Bandar Bola Online - Kisah Nikmat Memperkosa Memek Sempit - Pagi ini Rani berpakaian rapi seperti biasanya. Gadis langsing berkulit
bersih itu mengenakan seragam sekolahnya, kemeja OSIS berpasangan dengan
rok berwarna abu-abu, ditambah balutan jas almamater berwarna cokelat
muda. Rambutnya yang lumayan pendek -tidak sampai menyentuh bahu- malah
membuat Rani semakin manis. Sebagai siswi SMK jurusan pariwisata yang
sedang kerja praktek di sebuah hotel mewah, Rani mendapat tugas sebagai
asisten receptionist.
Bandar Bola Terpercaya - Namun pagi ini, rupanya masih terlalu pagi sehingga mungkin sang
receptionist malas menemani Rani. Demikian juga dengan kawan kerja
prakteknya yang juga ditempatkan di bagian reception, masih belum
terlihat juga batang hidungnya. Untungnya pagi ini tidak terlalu ramai.
Tamu-tamu sangat jarang yang check in pada jam-jam ini. Tamu yang check
out juga bisa dihitung dengan jari. Sebagian besar tamu hotel sedang
menikmati makan paginya di coffeeshop hotel.
Karena reception
masih sepi sepi saja, Ranipun duduk dan melirik jam tangannya. Hampir
pukul tujuh pagi. Mestinya sang mitra kerja praktek yang juga berasal
dari sekolah yang sama sudah datang. Sehingga walaupun tidak ada pegawai
hotel yang menemani, Rani tidak perlu sendirian disini. Gadis itu
kemudian menghela napas. Perasaan bingung kembali bergelayut dihatinya.
Jika saja, jika saja, ia sudah benar benar bekerja di hotel ini, mungkin
ia tidak segalau ini.
Hemodialisa. Satu kata itu benar benar
mengerikan bagi Rani sekarang. Mungkin bagi orang berpunya, akan enteng
saja dijalankan. Namun baginya, lain cerita. Ibunya telah divonis
pembengkakan jantung. Dan setelah analisa dokter, penyebabnya adalah
gagal ginjal.
Hemodialisa. Benar, cuci darah. Rani menghela napas
lagi. Hemodialisa harus dilakukan ibunya seminggu dua kali. Seminggu,
dua kali. Berapa biayanya itu? Tujuh ratus lima puluh ribu, sekali
tindakan. Satu juta lima ratus ribu, setiap minggu. Enam juta setiap
bulan. Seumur-umur Rani belum pernah memegang uang sebanyak itu. Namun
pengobatan mahal itu mutlak dilakukan. Jika tidak, Ibunya akan mati
lemas.
Rani tumbuh besar menjadi seorang gadis remaja tanpa
merasakan kasih sayang seorang ayah. Ayahnya meninggal ketika Rani masih
berusia delapan bulan karena kecelakaan. Sejak saat itu, Ibunya yang
bekerja serabutan sebagai tukang cuci atau pembantu rumah tangga yang
pulang hari, harus bekerja keras untuk menghidupi dirinya sendiri dan
Rani. Dan Rani bukan gadis yang tidak tahu diri. Prestasinya di sekolah
selalu baik. Gadis itu tahu sang ibunda selalu bekerja keras agar
dirinya mendapat pendidikan yang layak. Karena itu, Rani sudah bertekad
akan secepat mungkin bekerja, untuk membantu meringankan beban ibunya.
Itulah alasan ia memilih untuk sekolah di SMK.
“De’.…”, tiba-tiba terdengar suara memanggil.
Rani masih diam.
“Hei, De’….”
Rani
terkejut. Seketika ia mendongakkan kepalanya. Lebih terkejut lagi ia
mendapati sosok yang memanggilnya berwajah tampan. Pemuda berusia di
akhir usia duapuluhan, atau awal tigapuluhan. Ia mengenakan kemeja putih
berpasangan dengan pantalon berwarna krem.
“Sendirian disini? Receptionistnya mana? …”, ujarnya.
Rani
seperti tersihir. Entah kenapa. Laki laki ini begitu tampan. Apakah dia
mau menologku? Tiba tiba terpikir pertanyaan aneh di benak Rani.
“Lho, kok nangis?”, pemuda itu bertanya bingung seiring dengan air mata Rani yang tiba-tiba mengalir.
Rani
terkesiap. Dengan tergesa-gesa ia menghapus air matanya. “Eh iya Pak?
Maaf… maaf… tadi… eh.. Bapak mau check out?”, Rani gelagapan.
Si pria tampan tersenyum geli. “Nggak, saya nggak mau check out. Saya kan kerja disini”, ujarnya lembut.
“Hah?”, Rani terlihat bingung.
“Kamu
nggak kenal saya?”, senyum pria tampan itu kembali menghiasi wajahnya.
Membuat Rani seakan limbung. “Tadi kenapa, kok nangis Ran? Eh kamu
dipanggil Rani kan?”
