tubuh Titin mulai menggelinjang dipermainkan gatal dan geli di vaginanya.
“Terus gimana selesainya mbak.. kalau burung saya bersarang di sarangnya
nanti?,” Hilman terus bertanya penasaran, pikirannya sudah melayang ke
film porno yang pernah ditontonnya.
Penisnya kenikmatan karena tangan Titin semakin liar mengocoknya.
“Emmhh.. kalau sudah masuk ke sarangnya.. nanti burung dik Hilman
bisa loncat-loncat di dalam.. teruss kalau mau selesai dia nyemprotin
air..,” Titin semakin terangsang dengan pertanyaan Hilman, CD Hilman
dilorotkanya dan penis Hilman dikocok semakin cepat.
“Ahh..sst.. geli banget mbakhh… auh.. kayak mau kencing nih.. ouh…,
mbaakhh enak juga khan..?,” Hilman melenguh merasakan kedutan di
penisnya.
Ekspresi kenikmatan Hilman membuat Titin semakin teransang, apalagi
tangan Hilman juga semakin aktif mengosok permukaan vaginanya.
“Iya dik.. sstt enakhh juga mbakkhhh.. ahhkkss.. keluarin aja
kencingnya nggak usah ditahan,” Titin merasakan tubuh Hilman mulai
menegang dan croottt… semburan sperma Hilman muncrat ditangannya.
Titin sudah terbakar birahi, pingulnya bergoyang agar lebih merasakan gosokan tangan Hilman di vaginanya.
Tapi sebelum ia klimaks, Titin mendengar suara teman-teman Hilman
mendekat. Ia segera menyudahi aksinya dan kembali beranjak ke sungai
yang lebih dalam agar tubuhnya terbenam lagi.
“Eh..mbak makTitin ya sudah ngajari saya.., jangan bilang ke yang
lain mbak ya,” Hilman malu-malu menghampiri Titin kemudian ia naik ke
bibir sungai dan bersalin pakaian.
Titin mengangguk, ia sendiri sangat malu menyadari apa yang barusan
terjadi. Tapi klimaks yang belum sempat diraih membuat pikiran Titin
jadi tak karuan saat itu.
Andi, Raju, dan Roni sudah berkumpul bersama Hilman dan sudah
bersalin pakaian. Titin menyuruh mereka ke tenda duluan meninggalkanya,
agar tak terlihat saat ia harus naik ke bibir sungai untuk kembali
mengenakan kain dan bajunya.
Posted By : www.tugupoker.net
No comments:
Post a Comment