Astaga, kenapa dia tahu nama aku? tanya Rani dalam hati. Tapi gadis itu hanya mengangguk.
“Nah,
mau cerita kenapa tadi kamu nangis?”, si tampan malah menatap Rani.
“Diputusin pacar ya Ran?”, kemudian ia tersenyum simpul.
“Ah, Bapak… bisa aja…”, Rani kembali mengusap matanya. “Rani belum punya pacar Pak…”, gadis itu mencoba menyunggingkan senyum.
“Terus kenapa dong?”, si tampan kembali bertanya.
“Ah nggak apa apa Pak…”, jawab Rani.
“Terus kenapa nangis?”, si tampan mengejar terus. “Ada yang bisa aku bantu?”, si tampan kembali menatap Rani dengan lembut.
Rani
menatap pria tampan itu dengan ragu-ragu. Kondisi Rani sekarang sudah
jelas membuat gadis itu memerlukan bantuan. Bantuan dana. “Rani butuh
uang Pak..”, ujar Rani tanpa sadar. Seketika gadis itu menutup mulutnya.
“Eh… aduh… maaf Pak….”, wajah gadis itu seketika menjadi panas.
“Buat beli pulsa?”, si tampan nyengir kuda.
“Ah
enggak… enggak…”, ujar Rani kembali gelagapan. “Bu… buat cuci darah…”,
karena kalut dan malu, Rani malah berkata jujur. “Eh.. aduh… “, gadis
itu kembali menutup mulutnya.
Raut wajah si tampan berubah serius. “Cuci darah Ran? Siapa? berapa kali seminggu?”
Rani
terdiam. Sekarang sudah tidak ada gunanya lagi menutup-nutupi. Tanpa
sadar, gadis itu sudah terlalu banyak bicara. “Ibu. Dua kali seminggu”,
ujar Rani akhirnya.
“Ooo..”, jawab si tampan. Ia langsung
mengeluarkan buku cek. Setelah menulis sesuatu disitu, kemudian ia
merobeknya selembar dan menyodorkannya pada Rani. “Ini saya kasih cek
aja. Mestinya cukuplah, untuk beberapa minggu. Tinggal diuangkan saja”,
ujarnya.
Rani melongo. “Pak.. aduh..”, tiba tiba lidah Rani langsung kelu.
“Jangan
banyak komentar. Ambil saja. Nanti kamu boleh minta lagi kalo sudah
habis”, jawabnya cepat. Tapi Rani masih terlihat bingung. “Cepat. Itu
receptionist-nya datang. Enggak enak kalau kelihatan dia”, ujar si
tampan ketika melihat seorang gadis berusia duapuluhan masuk ke ruangan
yang ada di dekat situ. Ruangan itu memiliki selasar yang menembus di
bagian belakang ruang reception.
Rani masih bingung. Tapi melihat
si tampan menatapnya dengan tajam, membuat gadis itu terpaksa mengambil
lembaran cek yang disodorkannya. Rani sempat melihat jumlah nominal yang
tertera di atasnya. Lima belas juta rupiah. Jantung Rani seakan
berhenti ketika menyadarinya. Dan ia hampir melompat karena kaget ketika
mendengar pintu dibelakangnya tiba tiba membuka.
“Pagi Pak…”, si receptionist menyapa sambil sedikit membungkuk ketika melihat si tampan.
“Pagi…”, si tampan membalas sambil tersenyum. “Saya naik dulu ya”, ujarnya kemudian sambil berbalik badan.
“Baik Pak”, si receptionist kembali sedikit membungkuk. Tapi si tampan
tidak menoleh. Beberapa saat kemudian ia lenyap dibalik pintu elevator.
“Eh.. mbak… bapak itu tadi siapa ya?”, tanya Rani bingung.
“Hah? Aduh Rani, masa lu nggak tahu itu siapa? itu Pak Anthony, yang
punya hotel ini!”, seru si receptionist. “Tapi dia emang jarang nongol
sih disini”
“Hah? masa? aduh, aku kirain tamu!”, wajah Rani tiba-tiba berubah pias. “Abis kelihatannya masih muda”
“Emang.
Tigapuluh tahunanlah”, jawab si receptionist. “Pak Anthony resmi jadi
pemilik hotel ini, dua tahun yang lalu. Setelah kedua orang tuanya
meninggal. Tragis. Ibunya gantung diri. Sementara ayahnya, pemilik awal
hotel, yang waktu itu masih di Malaysia, malah meninggal karena
kecelakaan disana. Dia sempat stress berat dan hampir bunuh diri karena
itu. Tapi untung aja ada yang menyadarkannya. Dia langsung mengambil
kendali hotel, meningkatkan fasilitasnya sampai jadi bintang lima. Tapi
banyak orang yang bilang, sepeninggal ayah ibunya, Pak Anthony menjadi
berbeda..”
Rani belum sempat buka mulut ketika pintu dibelakang
mereka kembali membuka. Seorang gadis yang berpakaian sama dengan Rani
tampak tergopoh-gopoh masuk. “Maaf mbak Clara, aku telat…”, ujarnya
sambil tersengal-sengal.
Receptionist yang rupanya bernama Clara
itu tersenyum sambil berujar, “Lagi-lagi telat, Dian?” Rani berdiri
mematung di depan pintu jati yang kokoh. Belum sempat gadis itu
menggerakkan tangan hendak mengetuk, pintunya membuka.
“Ah, datang
juga, akhirnya!”, Anthony berujar dengan wajah cerah. Pemuda itu
langsung mempersilahkan Rani masuk. Anthony tampil rapi seperti
biasanya. Namun mungkin karena hari ini hari minggu, ia tidak mengenakan
dasi. Pemuda itu mengenakan pantalon hitam berpasangan kemeja lengan
pendek berwarna kuning gading.
Rani duduk di hadapan sofa
berhadapan dengan Anthony yang duduk di meja kerjanya. Gadis itu kikuk
luar biasa. Kembali ke hotel ini lagi, bukan sebagai siswi PKL melainkan
sebagai tamu dari Anthony, yang tidak lain adalah pemilik sekaligus
direktur hotel, membuat gadis itu gugup. Terlebih lagi Anthony sudah
tahu maksud kedatangan dirinya.
“Jadi, Ibumu sehat, Rani?”, tanya Anthony sambil menulis buku cek.
“I… iya, Pak…”, jawab Rani.
“Syukurlah”, jawab Anthony. “Berarti Rani sekarang kelas tiga dong ya? Naik kelas kan?”
“Eh… iya, kelas tiga sekarang Pak..”, Jawab Rani.
“Bagus!”, seru Anthony sambil menyerahkan selembar cek. Tapi Rani diam saja. Anthony menatap Rani dengan kening berkerut.
“Pak Anthony…”, Rani berujar Lirih.
“Iya?”, anthony menatap Rani dengan lembut.
“Cu… eh… cuci darah… Ibu mesti cuci darah itu… seumur hidup Pak…”, Rani terbata-bata.
“Oh iya, biasanya. Kecuali ada yang mau donor ginjal…”, jawab Anthony.
“Jadi selama itu Rani…”, gadis itu diam sesaat, sebelum melanjutkan, “Rani harus minta uang sama Pak Anthony?”
Anthony
tersenyum lagi. Dan sekarang ia duduk di sebelah Rani. Rani refleks
menggeser duduknya untuk memberikan tempat yang lebih luas pada mantan
atasannya itu. “Rani”, ujar Anthony. “Nggak selamanya kamu mesti minta
uang sama saya. Nanti kalo udah kerja kan bisa biayain sendiri..”
“Tapi itu kan masih lama…”, Rani makin malu. “Sebelum itu, Rani ngerepotin Pak Anthony terus”
“Ya nggak apa-apa…”, Anthony mencoba menenangkan.
“Tapi… Rani nggak enak harus minta terus…”, jawab Rani lagi. Gadis itu merasa serba salah.
Anthony menghela napas. “Ibumu kerja apa Ran?”
“Tukang cuci”, jawab Rani. “Tukang cuci keliling. Pembantu. Tapi pulang hari, nggak nginep”
“Ahh… begitu”, jawab Anthony. “Kalau begitu jadi lebih mudah”, raut wajah Anthony terlihat sedikit cerah.
“Maksud Bapak apa? Rani nggak ngerti..”
“Ah gini aja Ran, kamu sama Ibu tinggal di rumah saya saja. Ibumu bisa
kerja sama saya, saya gaji untuk ngurus-ngurus rumah. Kamu juga bisa
berangkat sekolah dari rumah saya. Nah tiap minggu ibumu juga bisa cuci
darah kan, saya yang bayarin. Jadi kita simbiose mutualisma”, cerocos
Anthony sambil tersenyum lucu.
Rani malah melongo. Tentu saja usulan Anthony adalah usul yang bagus. Tapi…
“Ya
sudah deh, Ran. Antar saya ketemu Ibu. Nanti saya yang bicara sama
Ibumu..”, kembali Anthony menyunggingkan senyumannya yang khas. “Boleh?”
“Eh, iya terserah Bapak aja…”, Rani masih belum bisa lepas dari rasa kikuknya.
Anthony tertawa. “Kalau Ibumu setuju, tugas pertama kalian adalah, nemenin saya liburan dua minggu, di Bali!”, seru Anthony.
“Bali?”, Rani makin bingung.
“Iya Bali. Kamu masih libur panjang kan? Kamu sama Ibu harus ikut saya. Eh tapi panggil Mas aja Ran”, ujar Anthony.
“Mas?”, Rani terbengong seperti orang linglung.
“Iya, panggil saya Mas aja…”, Anthony menegaskan.
“Pak Anthony… eh.. Mas.. Mas.. Mas.. Anton…”, Rani terbata-bata.
“Boleh! Mas Anton kayaknya bagus. Mas Anton!”, seru Anthony.
Sampai
hari ini Rani belum bisa memahami nasib baik yang menaungi dirinya.
Bagaikan dijatuhi durian runtuh, nasib Rani seketika berubah. Dari gadis
miskin yang mengisi hari hari luangnya dengan pekerjaan rumah, seketika
menjelma menjadi gadis yang menghabiskan waktu liburannya di Bali. Tiap
hari Rani berjalan-jalan di pantai sekitar hotel tempat mereka
menginap. Makan satu meja dengan Anthony, belanja dari mulai gantungan
kunci sampai dengan baju. Sampai gadget. Betul, gadget. Walaupun barang
yang disebutkan terakhir tidak perlu dibeli disini. Namun kenyataannya
Anthony memang membelikan Rani gadget di Bali. Anthony masih dengan
sangat murah hati membelanjakan uangnya untuk memanjakan Rani, dan juga
Ibunya.
Walaupun demikian, Rani menyadari, semahal apapun pakaian
yang dikenakannya sekarang, secanggih apapun gadget yang ada di
genggamannya, statusnya sebagai anak dari seorang tukang cuci tidak akan
pernah berubah. Namun sebagai seorang gadis remaja biasa, mau tidak mau
Rani menikmati juga kehidupan ‘mewah’ yang baru saja diberikan padanya
oleh Anthony.
Sekarang Rani sedang menikmati malam terakhirnya di
Bali, karena Anthony harus kembali ke Jakarta besok. Dan penuh rasa
syukur Rani menatap laut yang hitam pekat dihadapannya. Puluhan lampu
kelap kelip tampak dari kejauhan. Pemandangan yang, sebelumnya, hanya
bisa dilihat Rani dari buku, majalah, atau acara televisi. Gadis itu
berdiri di balkon president suite room pada hotel tempat mereka
menginap. Suara desiran ombak terdengar merdu di telinga Rani. Apakah
nasibnya sekarang sudah berubah? Pertanyaan itu berkali kali terngiang
dalam benak Rani.
“Jika ada orang yang berbuat baik pada kita”,
ibunya suatu hari pernah berkata, “terima dan syukurilah. Mungkin itu
balasan Tuhan atas perbuatan baik kita di jaman dulu. Tapi, bisa juga
itu hutang yang harus dibayar di waktu yang akan datang”
Ingatan
akan perkataan ibunya itulah yang masih mengganjal di benak Rani. Jika
memang kebaikan yang diberikan Anthony adalah hutang, dengan apakah
gadis itu harus membayar? Walaupun Rani sudah berusia enam belas tahun,
pemikiran gadis itu masih polos. Untuk membayar semua yang telah
diberikan Anthony padanya, dan ibunya juga, rasanya Rani tidak sanggup.
Walaupun ia bekerja siang malam selama sepuluh tahun.
“Masih muda
kok udah pinter ngelamun!”, seru Anthony tiba tiba dari belakang Rani.
Dengan lembut ia mengenakan jasnya di punggung Rani, maksudnya supaya
gadis itu terlindung dari terpaan angin laut. “Daripada masuk angin”,
ujarnya sambil nyengir.
“Eh… Mas Anton…”, Rani tidak bisa
menyembunyikan rasa terkejutnya. Sebenarnya gadis itu risi, tapi, ada
perasaan senang ketika Anthony datang dan menyampirkan jasnya di
punggungnya. Kayak di film-film romantis, Rani geli sendiri dalam hati.
“Besok kita balik ke Jakarta”, ujar Anthony.
“Ehm, iya Mas. Masih ada yang harus diberesin?”, tanya Rani. Belajar jadi asisten rumah tangga yang baik.
Anthony tersenyum. “Ibu-anak sama aja. Yang dipikirin pekerjaan melulu. Disuruh santai di Bali malah masih nyari-nyari kerjaan”
“Ah nggak, Rani santai aja kok disini”, Rani menyanggah. Mulai berani
nyolot pada ‘majikannya’. “Tapi, ada yang masih harus diberesin, Mas?”
Anthony
tertawa. “Nggak. Semua kan udah ibu, dan kamu, beresin tadi sore. Besok
pagi tinggal berangkat”, Anthony berujar. “Besok sehabis dari bandara,
kita langsung ke rumah saya aja. Kamarmu dan kamar Ibumu sudah
disiapkan. Oo oo.. jangan melihat saya kayak gitu, Rani. Iya, kamarmu
berbeda dengan Ibumu. Saya tahu anak perempuan seumur kamu sudah harus
punya kamar sendiri. Privasi. Dan bajumu dan ibumu nanti beli saja lagi.
Jadi kamu nggak perlu balik lagi ke rumah kontrakanmu yang butut itu”
Tidak
biasanya kediaman Anthony, bujangan pemilik sebuah hotel bintang lima
di jakarta, ramai oleh kunjungan tamu-tamunya. Namun hari ini keriuhan
tidak terhindarkan karena kedatangan teman-teman Rani, anak dari asisten
rumah tangganya yang berulang tahun yang ke tujuh belas.
Anthony
sendiri yang berinisiatif mengundang teman-teman Rani, dan mengadakan
pesta ulang tahun di rumahnya. Rani pada awalnya menolak, namun Anthony
tetap pada pendiriannya. Sehingga membuat Rani tidak bisa berbuat banyak
– walaupun senang tentu saja.
Pesta berlangsung sejak jam 18.30.
Setelah acara makan malam, dilanjutkan dengan tiup lilin diiringi suara
riuh rendah teman-teman Rani yang membuka mulut selebar-lebarnya
menyanyikan lagu panjang umurnya. Rani sendiri merasa sangat bahagia.
Seumur-umur baru kali ini ulang tahun gadis itu dirayakan.
Setelah
potong kue, tentu saja dilanjutkan dengan acara buka kado. Semua teman
teman Rani memberikan gadis itu hadiah. Jenisnya bermacam-macam, sampai
Rani bingung sendiri. Anehnya selama acara berlangsung, hanya sekali
Anthony menampakkan batang hidungnya : ketika menyambut kedatangan teman
teman Rani yang memang datang segerombolan. Setelahnya Anthony
mengurung diri di kamarnya. Bahkan sampai teman teman Rani pulang,
Anthony tidak pernah muncul lagi.
“Jadi maumu apa heh?”, seorang pria terdengar marah-marah dengan lawan bicaranya melalui ponsel.
“Jangan sentuh dia, Pak. Please..”, suara perempuan di ujung sana hampir menangis.
“Apa hakmu ngelarang saya…”, nada suara sang pria terdengar makin tinggi, tapi terpotong jerintan lawan bicaranya.
“Dia itu teman saya. Anak baik baik Pak. Dia masih polos..”, lawan bicara sang pria terdengar putus asa.
“Tidak seperti kamu eh, Dian?”, pungkas sang pria seraya memutuskan hubungan.
Rani
baru saja selesai mandi ketika smartphone miliknya berbunyi ‘ping’
beberapa kali. Tidak mengacuhkannya, gadis yang masih mengenakan gaun
mandi itu terus saja mengeringkan rambutnya yang basah. Iapun duduk di
tempat tidur miliknya yang bersprei satin berwarna putih bersih. Setelah
merasakan rambutnya hampir kering, Rani baru meraih smartphonenya.
Apa-apaan
sih, si Dian? Tanya Rani dalam hati. Gadis itu berdiri dan berjalan
menuju lemari pakaiannya yang berpintu kaca cermin. Tapi tiba tiba Rani
kembali teringat akan perkataan ibunya,
“Jika ada orang yang
berbuat baik pada kita, terima dan syukurilah. Mungkin itu balasan Tuhan
atas perbuatan baik kita di jaman dulu. Tapi, bisa juga itu hutang yang
harus dibayar di waktu yang akan datang”
Sial, gerutu Rani dalam
hati. Kenapa tiba-tiba aku jadi ketakutan begini sih? Kenapa juga si
Dian gila itu mesti ngomong yang nggak-nggak, kan nggak mungkin kalo Mas
Anton… Gadis itu terkejut bukan main ketika tiba-tiba pintu kamarnya
membuka, Anthony masuk dan langsung mengunci pintunya.
“Mas Anton?”, Rani heran. Belum menyadari bahaya yang tengah mengintai.
“Oh kamu memang cantik, Rani…”, ujar Anthony. Pria itu bertelanjang dada
dan hanya mengenakan celana boxer. Sorot matanya aneh. Ia mendekati
Rani dan mencengkeram lengan gadis itu. Sementara dengan tangan lainnya
Anthony mencoba melepaskan gaun mandi Rani.
“Mas Anton! Apa-apa…”, Rani berusaha menahannya.
Anthony memelintir lengan Rani sehingga gadis itu memekik kesakitan. Dan kemudian ia mencengkeram tubuh gadis itu dari belakang.
“Ibuuuuu! Tolooong!”, Rani memekik.
“Teriak saja semaumu, manis. Ibumu sudah tidur. Dan asal kau tahu,
kamarmu dan kamar ibumu kedap suara”, tangan kiri Anthony berhasil
melepaskan ikatan gaun mandi Rani. Sementara tangan kanannya menahan
tubuh Rani.
“Mas Anton.. jangan Mas.. tolong..”, Rani mulai menangis.
“Kau pikir kau bisa seenaknya aja ngabisin uangku eh?“, hardik Anthony
sambil mencium pipi Rani dengan kasar. “Dasar perempuan murahan. Selalu
saja menggunakan kecantikan dan air mata kalian untuk keuntungan. Sial.
Jika tidak ada perempuan murahan terkutuk macam kalian, tentu Ayahku
tidak selingkuh. Dan Ibuku masih hidup…”
“Mas Anton ngomong apaan sih? Rani nggak…”
“Halah, sudah, lepas aja!”, Anthony menghardik sekaligus menarik gaun
mandi Rani dengan keras sehingga gadis itupun telanjang. Anthony
langsung menarik Rani ke ranjang dan menindihnya. Dengan kasar ia
langsung mengulum bibir Rani. Sementara kedua tangan gadis itu dipegangi
dengan kuat. Puas melumat bibir gadis malang itu, Anthony menuju
sasaran lain, payudara. Anthony menarik salah satu payudara mungil gadis
itu ke pangkalnya sehingga putingnya mencuat ke atas. Detik itu juga
anthony menggigit puting itu dan menariknya dengan gemas.
“Aaaaaagh… sakit.. sakit Mas Anton… sakit…”
Anthony hanya
mengerang dan memperkuat gigitan. Seperti binatang buas yang mencoba
mengoyak daging buruannya dengan ganas. Kemudian ia beralih ke puting
Rani yang lain. ia menjilatinya. Sementara Rani hanya bisa meringis.
Tapi kemudian Anthony kembali menggigitnya dan menarik puting itu sekuat
mungkin. Rani kembali menjerit, dan Anthony seperti tersenyum dalam
erangan. Anthony cukup cerdik untuk menyakiti puting Rani tanpa membuat
puting Rani putus. Karena jika sampai hal itu terjadi, bisa berakibat
fatal. Dan ia tidak bisa bermain dengan tubuh Rani lebih jauh.
“Tetek
kamu imut imut kenyal, Ran!”, seru Anthony sambil mengusap mulutnya
dari liur yang mengalir. Ia tampak puas melihat kedua payudara Rani yang
berwarna kemerahan bekas gigitannya. Anthony kemudian dengan kasar
mengangkangkan kedua paha Rani. Gadis itu hanya bisa menangis pasrah.
“Wuih Rani, memek kamu masih rapet nih…”, ujarnya sambil mencolek-colek
celah vagina Rani yang segaris lurus, bersemayam diatas gundukan yang
menyembul berwarna putih bersih tanpa rambut.
Anthony melepaskan
boxernya. Seketika burung berotot miliknya menjenjang keluar seperti
tiang listrik. Kemudian ia berlutut di antara kedua paha Rani, dan
membiarkan kedua kaki Rani yang jenjang itu menjuntai di atas pahanya,
sehingga kepala zakar miliknya tepat berada di hadapan belahan mungil
rapat di kutub selatan tubuh Rani.
“Mas… jangan Mas… tolong… ampun Mas…”, Rani meratap sambil terisak.
“Ah, persetan!”, Anthony mulai melesakkan kejantanannya ke dalam sangkar imut Rani.
“Jangan Mas… sakiit….”, Rani meringis. Air matanya terus mengalir.
“Perempuan kayak kamu emang harus disakitin. Itu kan yang kalian mau?
Setelah menangis, lalu mengais. Mengais uang macam tikus mengais makanan
basi di tong sampah!”, Anthony menghardik. Dan seketika mendorong
penisnya sejauh mungkin. Dengan sekuat tenaga.
“Aaaaaaagh… sakit Mas…”, Rani merintih pilu. Detik yang sama kejantanan
Anthony berhasil merenggut kepolosan tubuh Rani. Darah menetes dari
celah mungilnya.
Anthony tertawa serak. Mengerikan. Bagaikan hewan
buas yang baru menguasai lawannya. Tanpa menunggu lebih lama lagi,
Anthony mulai memompa. Menggenjot tubuh Rani yang malang. Bagaikan
memeras sari kemurnian tubuh gadis itu. Menyayat liang vagina Rani,
Seiris demi seiris.
“Mas… ampun Mas… periih… sakit….”, Rani merintih memohon belas kasih.
“Ah…” napas Anthony tersengal sengal. “Bohong! kalian bilang sakit,
ngh.. ngh.. supaya bisa dapet duit lebih kan…” Anthony makin buas
mengaduk liang mungil Rani. Vagina Rani berkontraksi luar biasa, mencoba
mengeluarkan batangan asing mengerikan yang menyesakinya. “Ah… memek…
memek perawan emang enagh…”, Anthony merasa nikmat luar biasa.
“Eng… Sakit Mas… ampun… udagh Mas.. please… udagh… perih Mas… ampun…”
Anthony
makin ganas. Seakan ingin merobek robek liang vagina Rani, ia
menghujamkan batangannya bukan hanya untuk merasakan kenikmatan celah
surgawi itu, tapi juga untuk menyakiti Rani. Sesakit mungkin. Tapi
seketika tubuh Anthonypun menegang. Ototnya mengeras bagai patung. Dan
detik itu cairan hina Anthony muncrat dan membanjiri liang mungil Rani.
Anthony menghujamkan batangannya sedalam mungkin, mengangkat pantat Rani
agak keatas agar spermanya mengalir ke rahim. Seakan akan hendak
menghamili gadis itu. Semata mata hanya untuk menambah penderitaanya
saja. Jika Rani benar benar hamil, Anthony akan menggugurkannya.
“Ah…
memek kamu luar biasa Ran!”, seru Anthony sambil mencabut penisnya dari
vagina Rani. “Bener-bener memek perawan sweet seventeen!”
“Mas
Anton tegaa…”, Rani meratap sambil terisak isak. Gadis itu langsung
terduduk. Memandang celah mungilnya yang sekarang perih luar biasa. Noda
merah terpercik di sprei dibawahnya.
Anthony tertawa kasar. “Basa
basi”, sergahnya. “Emangnya kamu sebegitu naifnya sehingga mau aja uang
yang saya kasih eh? Kamu tidak pernah berprasangka sedikitpun, hari ini
pasti terjadi?”, Anthony nyerocos sambil mengenakan kembali boxernya.
“Nggak mungkin Ran. Nggak mungkin kamu sebodoh itu. Kamu pasti tahu,
cepat atau lambat, pasti…”
“Rani nggak tahu!”, jerit Rani.
“Lagipula, waktu itu Rani lagi bingung. Jujur, butuh duit buat Ibu. Apa
Rani salah kalo nerima uang, yang Mas Anton kasih sendiri, buat Ibu
berobat?”, kembali Rani tersedu-sedu.
“Ah iya”, Anthony berkata
sinis. “Ibumu itu butuh uang ya…”, ujarnya sambil mendekati Rani yang
terduduk di ranjang. “Kalau begitu”, Anthony duduk di samping Rani,
mendorong gadis itu hingga terlentang, kemudian menghujamkan jari tengah
dan telunjuknya ke dalam vagina Rani. Seketika Rani menjerit kesakitan.
“Siapkan memekmu setiap saat, bocah, Kalau kamu mau aku terus bayar
ibumu berobat!”
“Baru pulang Ran?”, tanya Anthony yang sedang
duduk di ruang tengah, ketika melihat Rani berjalan masuk masih
mengenakan seragam sekolahnya dan bertelanjang kaki.
“Iya Mas”,
jawab Rani sambil berjalan masuk ke ruang makan. “Mas Anton belum makan
ya?”, ujarnya ketika melihat makanan di atas meja makan masih utuh. “Ibu
masih di rumah sakit ya Mas?”
“Iya”, Anthony menjawab pendek.
Tiba tiba sudah di pintu ruang makan. Ia langsung memeluk Rani dari
belakang. “Aku mau makan kamu dulu…”, Anthony menciumi leher Rani. “Ah,
keringat kamupun enak dicium, Ran…”
“Mas… “ Rani meronta. “Jangan… tadi pagi kan udah…”
“Ah, sudah lupa kalo kamu itu pelacurku, Ran? Pelacur!”, Anthony menghardik sambil menyeret Rani ke ruang tengah.
Air
mata Rani menitik. Hatinya sakit luar biasa setiap mendengar Anthony
menyebutnya pelacur. Tapi gadis itu tidak punya pilihan lain. “Nggak
Mas… Rani nggak lupa..”, Rani menjawab. “Tapi Rani baru dapet..”, gadis
itu sedikit meronta ingin melepaskan diri. Anthony mencengkeram pinggang
gadis itu, memeluknya dari belakang.
Anthony tertawa. “Emang
kenapa? Jangan cari-cari alasan!”, pria itu kemudian melepaskan rok yang
dikenakan Rani dan memaksa Rani nungging dengan bertumpu tangan di atas
sofa. Anthonypun memeloroti celana dalam gadis itu. Seketika darah
Ranipun mengalir dan membercak di lantai.
“Mas… kan udah Rani bilang…”
“Iya.. iya tahu… kamu lagi dapet kan?”, Anthony terlihat cuek. Ia
langsung melepaskan celana dan celana dalamnya sendiri. “Ah.. suck it
in, bitch!”
“Aaaaaagh!”, Rani memekik. Anusnya terasa sakit luar biasa. Rupanya
anthony melesakkan kejantanannya ke dalam anus Rani. “Mas! Jangan Mas!
Sakiit!”
“Agh… pantatmu enak juga Ran!”, Anthony terus mengobok obok pantat Rani dengan kejantanannya. “Lebih peret dari memek kamu!”
“Agh… sakit Mas… ampun!”, Rani menangis, meringis menahan sakit.
“Agh..”,
Plak! Plak! Plak! Plak!
Anthony menampar-nampar
kedua bulatan pantat Rani. Rani menangis tersedu sedu. Hujaman demi
hujaman terus dilesakkan Anthony, sementara Rani mengeliat-geliat
kesakitan. Sampai akhirnya, Anthony mengerang keras, dan penyiksaan
itupun berakhir setelah cairan nafsu Anthony yang membanjir. Rani
merosot ke lantai. Lantai pualam yang dingin terasa menyejukkan
pantatnya yang perih.
“Jilatin kontol gue!”, Anthony membentak.
Dengan kepatuhan seorang budak, sambil berlutut Rani menjilati
kejantanan Anthony yang mulai melayu itu. Membersihkannya dari noda noda
sperma. “Bagus.. “, ujarnya sambil mendorong kepala Rani agar menjauh.
“Mas Anton suka?”, tanya Rani sambil menatap majikannya.
“Suka apaan? Ngentotin pantat kamu?”, Anthony tertawa keras. “Kenapa nanya? Udah keenakan jadi pelacur?”
Rani tersenyum miris. “Kalau Mas Anton senang, Rani juga senang. Yang penting Ibu sehat…”
Anthony
menyetir sendirian memasuki kompleks tempat rumahnya berdiri. Jam di
dashboard mobil menunjukkan pukul 03.30 pagi, dan tanggal 14 Februari.
“Ah iya, 14 Februari ya..”, gumam Anthony. Hari Valentine, cetus Anthony
kemudian dalam hati. Bull shit! Hari yang dihiasi cokelat dan hati.
Cih! Cokelat. Cewek abg seperti Rani pasti senang diberi cokelat di hari
ini. Kontol gue juga warnanya coklat! Anthony terkikik sendiri.
Pria
itu baru pulang sehabis karaoke bersama teman-teman sesama pengusaha.
Sang teman melanjutkan kegiatannya dengan kegiatan di ranjang bersama
lady escort karaoke yang sedari tadi sudah membakar nafsu mereka.
Anthony memilih pulang untuk kemudian menggelut tubuh Rani, gadis yang
dianggap pelacur pribadinya. Gadis lugu yang selalu pasrah mengikuti
kehendaknya, apapun itu.
Hampir pukul empat pagi ketika Anthony
membuka pintu kamar Rani yang memang tidak pernah dikunci. Pria itu
sangat terkejut mendapati ‘pelacur ciliknya’ sedang duduk bersimpuh di
lantai beralaskan karpet kecil, dengan menyelubungi tubuhnya dengan
busana putih yang hanya menyisakan wajahnya yang tak tertutup. Air mata
gadis itu terlihat berlinang. Samar-samar Anthony dapat mendengar
bisikan gadis itu, yang diiringi isak tangis kecil.
“…terima
kasih… terima kasih… engkau telah menolong ibu… … mengirim Mas Anthony
untuk menolong Ibu… … berkahilah Mas Anton… karena ia baik sekali pada
hamba dan ibu… limpahkanlah rezeki kepadanya… hanya engkau yang maha
kaya… yang bisa membalas kebaikan Mas Anthony… tetapi kalau masih boleh
hamba memohon… hamba mohon…. hamba tidak mau jadi pelacur… hamba tahu
itu dosa… jika memang hamba harus melayani… Mas… Anthony… hamba mohon…
hamba bisa jadi isteri Mas Anthony… supaya hamba bisa melayaninya dengan
tulus… hamba sangat sayang padanya… hamba rela melayaninya… kapanpun…
walaupun hamba sampai sakit… hamba tidak menginginkan apa-apa… kesehatan
ibu adalah yang paling penting buat hamba…“
Lutut Anthony
seketika menjadi lemas mendengarnya. Pria itu merosot hingga jatuh
terduduk di lantai. Tanpa tertahan air matanya mengucur deras. Rani yang
terkejut mendengar suara orang terjatuh langsung melepaskan busana
putih yang membalut gaun tidurnya. Bergegas ia berlari menuju pintu,
dimana tampak sesosok bayangan yang terduduk di lantai.
“Lho… Mas Anton?”, Rani heran mendapati majikannya itu menangis.
“Rani…”, ujar Anthony dengan suara serak.
“I… iya Mas?”
“Kamu… kamu…”, Anthony menggenggam tangan Rani kuat-kuat.
“Iya, Mas?”
“Kamu mau nikah sama saya?”, Anthony berujar setelah mengumpulkan kekuatan.
Rani terkejut. Gadis itu mencoba menarik tangannya.
“Jawab Ran! Sekarang!”
Rani diam saja. Gadis itu memandang Anthony yang sedang menangis dengan pandangan lembut. Baru kemudian ia mengangguk.
“Bener?”, Anthony masih mengejar.
Rani
mengangguk sekali lagi. Saat itulah Anthony melihat ada yang lain di
sorot mata Rani. Ada cinta disana. Ada ketulusan. Ada kebaikan hati.
Mirip dengan sorot mata seseorang yang sangat ia kenal, ibu Anthony
sendiri.
“Terima kasih ya Ran”, Anthony mencium tangan Rani lekat-lekat. “Terima kasih… dan.. ha..happy… valentine’s day…”
“Mestinya Rani yang bilang terima kasih”, ujar Rani sambil membenamkan tubuhnya di dalam pelukan Anthony.
Untuk Melihat Video Selengkapnya Klik Dibawah Ini :
Posted By : www.nusacash.co